Thursday, November 27, 2008

Objektifitas Untuk Tragedi Monas

Oleh: Rashid Satari*

Wajah Islam Indonesia kembali berduka. Buntut tragedi Monas pada peringatan Hari Pancasila (01 Juni 2008) menghadirkan potret perselisihan antar sesama saudara se-iman se-Islam berkelanjutan. Bahkan perkembangan selanjutnya menunjukan potensi pertikaian horizontal yang lebih luas lagi.

Kekerasan tentu saja tidak pernah diamini semua orang. Tak hanya kekerasan fisik, namun juga kekerasan intelektual, kekerasan politik, kekerasan ekonomi, dan kekerasan dalam bentuk lainnya.

Tindakan pemukulan yang dilakukan beberapa orang anggota FPI (Front Pembela Islam) di silang Monas menuai kecaman di berbagai tempat. Bahkan dari dalam FPI sendiripun. Pembubaran diri FPI Jember bisa diindikasikan sebagai refleksi ketidaksetujuan atas kekerasan yang terjadi.

Sekali lagi, kekerasan tidak pernah diimpikan siapapun. Habib Rizieq Shihab (Ketua FPI Pusat) sendiri mengakui bahwa tindakan anggota FPI di halaman Monas adalah spontanitas (4/6), tanpa rencana atau out of control. Artinya, kejadian itu murni tidak diinginkan. Dari sini kita bisa melihat bahwa kejadian tersebut adalah reaksi emosional sebagai wujud luapan kekecewaan yang tak bisa dibendung oleh keterbatasan daya sabar manusia, atas ketidaktegasan yang terjadi. Terlebih lagi tragedi Monas merupakan kejadian yang melibatkan massa cair di lapangan, di mana dalam kondisi seperti itu berbagai kemungkinan bisa saja terjadi tanpa kendali.

Realita empirik menunjukan, pemerintah sampai saat ini belum menampakan ketegasannya atas kasus Ahmadiyah. Hal inilah yang saat ini hampir terlupakan publik. Masyarakat akhirnya hanya menilai apa yang terjadi di halaman Monas tempo hari tanpa melihat lebih jauh apa yang sebenarnya memicu tragedi itu.

Ketika juru bicara Presiden RI, Andi Malaranggeng menyatakan bahwa aparat pemerintah akan menindak tegas kasus ini sesuai hukum yang berlaku (4/6), maka hal yang juga tidak boleh ditinggalkan adalah objektifitas. Mengingat banyak hal yang telah terjadi melatarbelakangi tragedi ini.

Objektifitas tentu tidak hadir begitu saja. Secara stuktural, dalam konteks negara Indonesia objektifitas lahir dari pihak yang dipercaya bersama dan memiliki kewenangan yang legitimate, dalam hal ini aparat negara. Adapun secara kultural, objektifitas lahir dari kesepakatan mufakat yang muncul dari dialog antar ide dan pikiran yang mengedepankan kemaslahatan kolektif.

Kebijaksanaan

Sementara ini, muncul berbagai analisa atas kasus yang melibatkan FPI dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) ini. Ada yang menilai ini adalah buah dari intervensi Amerika yang lebih suka kelanggengan Ahmadiyah di tanah nusantara dan tidak senang dengan kehadiran kelompok Islam “garis keras” semacam FPI. Selain itu, ada juga yang menilai bahwa ini politis alias akal-akalan pihak tertentu saja dalam upaya memalingkan opini publik dari BBM menjelang 2009.

Berbagai isu seperti itu bisa tiba-tiba saja bermunculan bak jamur di musim hujan, dan ini berpotensi menambah keresahan di tengah masyarakat. Bahkan tidak menutup kemungkinan bila terlalu lama dibiarkan, akan menimbulkan kekerasan-kekerasan lanjutan. Ada aksi ada reaksi. Begitu seterusnya. Mari tengok sejenak pembubaran FPI Surabaya. Pemberitaan di layar kaca memperlihatkan bagaimana antar saudara se-Islam bersitegang. FPI Surabaya akhirnya bubar di bawah bayang-bayang tekanan dan (mungkin) ancaman.

FPI kemudian disudutkan dengan penilaian yang menyebutkan bahwa tuntutan pembubaran FPI adalah akumulasi kekesalan atas tidakan-tindakan anarkis FPI sejak tahun 2001. Sikap bijak yang seharusnya dilakukan adalah melihat hal tersebut lebih jernih, tidak hanya melihat riak-riak di permukaan. Tindakan-tindakan keras yang dilakukan FPI terhadap para penjaja minuman keras, diskotik, warung remang-remang adalah bukti ketidakberdayaan aparat hukum negara dalam menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya. Meski tetap bahwa tindakan inisiatif seperti itu tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia.

Tuntutan pembubaran FPI bermunculan mengatasnamakan supremasi hukum. Namun, oleh karena pengatasnamaan hukumlah maka kita harus lebih objektif dan bijak dalam menilai. Banyak hal harus dijadikan pertimbangan seperti misalnya sikap Kapolres Jakarta Pusat, Heru Winarko yang menyesalkan massa AKKBB yang berdemonstrasi sampai ke Monas, padahal hanya diizinkan di Bunderan HI saja (Republika, 2 Juni 2008).

Hal lain yang perlu juga diperhatikan dengan cermat adalah apa yang terkait dengan akar masalah tragedi Monas yaitu Ahmadiyah. Ketika pemerintah bertekad menegakkan supremasi hukum atas tragedi Monas maka seharusnya kebijakan serupa juga dilakukan dalam menindak Ahmadiyah. Mengapa pemerintah sedemikan ragu mengeluarkan SKB padahal berbagai rekomendasi seperti rekomendasi MUI, Departemen Agama RI, FUI, Bakorpakem, Rabithah Alam Islamy tentang kesesatan Ahmadiyah sudah lama bermunculan.

Banyak hal yang tidak diinginkan bisa terjadi andai pemerintah tak juga bersikap tegas dan bijaksana. Ketidaktegasan adalah sikap yang tidak kooperatif dengan harmonisasi sosial. Statement tersebut terjadi ketika pemerintah, sebagai representasi masyarakat tidak mau bertindak tegas. Ini terbukti secara empirik dalam kasus Ahmadiyah yang berbuntut tragedi Monas. Kebijaksanaan pemerintah dalam menegakan hukum secara adil juga kebijaksanaan masyarakat dalam menilai menjadi kunci atas upaya pencarian solusi tragedi ini.

Langkah-Langkah Solutif

Perlu kita berhati-hati, tidak terburu-buru dalam menyelesaikan masalah sensitif seperti ini. Diantaranya adalah kewaspadaan atas kemungkinan adanya kepentingan asing bermain. Isu-isu semacam terorisme adalah santapan lezat bagi barat dan tangan-tangannya yang mendewa-dewakan sekularisme - liberalisme. Terlebih lagi kasus ini berpeluang besar kepada disintegrasi umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa ini umumnya. Pernyataan Pers yang dikeluarkan Kedutaan Amerika Serikat beberapa hari yang lalu terkait dengan tragedi Monas setidaknya bisa menjadi indikasi.

Ada satu hal yang harus kita cermati kemudian. Bahwa umat Islam Indonesia harus mewaspadai diri dari jebakan-jebakan tindak kekerasan. Karena hal ini berpeluang menjadi faktor yang kontraproduktif bagi kepentingan da’wah dan syiar Islam. Apalagi ketika kita tidak bisa menutup mata dari realita yang membuktikan bahwa betapa tidak sedikit masyarakat yang awam, masyarakat yang lebih cenderung melihat sesuatu secara kasat mata.

Ada beberapa tawaran point yang bisa menjadi solusi cepat dari tragedi ini. Pertama, pemerintah segera mengeluarkan SKB tentang pembubaran Ahmadiyah sebagaimana telah direkomendasikan mayoritas umat Islam Indonesia. Ahmadiyah adalah akar masalah tragedi Monas.

Kedua, tidak membubarkan FPI atas tragedi Monas, karena tragedi ini dipicu berbagai faktor lain di luar kebijakan organisasi FPI.

Ketiga, pintu silaturahmi dan dialog antar kelompok perjuangan Islam baik itu yang terlibat langsung dalam tragedi Monas ataupun tidak, seperti yang diusulkan Buya Syafii Maarif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) perlu diberdayakan kembali. Apalagi ketika saat ini gerakan-gerakan massa yang mengatasnamakan organisasi tertentu mulai melakukan tindakan-tindakan sendiri di beberapa daerah. Kesempatan dialog secara sehat dan perangkuman pandangan dari berbagi pihak harus segera dimediasi pemerintah guna menghindari ancaman disintegrasi bangsa.

*) Mahasiswa Al Azhar University Cairo. Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Perwakilan Mesir 2006-2008.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)