Thursday, November 27, 2008

Wajah Islam Toleran


Rashid Satari*

Islam hadir di bumi sebagai rahmat Allah untuk seluruh alam. Allah Swt melimpahkan keindahan Islam untuk seluruh manusia melalui perantara para pemeluknya. Hal ini terekam indah dalam Al Quran, "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kejahatan" (QS Ali Imran [2]:110).

Kehadiran Islam dengan segala kesempurnaannya tidak hanya diperuntukan bagi pemeluknya, melainkan juga bagi mereka yang beragama non Islam. Islam adalah agama toleran yang mengajak tanpa memaksa. Namun pada kenyataannya sekarang, Islam justru terstigmatisasi sebagai agama yang keras, kaku dan tidak toleran. Bahkan Islam menjadi kambing hitam atas tindakan-tindakan teror di beberapa belahan dunia dalam beberapa kurun waktu terakhir.

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan semua itu terjadi. Menurut Dr. Muhammad 'Abdul Qadir Al-Khatib, disharmonisasi yang terjadi antara Islam dengan non-Islam bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal berikut ini. Pertama, kekurangpahaman non Islam terhadap Islam juga kekurangpahaman umat Islam terhadap ajaran agamanya sendiri. Kedua, fanatisme agama non Islam yang berlebihan dan provokasi diantara Islam – non Islam. Ketiga, karena murni kebencian dan penyerangan non Islam.

Catatan Empiris Toleransi Islam

Dr. Muhammad 'Abdul Qadir Al-Khatib, dosen Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Al-Azhar Cairo, dalam karyanya "Dirasat fi Tarikh Al-Hadlarah Al-Islamiyyah", menyampaikan bahwa toleransi dalam Islam berlaku secara komprehensif menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang terjadi di Yastrib (Madinah) pasca hijrah. Nabi Muhammad Saw menerapkan toleransi Islam yang mencakup semua sendi-sendi kehidupan baik itu kehidupan beragama, politik, sosial maupun ekonomi.

Sebagai contoh, Al-Ghazali memberikan gambaran toleransi Islam dalam apsek politik-pemerintahan. Menurutnya, dalam "Ta'ashub wa Tasamuh Baina al-Masihah wal Islam", bahwa pada masa awal perkembangannya, Islam telah menarik simpati para pemeluk agama lain. Bahkan selanjutnya Islam pun memberikan perlindungan dan hak-hak yang sama bagi Ahlu Adz-Dzimmah (non-muslim yang berdomisili di kawasan pemerintahan muslim). Al-Ghazali memberikan banyak catatan empirik tentang hal itu, diantaranya adalah kenyataan sejarah bahwa Ahlu Adz-Dzimmah pun diberikan hak yang sama dalam pemerintahan. Contohnya, Abu Al-A'la Shaid bin Tsabit, seorang Nashrani yang diberikan jabatan sebagai menteri pada pemerintahan Abbasiyah di tahun 329 H.

Bukti lain, dalam potongan Perjanjian Aelia (Yarussalem) yang dikutip oleh Ath-Thabari menyebutkan, "Bismillahirrahmaanirrahiim. Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah Umar, Kepala Negara Islam, kepada rakyat Iliya'. Dia menjamin atas keamanan diri mereka, harta bendanya, gereja-gerejanya, salib-salibnya, yang sakit maupun yang sehat dan semua aliran agamanya. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkannya sama sekali. Juga tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agamanya dan tidak boleh mengganggunya.." (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002).

Tak ketinggalan dalam aspek sosial dan ekonomi. Menurut seorang sejarawan Arab, Dr. 'Imaduddin Khalil, toleransi Islam itu bersifat umum mencakup aspek agama, sosial, politik bahkan ekonomi. Islam memberikan kesempatan yang sama bagi para pemeluk agama lain untuk melakukan aktifitas sosial dan perekonomian. Seperti apa yang terjadi pada fatrah tahun 41-60 Hijriyah ketika Mu'awiyyah membuka lebar-lebar kesempatan bekerja di lingkungan istana khalifah bagi masyarakat yang beragama Nasrani.

Toleransi Islam telah mengundang simpati banyak orang. Inilah kemudian yang menjadi faktor determinan bagi akselerasi perkembangan Islam selanjutnya. Seorang penulis barat, Sir Thomas Arnold dalam bukunya "Ad-Da'wah ila Al-Islam" berkali-kali memaparkan bahwa Islam telah diterima oleh banyak orang secara sukarela tanpa paksaan apalagi dengan jalan kekerasan, sebagaimana terjadi ketika Islam masuk ke Syam dan Palestina pada pertengahan abad ke-7 Masehi. Ia menambahkan bahwa Islam yang damai dan toleran ini selanjutnya telah memberikan kemerdekaan beragama dan bekerja bagi pemeluk agama lain.

Toleransi Islam inilah yang membuatnya istimewa dibanding ajaran-ajaran agama-agama lainnya. Masih menurut Arnold, ketika Katholik menyebar di kawasan Eropa atau ketika Yahudi memasuki kawasan Arab, keduanya terjadi melalui penjajahan dan intoleransi. Bahkan toleransi juga tidak terjadi di antara mereka secara internal. Sebagaimana persengketaan sengit antar sekte Nasrani yang telah lama terjadi sejak kekaisaran Konstantinopel, seperti persengketaan antara sekte Mulkaniyyah dan Manufisiyyah pada abad ke 6 dan 7 Masehi.

Catatan paling tragis tentang tindakan non-muslim yang jauh dari sikap toleransi adalah perang Salib. Seorang peneliti sejarah Arab, Gustafo Lubon dalam bukunya "Arab Civilization" memberikan catatan tegas bahwa tindakan tentara Salib merupakan kejahatan perang yang paling buruk sepanjang sejarah di mana tindakan mereka yang membunuh siapapun tanpa membedakan antara tentara, tawanan perang, orang tua, anak-anak bahkan wanita.

Toleransi Sebagai Potensi

Catatan sejarah di atas telah membuktikan bahwa Islam tersebar karena kedamaian ajarannya serta sikap-sikap toleran dan persuasif yang dipraktekkan para pejuangnya. Sejarah juga telah membuktikan bahwa ajaran Islam yang damai telah menjadi alat dakwah yang efektif, menimbulkan simpati sehingga banyak orang memeluknya. Hal inilah yang perlu dihidupkan kembali saat ini. Selain untuk memasyarakatan dan memberikan pemahaman yang benar tentang nilai-nilai ke-Islaman pada masyarakat luas, juga demi artikulasi nilai-nilai kebajikan secara pratktis dalam keseharian umat manusia.

Untuk menempuh hal itu, setidaknya penyikapan atas tiga hal yang disampaikan Dr. Muhammad 'Abdul Qadir Al-Khatib di awal tadi bisa menjadi solusi. Pertama, perlu sosialisasi ajaran Islam secara lengkap dan objektif. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui jalur pendidikan ataupun jalur lain seperti syiar dakwah. Sosialisasi ini juga tidak hanya dilakukan di lingkungan umat Islam saja, melainkan juga kepada masyarakat yang lebih luas lagi.

Kedua, membangun kesadaran bersama bahwa fanatisme buta bisa menjadi bumerang yang berbahaya bagi siapapun. Oleh karenanya upaya dialog diantara keberbedaan harus senantiasa dibangun sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah Saw di Madinah dahulu.

Ketiga, ketika terjadi penyerangan fisik maupun non-fisik terhadap Islam yang dilakukan oleh musuh, maka respon penyerangan balik adalah menjadi solusi terakhir bila upaya-upaya damai menemui jalan buntu. Perlu diingat bahwa penyerangan balik yang dimaksud di sini adalah sebagai peringatan bagi mereka yang memusuhi Islam, juga peringatan bagi muslimin sendiri. Allah Swt berfirman "Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman" (QS.Adz Dzariyat [51]:55). Oleh karena itu, dalam kaca mata Islam, pembelaan diri seperti ini bukan berangkat dari nafsu dan amarah kebencian terhadap musuh, melainkan peringatan bagi semua orang bahwa Islam adalah agama yang toleran. Wallahu'alam bishawab.

*) Mahasiswa S1 Universitas Al Azhar Cairo Jurusan Da'wah wa Tsaqafah Islamiyyah

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)