Thursday, November 27, 2008

Bukan Mahasiswa Rekreatif*

~ Catatan Musim Panas Kelima ~


Oleh : Rashid Satari**


Liburan. Kata yang sangat definitif untuk masisir di tengah musim panas. Buat saya sendiri, kali ini adalah musim panas ke lima. Dan setiap tahun, aktifitas masisir hampir tak ada beda. Musim panas berarti liburan. Lebih detail lagi bisa diartikulasikan dengan pulang ke tanah kelahiran. Ada juga yang rihlah atau jalan-jalan. Ada yang memilih kursus, talaqi bahkan memilih kajian. Ada yang sibuk suksesi bahkan ‘belajar’ rebutan kursi kekuasaan. Ada yang setia dengan dagang. Dan yang tak kalah menarik baru muncul tahun ini adalah ada pula yang magang.

Panas. Masisir tentu merasakan hal itu di sekitar fatrah waktu bulan Juli hingga September. Bukan sekedar panas karena faktor geologis. Melainkan lebih karena atmosfer aktifitas masisir sendiri. Oleh karenanya ‘musim panas’ di sini bisa sangat ambivalen. Panas hingga menyebabkan mimisan. Panas hingga membuat riang atau pingsan di depan dinding pengumuman natijah ujian. Namun kesemua itu tentu tidak sepanas arena hajatan masisir yang dinamakan Pemiluwa. Ajang pergantian PPMI 01. Sebagian orang bilang sebagai sebuah pesta demokrasi tahunan. Selain itu, suksesi juga serempak di berbagai organisasi yang ada. ‘Panas’ benar terjadi di mana-mana. Apalagi ketika beragam suksesi itu selalu disulut oleh satu isue yang hampir setiap aktifis mahasiswa mengetahuinya.
Hingga musim panas ke lima, wajah masisir mungkin banyak sekali berubah. Ada yang pulang, ada yang datang. Bertambah bujang, berkurang lajang. Tapi tidak dalam hal aktifitas musim panasnya. Setiap tahun, corak musim panas mahasiswa kita kalau tidak bernuansa rekreatif maka edukatif. Atau sebaliknya. Yang mengherankan adalah terjadinya peningkatan yang tajam dalam hal aktifitas rekreatif setiap tahun. Tahun ini saja misalnya hampir setiap organisasi mengadakan acara rihlah. Dari organisasi sejenis afiliatif, kekeluargaan, marhalah, senat bahkan hingga mat’am. Salahkah? Tentu tidak, selama itu merupakan jawaban atas kebutuhan anggota-anggotanya. Apalagi semua dilakukan pasca ujian termin dua yang selalu dijadikan sandaran legislasi berbagai acara bersifat fun. Meski di pihak lain, kalau boleh mengutip celetukan beberapa kawan di pojok rumah makan, “bukankah selama ini pra ujian juga waktu liburan?!”.

Lain jalan-jalan, lain pula nasib aktifitas kajian keilmuan. Saat musim panas, kegiatan yang satu ini bisa dipastikan menjadi makhluk paling aneh bagi anda, bagi saya, bagi kita. Kajian di musim panas bagaikan secangkir jamu di tengah-tengah kumpulan gelas jangkung berisi softdrink. Kajian jadi sedemikan aneh karena ia dinilai sebagai objek yang tidak koheren dengan satu budaya lain mahasiswa yang semakin menggejala dan digandrungi yaitu budaya rekreasi. Pamflet jadwal Talaqqi yang disebar PPMI dengan mudah tenggelam begitu saja ditelan tumpukan pamflet reklame tour. Tunggu, mengapa tiba-tiba edukatif dan rekreatif seakan menjadi dua hal yang saling bertentangan?!

Mungkin fenomena di atas hanya terjadi di awal musim panas karena suasana pasca ujian yang harus dimaklumi. Lantas ada apa setelah itu? Waktu akan bergeser pada berbagai agenda suksesi di mana-mana. Macam-ragam namanya. Ada Pemiluwa, ada SPA, ada musyawarah anggota dan lainnya. Biasanya ini memakan area bulan tujuh dan delapan. Bulan sembilan masa transisi. Memasuki bulan sepuluh penuh agenda ijroat dan penyambutan mahasiswa baru. Setelah itu, masa kuliah dimulai. Tidak perlu ditanya apa aktifitas di masa kuliah karena jawabannya sudah dimaklumi bersama. Begitulah mainstream dinamika mahasiswa kita di musim panas. Tidak bisa digeneralisir memang. Sayangnya, sosiologi mengamini bahwa komunitas masyarakat didefinisikan oleh budaya mayoritas personalnya.

Namun meski demikian, generalisasi corak aktifitas musim panas harus selalu mempertimbangkan adanya unsur personal yang tak bisa diintervensi. Personalitas sangat mempengaruhi lahirnya aktifitas adukatif dan rekreatif. Terlebih untuk kalangan mahasiswa yang notebene adalah kelompok masyarakat mandiri dan berinisiatif, baik saat dia berposisi sebagai unsur organisasi maupun saat dirinya berperan sebagai pribadi.

Labih jauh lagi, dialektika efektifitas tentang aktifitas musim panas akhirnya jadi hal yang tidak perlu. Penghukuman agenda jalan-jalan sebagai agenda sia-sia tidak bisa dengan sedemikian mudah divoniskan. Pun demikian dengan aktifitas kajian keilmuan di musim panas, tidak lantas begitu saja dinobatkan sebagai aktifitas ideal bagi mahasiswa.

Semua ini, berkaitan erat dengan mindset. Sebagaimana hal serupa diterapkan Jalaluddin Rahmat ketika memetakan konsep ‘kebahagiaan’ dan ‘kesengsaraan’ dalam menyikapi bencana dan keberuntungan. Baginya, musibah adalah realita objektif dan penderitaan adalah realitas subjektif. Musibah adalah realitas di luar diri kita dan penderitaan adalah picture in our head. Lebih ekstrim lagi, musibah adalah kenyataan sedang penderitaan adalah pilihan. Begitu juga dengan keberuntungan, ia adalah objektif dan bahagia adalah subjektif. Rekreasi, jalan-jalan, kajian keilmuan adalah objektifitas, sedangkan edukatif dan rekreatif adalah subjektifitas dalam mindset manusia bertitel mahasiswa.

Rekreasi atau tour, kajian keilmuan atau pengajian adalah real yang objektif yang setiap kita bisa melihatnya secara kasat mata. Sedangkan edukatif atau rekreatif adalah mindset. Tinggal kita memilih mana yang akan kita jadikan paradigma atau cara pandang dalam beraktifitas di musim panas. Sederhananya, apapun aktitifas yang dilakukan, setiap mahasiswa dituntut bisa mengatur settingan cara pandangnya diantara dua pilihan; edukatif atau rekreatif. Bukankah selama ini banyak terjadi pengemasan nilai-nilai pendidikan dengan cangkang hiburan. Atau sebaliknya, tak jarang bagian dari kita yang turut dalam kegiatan-kegiatan sarat muatan pendidikan, namun dengan membawa motivasi sekedar ikut-ikutan atau mencari celah hiburan.

Segala aktifitas di musim panas dan bahkan musim dingin sejatinya tidak menyeret-nyeret identitas kita selaku mahasiswa ke tebing curam dimana di sana hanya ada komunitas manusia pecinta rekreasi dan hiburan. Terlebih lagi mahasiswa senantiasa identik dengan budaya hidup ilmiah.

Tak ada standar baku untuk mengukur efektifitas kegiatan mahasiswa di musim panas. Relatifitas berlaku pada titik ini. Sebagaimana tidak pernah bakunya standar kesuksesan mahasiswa di sini. Sesederhana dan sekecil apapun kegiatan, saat edukasi digunakan dalam mindset, atau saat edukasi dipasang dalam cara pandang, maka kemungkinan besar akan berimplikasi pada pencapaian kualitas kegiatan secara maksimal.

Ini sekedar catatan ringan dari musim panas kelima saya. Boleh jadi anda punya pandangan lain. Mungkin dari musim panas kedua anda. Atau barangkali ada yang punya catatan pinggir dari musim panas keduabelasnya. Semoga masisir tetap menjadi komunitas mahasiswa edukatif.


*) Dalam buletin Terobosan milik mahasiswa Indonesia di Mesir
**) Penggemar Napak Tilas di Musim Panas







0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)