Thursday, November 27, 2008

PKS, Dakwah dan Kampanye*

Rashid Satari**
Belum lagi usai kontroversi iklan PKS dalam rangka Sumpah Pemuda, iklan PKS dalam rangka peringatan Hari Pahlawan menuai banyak kritik dan kecaman. Anis Matta sebagai Tim Pemenangan Pemilu Nasional PKS berdalih hal tersebut sebagai aktualisasi PKS sebagai partai dakwah.
Dengan iklan tersebut PKS mengajak rekonsiliasi bangsa. Sayangnya, perkataan Anis Matta tak seirama dengan Tifatul Sembiring, sang presiden partai. Tifatul justru mengakui iklan tersebut sebagai kesalahan.Imbas dari iklan ini, PKS menuai berbagai respons di dalam dan dari luar. Resistensi datang dari berbagai ormas, seperti NU dan Muhammadiyah. Kritik juga datang dari para eksponen dan keluarga PKI yang selama ini terstigma sebagai musuh bangsa. Tak lama, Anis Matta mengklarifikasi bahwa iklannya merupakan kampanye dalam rangka pemenangan Pemilu 2009.

Satu hal yang menarik adalah ketika fenomena di atas mencari relevansinya dengan bunyi platformPKS sebagai partai dakwah. Pasalnya, bila selama ini yang dilakukan PKS adalah dakwah, maka sejatinya dakwah tidaklah menimbulkan benih-benih disintegrasi umat Islam di Tanah Air. Juga, sejatinya dakwah yang dilakukan mestilah berimbas balik rasa simpati, bukan antipati.

Dakwah Ambigu
Dari platform gerakannya bisa dipahami bahwa PKS menghendaki perbaikan bangsa ini secara top down dengan jalur perebutan kekuasaan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Dengan menguasai kursi-kursi strategis di parlemen dan pemerintahan, PKS berharap bisa lebih mudah membumikan cita-cita perubahan.
Untuk mencapai pemenangan kursi di wilayah-wilayah strategis itu tentu saja harus melalui arena pertarungan politik. Inilah yang dilakukan PKS. Oleh karenanya analisis seorang pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti terkait dengan kontroversi iklan PKS yang menampilkan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa ada benarnya. Menurut Ikrar, apa yang dikatakan Anis Matta bisa dipahami bahwa iklan tersebut semata-mata adalah untuk mendulang suara sebanyak mungkin.

Pemilu khususnya dalam konteks demokrasi Indonesia memang mengharuskan partai politik apa pun asasnya untuk mencari suara sebanyak mungkin demi pemenangan. Maka tak heran parpol-parpol selama ini selalu melakukan hal tersebut melalui jalur kampanye politik yang ketentuannya diatur dengan Undang-Undang Pemilu.

Namun, ada yang unik terjadi di PKS. Dakwah yang selama ini menjadi jargon partai rupanya ambigu. Selain dakwah dalam rangka motivasi amar ma'ruf nahyi munkar, dalam waktu-waktu tertentu juga bermotivasi politis. Kemungkinan besar ini berlangsung di waktu-waktu menjelang pemilu, seperti sekarang ini. Indikasi dari ambiguitas itu adalah saat Anis Matta masih menjadikan PKS adalah partai dakwah sebagai dalih dalam menjawab kritikan-kritikan atas iklannya.

Sayangnya, apa yang terjadi dengan PKS saat ini telanjur terbaca publik sebagai inkonsistensi PKS dengan komitmennya sendiri, yaitu komitmen dakwah. Dakwah untuk melakukan rekonsiliasi bangsa tampak sebagai alasan yang prematur. Apalagi, di saat yang sama banyak gejolak horizontal umat Islam Tanah Air yang masih belum sempat teratasi. Pada titik ini dakwah yang didengungkan PKS berisiko tereduksi.

Ada palung yang curam di antara dakwah dan kampanye politik. Dakwah sudah dimaknai sedemikian dalam oleh masyarakat kita sebagai kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis akidah, syariat, dan akhlak Islam.

Kampanye telanjur dipahami sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara (KBI, hal 498:2001). Sudah menjadi rahasia bersama pula bahwa politik praktis dengan segala instrumennya adalah hal yang sangat rentan dan sarat unsur-unsur kepentingan pragmatis sesaat.

Maka, ketika PKS mengklaim diri sebagai partai politik dan partai dakwah sekaligus, saat itu pula PKS sedang berspekulasi. Mendudukkan secara sepadan dua hal yang sebenarnya berbeda, yaitu antara kampanye-politik praktis dan dakwah dalam terminologi Islam, sangat berisiko tinggi. Syukur bila PKS mampu melakukan keduanya secara berimbang dan proporsional. Akan tetapi, lain lagi bila yang terjadi adalah sebaliknya.

Dakwah atau Kampanye

Belajar dari kasus PKS di atas, ada pelajaran yang bisa dipetik oleh parpol-parpol ke depan, khususnya bagi parpol yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Ketika berbicara demokrasi di dalam konteks sosio-politik masyarakat Indonesia, kampanye politik dan dakwah adalah dua hal yang berbeda. Parpol harus bijaksana dan jeli dalam meletakkan keduanya.
Hal ini tiada lain adalah demi menjaga komprehensivitas nilai dakwah yang selama ini kita pahami sebagaimana diajarkan nilai-nilai Islam. Bahwa Islam selalu mengajarkan persatuan bukan perpecahan umat. Bahwa dakwah adalah amar ma'ruf nahyi munkar, mengajak pada persatuan bukan pada sikap-sikap sektarian.

Ajaran Islam syumul dan komprehensif mencakup segala sendi kehidupan. Paparan di atas tidak lantas diartikan pengotakan mana urusan agama dan mana urusan dunia politik praktis. Lebih penting dari sekadar nama, simbol atau platform. Islam sejatinya menjadi roh dari setiap gerakan.

Saat Islam secara simbolik dibawa-bawa ke ranah politik praktis maka mempertanggungjawabkannya adalah keharusan. Tangung jawab itu terejawantahkan pada aktivitas riil di lapangan. Nah, apakah yang terjadi saat ini seperti yang terjadi pada kontroversi iklan PKS dan segala efeknya adalah bukti dari pengejawantahan nilai-nilai dakwah Islam?

Ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengadaptasikan kembali dakwah Islam dalam konteks dinamika politik dan demokrasi Indonesia. Hal ini tentu saja memerlukan reanalisis yang tajam terutama berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinannya terhadap kemurnian dakwah Islam itu sendiri.Atau kedua, parpol berasas Islam seperti PKS mulai menegaskan diri sebagai partai politik yang berasas Islam, tanpa embel-embel partai dakwah. Sekali lagi ini dimaksudkan menghindari tereduksinya dakwah ketika permasalahan seperti iklan PKS kemarin terulang kembali.

Ikhtisar:
- Pemilu selalu mengharuskan partai politik apa pun asasnya untuk mencari suara sebanyak mungkin.
- Dakwah tidak pernah menimbulkan benih-benih disintegrasi umat Islam.
- Dakwah harus bisa menimbulkan rasa simpati, bukan antipati.
- Kampanye politik cenderung jauh dari makna dakwah.


*) Dalam rubrik Opini Hu Republika edisi Selasa 25 November 2008.
**) Mahasiswa Program Licence Universitas Al Azhar Kairo Jurusan Da'wah wa Tsaqafah Islamiyyah

Independensi PPMI Jelang 2009

Oleh : Rashid Satari*

Organisasi mahasiswa memiliki andil besar dalam berbagai gerakan moral (moral movement). Bahkan, sejarah dunia telah mencatat berbagai perubahan yang dimotori gerakan mahasiswa. Penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Ayub Khan di Pakistan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipina tahun 1985 hingga Soekarno di 1966 dan Soeharto di 1998 adalah rangkaian bukti nyata kontribusi gerakan moral mahasiswa.
Banyak faktor yang mendorong adanya kekuatan pada gerakan mahasiswa. Independensi adalah salah satu yang paling determinan. Independensi menjadikan gerakan mahasiswa bersih dari unsur-unsur kepentingan parsial-pragmatis. Independensi juga kemudian memungkinkan gerakan mahasiswa murni berlatarbelakang panggilan nurani yang menghendaki tercapainya kemaslahatan publik.
Tiba-tiba saya teringat debat capres PPMI tempo hari, khususnya pada pernyataan Capres Taryudi. Bahwa menurutnya tidaklah menjadi masalah apabila PPMI diintervensi simbol-simbol dan pengaruh partai politik. Persepsi ini tidak akan begitu bermasalah bila terlontar dari subjektifitasnya sebagai person. Namun, ini menjadi kontroversial saat disampaikan oleh seorang calon presiden organisasi independen semacam PPMI. Awalnya, saya memprediksikan pernyataan ini berpotensi menjadi bumerang bagi Taryudi. Namun menariknya, perkiraan ini meleset karena Taryudi berselisih 2 (dua) suara saja dari Yazid yang memperoleh 713 suara. Ini menunjukan ternyata demikian besar animo sebagian masisir kepada capres PPMI yang memiliki persepsi kontradiktif dengan prinsip independensi PPMI itu sendiri. Poin terakhir ini sebenarnya cukup unik untuk dikaji lebih dalam.
Selanjutnya, dialektika tentang independensi menjadi lebih menarik untuk dielaborasi. Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry mendefenisikan independensi sebagai kemerdekaan atau ketidaktergantungan pada pihak lain [1994]. Bagi PPMI sebagaimana tercantum dalam AD-ARTnya, independensi adalah karakter atau sifat yang menjadi semangat pergerakan. Ini berarti, PPMI selalu mendahulukan netralitas dan objektifitas dalam setiap geraknya sebagai kekuatan moral mahasiswa yang kritis terhadap perkembangan masyarakat dan bangsanya. Konsekwensi dari independensi ini adalah PPMI harus merdeka dari hegemoni pengaruh yang datang dari kelompok-kelompok tertentu, mulai dari komunitas primordialistik hingga partai-partai politik. PPMI harus tetap terjaga sebagai organisasi kemahasiswaan yang pro aktif dan produktif memberikan kritik konstruktif kepada siapa saja dalam rangka advokasi terhadap masa depan pencerdasan masyarakat.
Namun, heterogenitas organisasi di lingkungan PPMI menjadikan mahalnya harga independensi. Apalagi saat kita menyadari bahwa keberagaman organisasi-perkumpulan mahasiswa ini tidak terbatas pada organisasi-perkumpulan yang terdaftar di MPA PPMI saja. Berbagai perkumpulan yang anggotanya notabene mahasiswa ini berdiri dengan berbagai orientasi masing-masing. Tak akan menjadi soal bila orientasinya masih sejalan dengan semangat independensi PPMI. Akan tetapi, berbeda bila kenyataan berkata sebaliknya. Seperti misalnya perkumpulan-perkumpulan berorientasi politik praktis yang ada di lingkungan sekitar PPMI.
Suatu sore di April 2008, saya memperoleh selebaran berisi himbauan persiapan ujian. Sebuah logo dan nama partai politik bergambar bintang dan bulan tertera di bawahnya. Indikasi lain, sejak awal kedatangan di Cairo tepatnya tahun 2003 saya sudah banyak menyaksikan gambar bulan sabit kembar bertebaran di lemari dan pintu rumah-rumah mahasiswa anggota PPMI. Harus saya sadari ternyata apapun bentuknya, hal-hal tersebut adalah kampanye tak langsung partai politik yang terjadi begitu dekat dengan PPMI. Artinya, sudah sejak lama dan sudah sedemikian dalam independensi PPMI terkontaminasi. Akhirnya, independensi rentan menjadi lips service AD-ART tapi langka terejawantah dalam tataran praktis.
Jelang Pemilu 2009, meski genderang “perang” belum ditabuh, upaya-upaya kampanye “kreatif” parpol sudah mulai bisa disaksikan oleh kacamata kemahasiswaan kita. Tak terkecuali di lingkungan PPMI sendiri. Perkumpulan-perkumpulan afiliasi partai politik semacam PIP PKS dan yang lainnya sangat mungkin telah melakukan warming up jauh hari sebelum 2009. Wajar, karena 4000-an anggota PPMI adalah para pemilik hak suara yang sangat potensial.
Seperti dijamin UU Negara kita, Pemilu 2009 merupakan pesta demokrasi yang sangat berkaitan dengan hak dan peran para anggota PPMI sebagai warga negara. Maka, sebagai organisasi mahasiswa, PPMI secara integral tidaklah alergi politik. PPMI sejatinya bisa berperan dalam politik moral secara elegan. Politik PPMI adalah politik ekstra-parlementer yang senantiasa mengawal kinerja kekuasaan. Politik PPMI adalah high politics pada tataran nilai perbaikan bangsa bukan low politics atau politik praktis.
Belajar dari sejarah, Forkot (Forum Kota) organisasi revolusioner di Jakarta akhirnya ‘gulung tikar’ pasca kekalahan parpol yang mereka usung, PRD di Pemilu 1999. CGMI, organisasi sayap mahasiswa PKI ‘habis’ setelah kekalahan PKI pasca Orde Lama. Bagi PPMI, independensi tidak bisa ditawar lagi.
Independensi bagi kita bukanlah sikap apriori atau tidak mau tahu, juga bukan sikap berdiam diri tanpa argumentasi. Tapi, independensi bagi kita adalah kejelasan pendirian dan pilihan sikap dengan sokongan alasan yang argumentatif. Maka, independensi bukan sikap ikut-ikutan, bukan sikap kosong yang turut instruksi atasan. Independensi teraktualisasikan pada kesadaran diri dalam memilih antara berdiam diri atau mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) tanpa bis jemputan, tanpa sms seruan, tanpa iming-iming bayaran.
Lebih lanjut, ada sebuah tanggung jawab yang dipikul PPMI terkait dengan Pemilu nanti. PPMI memiliki peran untuk memberikan pencerahan tentang partisipasi politik anggotanya dalam pemilu. Hal ini bisa diimplementasikan melalui pelayanan publik untuk informasi pemilu, pengenalan tentang identitas partai-partai politik dan lain sebagainya. Sehingga dalam konteks pemilu sekalipun, PPMI tetap bisa merefleksikan semangat independensinya. Karena independensi selain milik PPMI sebagai sebuah organisasi, juga milik setiap anggota – mahasiswa yang tak akan lama lagi berkiprah sebagai agen of change dan moral force di tengah masyarakat. Salam independensi PPMI!
*) Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo, anggota PPMI, sedang diamanahi sebagai nahkoda Pwk. Persis Mesir 2008-2009.

Islamic Violence dan Advokasi PERSIS*

Oleh : Rashid Satari**

Tulisan ini terinspirasi artikel Shiddiq Amien, MBA dalam Risalah edisi November 2001. Tulisan yang mengekspresikan kegelisahan penulisnya tersebut secara implicit terlebih dulu menggugat definisi "teroris" yang saat ini semakin paradoks. Pasca tragedi kemanusiaan Hirosima dan Nagasaki enam dasawarsa silam, terma ini semakin mengalami penyempitan makna dan mereduksi.

Hingar bingar gerbang abad milennium menjadi saksi bisu di mana terorisme menjadi stigma buruk atas Islam. Tragedi 11 September 2001 atas World Trade Center (WTC), bom Madrid, bom Legian Kuta Bali menjadi rentetan kelam tentang skenario kekerasan atas kemanusiaan. Di tengah kosmologi pengertian terorisme yang semakin kabur, world view digiring kepada satu wacana yang disepakati hampir separuh warga dunia; Islam adalah biang keladi kekerasan!

Beberapa naskah artikel menunjukan ketegasan sikap Persatuan Islam (Persis) atas kekerasan. Persis merupakan ormas Islam yang sejak 1923 konsisten menjunjung tinggi purifikasi nilai-nilai ke-Islaman dari berbagai parasit akidah seperti syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul juga dari berbagai infiltrasi pemikiran-pemikiran kontemporer mulai dari liberalisme hingga sekularisme. Bagi Persis, kekerasan dalam segala bentuknya tidaklah bisa diamini sebagai aktualisasi pembelaan atas prinsip hidup. Al Quran menegaskan perdamaian sebagai ajaran, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” [QS. Fushilat : 34-35].

Violence (kekerasan) menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kemanusiaan. Berbagai kitab samawi sejak Taurat hingga Al Quran telah merekam dengan baik bagaimana kekerasan dimulai sejak awal mula peradaban manusia yang direpresentasikan oleh Habil dan Qabil. Drama kekerasan terus berlangsung di atas panggung sejarah kemanusiaan berabad-abad setelahnya, darah Ahlul Bait di Karbala Nainawa, 80.000 korban tentara Salib di Jarusalem dan prahara Timur Lenk hanyalah beberapa diantaranya. Satu yang perlu digarisbawahi dari berbagai tragedi tersebut adalah bahwa terdapat berbagai latarbelakang di balik layar kekerasan. Latarbelakang itu tidak bisa digeneralisir karena alasan dogmatik agama belaka, melainkan juga berbagai alasan lain seperti tekanan ekonomi, sosial dan politik.

Sedikit surut ke belakang, dinamika kekerasan akhirnya menemui terminologi baru yang khas sebagai sebuah paham (isme) seperti terorisme. Di abad ke 19, Erick Morris sempat mendefenisikan terorisme sebagai tindakan pemberontakan melawan negara. Namun, defenisi ini diartikulasikan secara absurd tergantung kepentingan, siapa subjek dan objek. Kondisi ini mempersulit pemetaan antara tindak kekerasan dan pembelaan diri. Terorisme menjadi sedemikian subjektif dan seringkali diskriminatif. Akan tetapi bila dicoba sejenak berposisi moderat dengan menyepakati terorisme atau kekerasan sebagai segala tindakan mengancam dan menebar ketakutan kepada masyarakat maka benang kusut terorisme akan longgar terurai. Khususnya dalam rangka membersihkan Islam dari stigma buruk terorisme.

Terorisme tidak selalu identik dengan doktrin keagamaan, namun bisa juga latarbelakang kohesi sosial yang tak sehat. Tragedi organisasi Ku Klux Klan di Amerika Serikat bisa dijadikan sampel. Organisasi sentimentil ras ini berdiri di tahun 1860-an pasca kebijakan presiden Abraham Lincoln yang mengakhiri era perbudakan. Meski awalnya organisasi ini bertujuan membela supremasi warga kulit putih sebagai komunitas masyarakat kelas satu di tengah berkembangnya fenomena peningkatan taraf hidup warga kulit hitam, Ku Klux Klan akhirnya bermetamorfosa menjadi organisasi pembunuh. Diperkirakan, pada dekade 1980-an organisasi ini telah membantai puluhan ribu kulit hitam.

Andaipun agama diasumsikan sebagai latarbelakang kekerasan maka besar kemungkinan ada motif lain mendahuluinya. Kekerasan karena agama terjadi dalam persengketaan sengit Katholik dan Protestan yang menjadi cacat bangsa Eropa di abad ke-17. Adapun peperangan pasukan Salib dengan kaum muslimin akan bermuara pada latarbelakang sentimen politik ambisi Nashrani eropa menguasai Jarusalem. Sebagaimana ambisi Gold, Glory dan Gospel mereka dalam ekspedisi melintasi Tanjung Harapan di Afrika yang menjadi awal imperialisme di negara-negara dunia ketiga .

Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa banyak hal berpotensi menjadi latarbelakang kekerasan. Selain itu, ada penegasan eksplisit bahwa dibutuhkan objektifitas dalam menilai kekerasan. Pada poin ini ada perbedaan prinsipil antara tindak kekerasan (terorisme) dengan tindak pembelaan diri. Hal ini terkait langsung dengan stigmatisasi sistemik yang disematkan pada Islam sebagai agama kaku dan berhaluan kekerasan dalam ajarannya. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Qs. Al-Baqarah; 190].

Inilah yang terjadi pada tragedi pembunuhan Anwar Sadat. September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Gerakan Jamaat Jihad kemudian terbentuk di dalam penjara. 6 Oktober 1981, gerakan yang berpegang pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah” - nya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat. Tragedi ini membuktikan bahwa dalam berbagai kasus, keterlibatan pihak muslim lebih bermotif pembelaan diri dalam kondisi yang tertekan. Dan, ini bukanlah terorisme.

Bagi Persis sebagai gerakan tajdid, Islam yang lurus dan damai haruslah selalu dijaga dan direkonstruksi dari kontaminasi penafsiran miring tentang medium da’wah. Bahwa Islam memiliki kearifan dalam konsepsi Jihad yang tak hanya diartikulasikan sebagai gerakan kekerasan, emosional, intoleran bahkan anarkis. “Sesungguhnya tidaklah Kami mengutus kamu kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” [Qs. Al-Anbiyâ’; 107].

Sebagai catatan akhir, mengutip Gustav La Bon, “Islam tidak pernah menggunakan kekerasan sebagai medium syiar-nya karena memang Al Quran tidak pernah mengajarkannya kecuali kedamaian berda’wah. Dan kedamaian da’wah inilah yang berhasil memikat Turki dan Mongol untuk memeluk Islam” [1969].

*) Dimuat dalam buletin Al-Furqan milik Pwk. Persis Mesir, edisi Agustus 2008
**) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008 - 2009

Kanibalisme Fundamentalis dalam Perspektif*

Oleh : Rashid Satari**

Kanibalisme (kekerasan kemanusiaan) hampir saja mengalahkan menu sarapan pagi kita. Kanibalisme adalah satu potret hidup manusia yang unlimited atau madal hayah. Darah Ahlul Bait di Karbala Nainawa, puluhan ribu korban Richard the Lion di semenanjung Yarusalem Palestina, prahara Timur Lenk, korban-korban nyawa di Poso dan Legian Kuta Bali, hingga kisah Ryan sang penjagal di pertengahan 2008, cukup menjadi bukti tentang kanibalisme yang terus terjadi hingga hari ini.

Hal lain, Hamid Fahmi Zarkasyi dalam sebuah kolom pernah bercerita. Di pinggir jalan Manchester ada sebuah papan reklame besar bertuliskan "It's Like Religion". Kalimat ini rupanya menjadi iklan sebuah klub bola terkaya sejagad, Manchaster United (MU). Reklame dengan gambar seorang pemain bola berlatarbelakang ribuan supporter fanatiknya. Secara implisit reklame ini mengatakan bahwa MU is like religion.

Religion (agama) dalam terminologi barat mengalami reduksiasi. Sebagaimana absurdnya makna "Tuhan" dalam paradigma mereka. Yesus diklaim suci meski ia tidak pernah mendeklarasikan kesuciannya apalagi pendeklarasian sebagai Tuhan. Professor al-Attas menjelaskan bahwa konsepsi non-muslim barat tentang Tuhan sudah bermasalah sejak awal sehingga terus direkayasa agar bisa diterima akal manusia.

Kerancuan konsep Religion dan God hanya satu sampel tentang kerancuan persepsi barat dalam kajian transedental. Kerancuan ini memberikan efek yang elementer terhadap konsepsi lain yang muncul kemudian. Salah satunya adalah terma "fundamentalism".

Beberapa kasus kekerasan yang terjadi beberapa waktu terakhir ini banyak sekali dikaitkan dengan fundamentalisme terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai agama.

Kalau kita telusuri maka kita tak akan menemukan akar istilah fundamentalisme dalam khazanah dunia Islam, akan tetapi ini akan kita temui dalam terminologi Kristen. Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), M. Said al-Asymawi berpandangan bahwa fundamentalisme muncul sebagai resistensi atas modernisasi yang terjadi dalam ajaran Kristen. Purifikasi yang diupayakan beberapa kalangan kemudian digolongkan sebagai sikap fundamentalis. Sikap yang menghendaki konsistensi terhadap nilai-nilai transeden lama secara literal.

Agung Primamorista dalam makalahnya “Meluruskan Kerancuan Istilah Fundamentalisme Islam” menambahkan bahwa Fundamentalisme lahir pertama kali dari gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh di abad 19 M. Gerakan fundamentalisme Kristen ini akhirnya terlembagakan pada abad ke - 20. Lebih jauh, Agung memaparkan bahwa gerakan Kristen ini adalah bagian dari gerakan Gerakan Milenium. Sebuah gerakan yang memahami teks Injil secara literal dan meyakini kembalinya Al Masih secara fisik ke muka bumi.

Perkembangan terma ini akhirnya menyeret “fundamentalisme” pada semua kelompok gerakan yang berkarakter cenderung ekstrim, tegas dan keras dalam menginterpretasikan ideologinya. Kalangan muslim yang memiliki karakter berfikir dan bertindak seperti itupun terkena stigma ini. Maka, muncullah istilah baru, fundamentalime Islam. Namun, tetap harus digarisbawahi bahwa Islam tidak mengamini “fundamentalisme” sebagai produk khazanah pemikirannya. Maka tak heran ketika Abid Al Jabiri berpendapat Fundamentalisme sebagai padanan kata bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al Afghani. Istilah ini dicetuskan karena bahasa Eropa tidak memiliki perbendaharaan kata yang cukup untuk padanan “Salafiyyah”.

Dari dua paragraf terakhir kita bisa menyimpulkan bahwa penyematan fundamentalisme terhadap Islam tidaklah relevan. Bahkan secara historis, fundamentalisme dan Islam adalah dua hal yang berbeda secara diametral.

Sayang, media dunia seakan memperoleh kesempatan strategis pasca kekerasan-kekerasan beberapa tahun terakhir. Pengeboman di Legian Kuta Bali, tragedi 11 September atas World Trade Center (WTC), pengeboman Madrid dan lain sebagainya menjadi rekaman manis upaya stigmatisasi negatif. Apalagi ternyata eksekutor bebarapa peristiwa terbukti dari kalangan muslim. Maka, fundamentalisme Islam seakan muncul tanpa dipaksakan. Lebih parah lagi, wacana dunia kemudian mengalami penyempitan paradigma. Muslim dunia terkejut karena tiba-tiba “fundamentalisme” hanya ditohokkan pada umat Islam. Bahkan, istilah ini menjadi sangat defenitif dengan aksi-aksi terorisme. Akibatnya, dengan mudah aktifitas-aktifitas kaum muslimin dicurigai dan diintimidasi meski sekedar aktifitas-aktifitas kepesantrenan. Efek mikronya, jadilah “sarang teroris” seperti yang diucapkan Lee Kuan Yew, menjadi gelar baru bagi Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim.

Tentang kekerasan dan terorisme, seharusnya kedua hal ini dipahami secara objektif sembari mempertimbangkan aspek sosio - politik hitoris yang melatarbelakanginya. Pembunuhan Anwar Sadat misalnya. September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Gerakan Jamaat Jihad kemudian terbentuk di dalam penjara. 6 Oktober 1981, kelompok yang berpegangan pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah” karya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat. Beberapa sampel kasus lain menunjukan bahwa tidak kekerasan, terorisme hingga yang terkategori kanibalisme muncul dari kondisi tertekan. Lebih lanjut, tindakan-tindakan ini samasekali tidak bisa diidentikan secara buta dengan fundamentalisme.

Apalagi bila kita pinjam definisi Frans Magnis Suseno tentang Fundamentalisme sebagai sebuah pandangan teologis atau penghayatan keagamaan di mana seseorang mendasarkan seluruh pandangan-pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya, pada ajaran eksplisit agamanya. Maka, terorisme – kanibalisme bukanlah efek dari fundamentalisme. Seorang fundamentalis sejatinya memahami bahwa agama mengajarkan nilai-nilai kedamaian dan kemanusiaan. Bahwa agama tidak mengamini kekerasan, aksi terror, tindak kanibalisme.
*) Dimuat dalam buletin Al-Furqan milik Pwk. Persis Mesir edisi Agustus 2008
**) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008 - 2009

Paradoks Ramadhan*

Oleh : Rashid Satari**

“300”, sebuah film kolosal sekaligus kontrofersial yang sukses mendemonstrasikan eksotisme seni berperang. Anda yang pernah menikmati film ini tentu bisa melihat langsung bagaimana perisai menjadi senjata yang sangat efektif bagi pasukan kecil Sparta saat menghadapi kedigdayaan pasukan Persia dalam pertempuran di Thermopylae pada tahun 480 SM. Di tempat lain, nun jauh di angkasa sana Stratosfer menjadi bagian penting Atmosfer yang melindungi bumi dari bahaya ultraviolet (UV), sinar X dan sinar gamma. Atmosfer menjadi perisai untuk bumi. Dua ilustrasi tadi cukup memberikan gambaran buat kita tentang fungsi penting perisai sebagai self defence.
Maka, analogi puasa sebagai perisai yang disuguhkan Muhammad Saw dalam sebuah haditsnya sangatlah sarat makna. “Puasa adalah perisai dari api neraka seperti perisainya seseorang di antara kamu dalam perang” (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban). Bila diinterpretasikan, perisai ini bisa bermakna ganda baik itu hakiki maupun majazi. Konsekwensi logis dari puasa bagi pelaksananya adalah penghindaran diri dari tindakan dan ucapan dosa. Selain itu, di beberapa negara maju puasa juga terbukti ampuh sebagai metode pengobatan alternatif. Satu lagi, sejarah mencatat bahwa Ramadhan telah menjadi saksi untuk kemenangan umat Islam di Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi di abad ke-7 Hijriyah. Betapa hebat ibadah puasa di bulan Ramadhan hingga kemenangan-kemenangan tersebut Allah abadikan dalam salah satu ayat surah Al Anfâl.
Ada rahasia yang harus kita kuak terkait dengan kemenangan-kemenangan yang nyaris terkategori sebagai keajaiban di atas. Kemenangan umat Islam secara heroik hingga bisa menjadi satu peradaban tangguh tidak kita temukan lagi hari ini meski telah melalui beratus-ratus kali Ramadhan. Mari sejenak berkontemplasi, salah satu keistimewaan ramadhan adalah saat di mana Al Quran sebagai pegangan hidup manusia diturunkan. Dalam salah satu ayat-Nya Allah merekomendasikan ramadhan sebagai waktu yang tepat untuk akselerasi amal mencapai derajat Taqwa. Sebuah derajat yang dijanjikan berbuah kebahagiaan dan kemenangan. Maka, sangat mungkin kebahagian dan kemenangan itu semakin utopis saat Al Quran hanya menjadi bacaan tanpa implementasi.
Sejatinya puasa menjadi pendidikan dalam membangun kualitas SDM umat Islam. Shalat semestinya menjadi tiang penyangga keyakinan. Pun seharusnya zakat dan shodaqoh menjadi stimulan bagi kebangkitan ekonomi masyarakat. Semua ini akan tetap terjadi saat Al Quran benar-benar vital sebagai pegangan, bukan sekedar pajangan. Lebih mengerucut lagi, semua itu akan tetap berlangsung bila ramadhan benar-benar dihayati dengan kesungguhan, dalam arti ramadhan yang sarat pengamalan nilai-nilai Al Quran.
Ramadhan merupakan bulan yang padat aktifitas ibadat. Dan, di saat yang sama Allah menjanjikan balasan berkali lipat. Tak heran, kita bisa dengan mudah merasakan dan menyaksikan langsung adanya peningkatan yang tajam dalam aktifitas ibadah. Masjid-masjid menjadi sesak setiap subuh dan malam. Muzakki berdatangan, mustahiq pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Langit menjadi meriah dengan lantunan Al Quran. Takbir bergenta penuh selama satu bulan.
Namun, siapa sangka ternyata banyak fenomena kontraproduktif terjadi selama ramadhan. Sebagai sampel, ramadhan diproyeksikan sebagai waktu yang tepat melatih kepekaan sosial, kepedulian dan kesederhanaan. Aktifitas puasa memungkinkan penurunan anggaran belanja harian. Tapi, sosial empirik membuktikan yang terjadi adalah sebaliknya. Ada peningkatan aktifitas belanja masyarakat di bulan ramadhan. Dan, semakin melejit tajam menjelang akhir ramadhan. Seperti informasi dari Bank Mandiri Surabaya, ada peningkatan penggunaan kartu kredit sebesar 15 % di ramadhan 1428 H. Tak ayal, Iedul Fitri pun menjadi ajang show power kekuatan ekonomi. Baju, sepatu, kerudung, dan berbagai aksesori baru menjadi jauh lebih penting ketimbang apa yang ada dibaliknya. Setiap tahun ini berlangsung, maka setiap tahun ramadhan berakhir hampa. Terbukti, pasca ramadhan masjid-masjid hanya diisi beberapa shaf saja saat subuh dan isya. Tilawah Al Quran dan aktifitas berderma mendapat nasib tak jauh beda.
Paragraf di atas secara implisit menunjukan bahwa bila ramadhan berlangsung tanpa penghayatan maka rentan melahirkan manusia-manusia konsumtif dan materialis. Pelipatgandaan pahala menjadi motivasi utama ibadah. Maka, tak heran ramadhan tidak berbekas di bulan-bulan berikutnya. Mustahiq bermunculan tanpa mengindahkan pertimbangan bahwa Islam mengamini tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Peningkatan gairah belanja memperlebar peluang tindak kejahatan. Di penghujung ramadhan, perhatian masyarakat terkonsentrasi pada materiil dan lupa pada hikmah agung I’tikaf dan rahasia sepuluh hari terakhir.
Sejatinya, ramadhan adalah madrasah. Ramadhan menjadi arena pendidikan rohani (tarbiyah ruhiyah), pendidikan intelektual (tarbiyyah fikriyyah), pendidikan jiwa dan mental (tarbiyah nafsiyah), pendidikan jasmani (tarbiyah jasadiyah), pendidikan ekonomi (tarbiyah maaliyah), dan pendidikan sosial (tarbiyah ijtima’iyah). Kesemua ini ada dalam ramadhan seakan membentuk satu kurikulum pendidikan khusus program satu bulan. Seorang anak didik akan bisa lulus dari madrasahnya bila berhasil melalui program pendidikannya dengan baik. Seperti itu pula seorang pelaksana puasa. Terdapat relasi elementer di antara puasa ramadhan dengan peningkatan kualitas kemanusiaan seseorang. Relasi ini akan menjadi sangat diametral bahkan kontradiktif bila rentetan pendidikan ini tidak dilakoni dengan kesungguhan.
Seperti 300 pasukan Sparta atau seperti Stratosfer, dibutuhkan kesungguhan agar perisai itu berfungsi sebagaimana mestinya. Semoga!

*) Dimuat dalam majalah La Tansa milik IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor cabang Cairo, edisi XI / Ramadhan 1429 H.

**) Mahasiswa S1 Universitas Al Azhar Cairo. Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008-2009.



Roman Agustusan*

Oleh : Rashid Satari**
Merdeka! Merdeka? Agustusan selalu berlalu secara eksotis. Bagi Republik Indonesia, agustusan sudah menjadi pesta tahunan. Berlembar-lembar, berkarung-karung rupiah seakan tak jadi soal demi menutupi anggaran agustusan. Meski anggaran tersebut sekedar untuk membiayai pembuatan kain bendera, reklamasi upacara, batang pinang, karung, hingga membayar panggung dangdutan. Keceriaan-keceriaan simbolis sebagai bukti bahwa bangsa ini mensyukuri kemerdekaannya.
Merdeka! Merdeka? Agustusan memang selalu eksotis. Pemerintah tak pernah lupa selalu menghimbau masyarakat untuk sejenak mengheningkan cipta pada pukul 09.30 di tanggal 17 Agustus. Dimanapun dan apapun aktifitas masyarakat saat itu. Mengheningkan cipta sebagai kesetiaan yang (lagi-lagi) simbolis tentang ketertautan hati dengan jalan Pegangsaan Timur 56 pada jam yang sama puluhan tahun yang lalu.
Simbol-simbol. Ternyata kita memang selalu butuh simbolisasi. Simbol sebagai tugu. Simbol sebagai peringatan untuk manusia-manusia yang lemah yang mudah lupa. Lupa akan jadwal, janji bahkan sumpah. Berkali-kali terjadi, kitab suci tidak lagi dihargai pasca pengikraran sumpah dan janji-janji. Sumpah pada pertiwi, sumpah atas jabatan, sumpah atas kesetiaan.
Seperti sumpah setia yang disimbolisasi pada upacara-upacara bendera. Seperti sumpah setia yang disimbolisasikan dengan lantang syahdu Indonesia Raya, Padamu Negeri, Hari Merdeka atau Garuda Pancasila. Agustusan selalu eksotis. Setahun sekali, segenap penghuni republik ini serempak mengumandangkan sumpahnya perlambang janji dan sumpah setia pada bumi pertiwi.
Tak lama kemudian, eksotisme Agustusan akan berlanjut secara dramatis. Tidak semua mengerti akan simbol-simbol. Tidak semua bisa menghayati dan mengelaborasi janji-janji. Bahkan, tidak semua bisa konsisten dengan komitmen sumpah-sumpah. Seperti spontanitas yang tersurat dalam lemparan dua botol air mineral saat penampilan band dalam rangka peringatan kemerdekaan di City Gym Nasr City kemarin lalu. Lebih mengerikan lagi, banyak juga komponen bangsa ini yang tak menghargai simbol-simbol. Manipulasi para jaksa, korupsi para penguasa, jual beli hukum dan suap-menyuap antar pengusaha dengan aparat negara terus berulang pra dan pasca peringatan kemerdekaan. Penyakit kronis yang menahun terjangkit pada para pria tambun berdasi-berpeci yang setiap tahun, yang setiap minggu mengangkat tangan hormat pada bendera di lapangan upacara.
Agustusan selalu eksotis. Agustusan selalu dramatis. Sia-sialah segepok anggaran negara. Mubazirlah keringat para pasukan paskibraka. Tak berarti mengheningkan cipta. Menjadi pilu nada-nada Indonesia Raya. Semakin sepuh dan rapuh sang Garuda. Merdeka hanya jadi fatamorgana.
63 tahun yang lalu semua elemen bangsa punya motivasi yang satu saat melantangkan kata Merdeka. Namun tidak untuk hari ini. Saat kepala negara, jajaran menteri, abdi dalem istana, dan wakil-wakil rakyat berteriak “merdeka!”, di saat yang sama para jurnalis, mahasiswa, rakyat jelata, kaum miskin kota, generasi bangsa tanpa seragam sekolah bertanya-tanya; “Merdeka?”.
*) Dimuat dalam buletin Al-Furqan milik Pwk. Persis Mesir, edisi Agustus 2008.
**) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008-2009

PERPUSTAKAAN RUMAH DAERAH*

[Menggagas Paru-paru Dinamika Berbasis Pustaka]

Oleh : Rashid Satari**

Prolog
Rumah daerah adalah anugerah. Keberadaannya kini telah memenuhi separuh dari impian masisir yang sejak lama mendambakan arena privacy sebagai penunjang aktifitas studi. Adapun separuh impian lagi terletak pada bagaimana keberadaannya kini dikelola sehingga tetap berada dalam idealisme awal yaitu sebagai sarana penunjang studi.

Namun, apa yang dikhawatirkan berbagai kalangan atas dampak negatif rumah daerah sebagaimana tercantum dalam TOR Lokakarya beberapa waktu ke belakang, rupanya tidak bisa dinafikan. Rumah daerah terbukti belum benar-benar berfungsi optimal sebagai pendukung studi mahasiswa kita. Kekhawatiran yang terangkum dalam TOR itu memperoleh relefansinya ketika belum tersusunnya konsep yang jelas dan aplikatif guna optimalisasi kedelapan rumah daerah yang saat ini ada.

Tidak bisa dipungkiri memang bahwa rumah daerah juga menuntut konsekwensi ongkos perawatan yang tidak murah. Maka tak heran bila hampir dari seluruh rumah daerah yang ada difungsikan juga sebagai lahan perputaran ekonomi seperti penginapan dan jasa penyewaan aula. Sejatinya, fenomena ini semestinya tidak lantas membelokkan orientasi awal rumah daerah. Apalagi ketika efeknya juga berimbas pada aktifitas mahasiswa ketika mereka lebih terkonsentrasi pada pengelolaan rumah daerah ketimbang pemanfaatannya sebagai pendukung prestasi studi.

Kurang lebih hal ini pula yang menjadi latarbelakang menguapnya ide memfungsikan rumah daerah sebagai kelas-kelas kuliah. Seperti diketahui bersama bahwa ide ini sempat muncul langsung dari KBRI melalui Duta Besar RI untuk Mesir, Abdurrahman Muhammad Fachir. Namun, opsi ini relatif memicu munculnya riak-riak resistensi dari para pengelola rumah daerah karena tentunya pengalihfungsian ini menginvestasikan konsekwensi atau resiko-resiko lain. Salah satunya adalah bagaimana dengan resiko biaya perawatan, siapa yang akan menanggungnya? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lain yang tak kalah pelik. Walaupun sebenarnya hal ini masih sangat mungkin untuk dikompromikan tanpa harus memicu kontradiksi persepsi.

Untungnya, semua pihak termasuk para mahasiswa pengelola rumah daerah pada prinsipnya sepakat dengan sebuah semangat yang mengumandangkan optimalisasi atau peningkatan efektifitas rumah daerah sebagai penunjang studi. Namun, belum ada formula mujarab yang bisa diterapkan untuk membumikan idealisme itu. Perhatian penulis kemudian mengarah pada keberadaan perpustakaan yang ada hampir di setiap rumah daerah.

Perpustakaan adalah aset yang sangat potensial bagi peningkatan kualitas keilmuan mahasiswa. Indikasinya, kehadiran PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo) sangat membantu pemenuhan kebutuhan mahasiswa untuk menunjang aktifitas studinya. Akan tetapi, dengan persediaan buku yang melimpah, PMIK masih belum maksimal memenuhi kebutuhan mahasiswa yang demikian besar. Ini menunjukan betapa perputakaan sangat dibutuhkan. Maka dari itu, keberadaan berbagai perpustakaan di rumah-rumah daerah tentu saja akan menjadi hal yang sangat menguntungkan bagi aktifitas studi mahasiswa kita. Namun, sudahkah hal itu terwujud?

Oleh karenanya, untuk mengurai dan memetakan paparan di atas, kita bisa menstimulasinya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Bagaimanakah mengoptimalkan potensi edukatif yang dimiliki rumah daerah? Mengapa harus berawal dari perpustakaan? Sudahkah perpustakaan yang ada sementara ini, memenuhi kebutuhan masisir? Bagaimana efek yang muncul bila perpustakaan dikonsentrasikan juga di rumah-rumah daerah? Dan pertanyaan yang tak kalah penting adalah bagaimana selanjutnya pengelolaan perpustakaan rumah daerah sebagai aset potensial?

Potensi Umum Rumah Daerah
Penting untuk kita ketahui bagaimana seluk beluk rumah daerah yang ada sementara ini. Dari beberapa rumah daerah yang ada, kesemuanya mengamini bahwa keberadaaanya tidak lain adalah sebagai penunjang prestasi studi mahasiswa Indonesia di Mesir. Khususnya bagi para putera daerah terkait.

Sebagai sampel adalah apa yang tertulis dalam Rencana Umum Pengadaan fasilitas Pasangrahan Jawa Barat (KPMJB) di Mesir tahun 2007-2008 yang menyatakan bahwa rumah daerah tersebut memiliki tiga fungsi. Pertama, Fungsi Dasar yaitu sebagai pusat aktifitas organisasi mencakup aktifitas pendidikan, dakwah, sosial dan budaya. Kedua, Fungsi Sosial yaitu sebagai tempat berkumpul dan silaturahmi masyarakat Jawa Barat di Mesir khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum. Ketiga, Fungsi Ekonomi yaitu sebagai lahan penggalian dana dan usaha untuk menutupi biaya operasional dan perawatan bangunan. Khusus terkait fungsi pertama, sebagaimana diamini pengelolanya (direktur) Pasangrahan Jawa Barat juga memiliki sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang cukup banyak meski keberadaannya belum terkelola secara maksimal.

Senada dengan Pasangrahan Jawa Barat, demikian juga dengan Meuligoe (rumah daerah) KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh) di Cairo. Pengelolaan rumah daerah yang ditangani langsung oleh pengurus organisasi ini mennyetujui bahwa sarana yang mereka miliki adalah sebagai penunjang studi. Oleh karenanya, rumah daerah ini lebih difungsikan sebagai arena belajar dan peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) KMA. Sebagai contoh adalah dengan pengelolaan perpustakaan rumah daerah secara serius, penyelenggaraan acara-acara edukatif seperti bimbingan belajar bagi mahasiswa baru, try out, bedah buku, bedah tesis dan lain sebagainya. Upaya-upaya tersebut cukup membuahkan hasil yang diindikasikan dengan kelulusan hampir semua anggota KMA yang berdomisili di kawasan Mathariyyah (berjumlah mencapai 70 orang) tahun ini.

Dan, sebagai wujud keseriusan KMA menjadikan Meuligoe sebagai sentral edukasi anggota, KMA memaksimalkan fungsi edukatif dari Meuligoe ini dengan tanpa kebijakan penyewaan. KMA memprioritaskan keberadaanya sebagai sarana belajar, serta memberikan kemudahan bagi siapa saja yang berminat meminjam atau memanfaatkan aula sebagai lokasi aktifitas studi.

Seperti halnya yang terjadi di Pasangrahan Jawa Barat dan Meuligoe Aceh, demikian juga dengan Baruga Sulawesi. Baruga memiliki fungsi utama sebagai wahana pengembangan keilmuan dan prestasi akademik, serta pengembangan seni dan budaya. Untuk mengimplementasikan hal itu, KKS (Kerukunan Keluarga Sulawesi) sebagai pengelola Baruga, mengalokasikan sarana yang dimiliki ini untuk peningkatan kualitas SDM anggotanya seperti memberikan keleluasaan pemakaian kepada setiap almamater yang berada di dalam lingkup Sulawesi. Indikasi yang lain adalah adanya Fordis (Forum Studi Sulawesi) yang menjadikan Baruga sentral aktifitasnya. Aktifitas forum ini adalah diskusi materi-materi kuliah. Selain itu, sebagai implementasi dari idealisme Baruga, pengurus KKS periode saat ini (2007-2008) memberikan porsi yang sangat besar terhadap program kajian ilmiah dibandingkan program seni atau olahraga. Hal ini dilakukan mengingat bahwa dinamika Baruga sebagai penunjang studi, berbanding lurus dengan program-program yang dicanangkan dewan pengurus organisasi KKS.

Berawal dari Perpustakaan
“Perpustakaan adalah gudang ilmu, bukan gudang buku!” [Ander Gunawan:2008]. Sebuah pernyataan yang memberikan penegasan tentang peran dan fungsi perpustakaan sebenarnya.
Beberapa abad yang lampau, tepatnya di antara fatrah waktu tahun 750 hingga 1258, Dinasti Abbasiyyah yang tengah memimpin umat Islam dunia, dikaruniai para filusuf dan ilmuwan. Usut punya usut, ternyata kala itu khalifah seperti Al Mansyur (754-775) sangat peduli dengan keberadaan perpustakaan. Kepeduliannya yang tinggi ini ditunjukan dengan keterlibatan langsung dirinya dalam pengelolaan dan pengawasan perpustakaan. Aktifitas penulisan, pengoleksian dan penerjemahan berlangsung baik. Ia juga membangun gedung khusus yang kemudian menjadi cikal-bakal Baitul Hikmah yang dibangun oleh Al Ma’mun (813-833), putera Harun Al Rasyid. Baitul hikmah kemudian menjadi perpustakaan besar dengan segala aktivitas intelektualnya. Sebelum dibumihanguskan oleh pasukan Mongol (1258), koleksi buku-buku di perpustakaan Baghdad kala itu mencapai 400 hingga 500 ribu buku.

Penggalan sejarah di atas menjadi salah satu bukti adanya korelasi yang kuat antara keberadaan perpustakaan dengan kemajuan masyarakat. Tak terkecuali bagi komunitas mahasiswa seperti mahasiswa Indonesia di Mesir (masisir). Perpustakaan hadir sebagai penyedia bahan-bahan referensial bagi aktifitas-aktifitas akademis-intelektual. Oleh karenanya, perpustakaan menjadi keniscayaan bagi mahasiswa.

Sebuah motto berbunyi “perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan” masih diakui banyak orang. Namun mencari relefansinya secara empirik dengan kenyataan di tengah-tengah masyarakat kita bukanlah hal yang mudah. Apalagi hal ini disambut dengan laporan UNDP tahun 2003 tentang minat baca masyarakat Indonesia yang menyebutkan bahwa dari 41 negara yang diteliti ternyata Indonesia menempati peringkat ke-39. Kenyataan ini layak membuat kita mengelus dada karena rupanya walau laporan UNDP ini telah berusia lima tahun, masyarakat masih belum banyak berubah. Minat baca masyarakat kita masih rendah.

Bila dianalisa lebih lanjut maka masalah minat baca ini tentu dipengaruhi banyak faktor mulai dari ekonomi, kurikulum pendidikan dan lain sebagainya termasuk faktor perpustakaan. Sebagai contoh, dalam sebuah blog, seorang mahasiswa mengekspresikan keprihatinannya atas nasib perpustakaan Indonesia. Ibnu Adam Aviciena, sang pemilik blog menuliskan pengalamannya di tahun 2001 semasa masuk kuliah di IAIN Serang. Rasa haus akan buku-buku saat itu selalu saja terpenggal oleh ketidaktersediaan buku di perpustakaan kampusnya itu. Akhirnya, selama empat tahun kuliah di sana, hanya beberapa kali saja ia berkunjung ke perpustakaan. Dalam pengamatannya, selama empat tahun tidak ada perkembangan buku yang berarti berlangsung di sana.

Kondisi yang kontras ia rasakan saat ia akhirnya berkesempatan mengecap dunia kampus di Universitas Leiden Belanda. Universitas ini dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan yang tak hanya menyediakan buku-buku saja akan tetapi juga melengkapinya dengan layanan internet dan perpustakaan digital. Koleksi bukunya pun terdiri dari buku lama hingga buku baru. Lebih mengagumkan lagi ternyata itu baru perpustakaan universitas, artinya masih banyak perpustakaan-perpustakaan setingkat fakultas.

Sekali lagi, paparan di atas menegaskan kembali potensi perpustakaan sebagai parameter kemajuan masyarakat. Hal ini berlaku pula ketika dikontekstualisasikan ke dunia masisir. Seiring perkembangan kualitas maupun kuantitas masisir dari tahun ke tahun, keberadaan perpustakaan menjadi hal yang determinan. Hal ini sejatinya semakin bisa terpenuhi apalagi ketika kini hadir berbagai rumah daerah di tengah-tengah masisir. Karena bukankah latar belakang keberadaan rumah daerah ini adalah sebagai penunjang prestasi studi masisir.

Kampanye Perpustakaan Rumah Daerah
Sedikit mengulas pembukaan tulisan ini, bahwa perpustakaan adalah faktor determinan prestasi studi mahasiswa. Keberadaan Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo (PMIK) yang dilengkapi dengan 5500 koleksi buku (3500 buku berbahasa Arab, 1500 buku berbahasa Indonesia dan 500 buku berbahasa Inggris) ternyata masih belum cukup menutupi kebutuhan masisir yang jumlahnya mencapai 5083 orang akan bahan bacaan. Terlebih lagi bila disesuaikan dengan peningkatan kuantitas masisir setiap tahunnya. Atas dasar itulah, masisir masih membutuhkan wahana-wahana tambahan serupa PMIK. Wahana tersebut bisa diupayakan melalui keberadaan rumah daerah.
Walhasil, dari hasil survey ke beberapa rumah daerah yang ada ternyata semuanya sudah memiliki fasilitas perpustakaan meski dengan kondisi yang berbeda satu sama lain dan meski dengan pengelolaan yang masih jauh dibandingkan PMIK. Namun, setidaknya hal ini sudah menjadi modal awal bagi terbangunnya sebuah ‘batu lompatan’ menuju rumah daerah yang didominasi dengan ruh aktifitas studi di dalamnya.

Adalah Baruga KKS (Kerukunan Keluaga Sulawesi). Sebuah rumah daerah yang telah memiliki satu ruangan khusus sebagai wahana pustaka lengkap dengan beberapa rak buku. Kelebihan yang dimiliki perpustakaan Baruga Sulawesi ini adalah koleksi bukunya yang dilengkapi dengan puluhan bundel majalah lama di mana di sana terekam berbagai momen sejarah baik skala nasional maupun internasional. Pengelolaan perpustakaan ini ditangani langsung oleh sebuah badan otonom yang baru didirikan tahun ini. Koleksi buku yang adapun sudah ditata dengan pola katalog. Kebijakan pinjam-meminjam buku pun sudah berjalan. Dan, kegiatan yang berkaitan langsung dengan perpustakaan pun sudah digalakan seperti program telaah literatur turats. Lebih menarik lagi, perpustakaan Baruga yang didominasi dengan kitab-kitab tutrats ini seringkali dikunjungi oleh berbagai pihak dari luar dengan maksud mencari referensi turats. Berbeda dengan PMIK, perpustakaan Baruga memberikan leleluasaan waktu peminjaman buku mengingat misi perpustakaan dalam memberikan kemudahan kepada konsumen pembaca, khususnya dari kalangan anggota.

Ada hal menarik terungkap, bahwa ternyata buku-buku berbahasa Indonesia saat ini jauh lebih dibutuhkan daripada buku-buku berbahasa Arab. Hal ini disampaikan pengelola perpustakaan KMA. Seperti diketahui bersama bahwa Cairo merupakan negeri yang kaya dengan khazanah buku. Apalagi ditambah dengan harga buku yang rata-rata relatif murah sehingga memungkinkan setiap mahasiswa memiliki koleksi pribadi buku-buku berbahasa Arab. Buku berbahasa Indonesia sangat diperlukan mengingat jumlahnya yang minim saat ini, juga karena dari sana mahasiswa kita di sini memperkaya wawasan ke-Indonesiaan-nya. KMA menjawab hal ini dengan upaya pengajuan proposal bantuan buku kepada Pemda juga pemberlakuan kebijakan one man one book terhadap mahasiswa baru asal Aceh atau anggota yang pulang liburan ke Indonesia.

Selain itu, KMA juga mengungkapkan tentang perlunya mahasiswa kita terhadap literatur yang mengungkap kondisi daerah asal. Buku-buku seperti ini kemungkinan besar tak akan ditemui di perpustakaan yang sekupnya lebih besar seperti PMIK misalnya. Buku tersebut seperti buku kodifikasi keputusan Mahkamah Syariah di Aceh, kumpulan hasil seminar di Aceh dan lain-lain. Perpustakaan ini juga menjadi sarana pendokumentasian sekaligus publikasi hasil karya anggota, seperti yang telah dilakukan terhadap kumpulan cerpen anggota KMA yang diterbitkan baru-baru ini.

Namun, tentu saja dibalik peran perpustakaan rumah daerah yang sangat potensial ini, masih banyak kendala yang dihadapi. Perpustakaan Baruga masih menghadapi kendala SDM pengelola perpustakaan. Hal ini menimbulkan kendala lain seperti kurang tertatanya sirkulasi pinjam-meminjam dan perawatan. Perpustakaan KPMJB menambahkan masih adanya kendala koleksi buku yang saat ini masih sangat minim. Perpustakaan Meuligoe KMA mengamini kendala-kendala tersebut dan menambahkan lagi masih adanya kendala sarana perawatan seperti rak/lemari buku. Sebagai tambahan, PMIK pun hingga saat ini masih menghadapi kendala kekurangan koleksi buku yang berimbas langsung pada tidak optimalnya pelayanan yang bisa diberikan pada aktifitas studi mahasiswa.

Perpustakaan-perpustakaan di atas merupakan sampel dari keseluruhan potensi perpustakaan yang dimiliki semua rumah daerah. Dari sampel yang ada tersebut kita bisa menyimpulkan beberapa poin berikut ini,
1. Perpustakaan di rumah daerah memiliki urgensi yang sangat tinggi sebagai penunjang kegiatan-kegiatan studi mahasiswa.
2. Perpustakaan seperti ini sangat berpotensi menjadi stimulus bagi terbangunnya suasana adukatif di setiap rumah daerah yang ada.
3. Masih ada beberapa kendala yang dihadapi perpustakaan di rumah daerah yang bila diklasifikasikan kendala itu terbagi pada dua aspek yaitu aspek koleksi buku dan aspek pengelolaan.

Tahapan Penggagasan dan Pemberdayaan
Setelah kita mengetahui berbagai potensi positif yang dimiliki perpustakaan dalam rangka optimalisasi fungsi rumah daerah sebagai penunjang prestasi studi mahasiswa, maka ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan sebagai upaya akselerasi pencapaian target tersebut.
Pertama, pentingnya pembekalan melalui pelatihan kepustakaan. Hal ini bisa dilakukan oleh PMIK atau berbagai instansi lain yang berkompeten dalam pelatihan pengelolaan perpustakaan. Kedua, perlunya pembangunan link dengan berbagai lembaga donasi buku baik di Indonesia maupun di Mesir. Untuk di Indonesia ini bisa diupayakan dengan menjalin komunikasi dengan Pemda, Ikapi dan yang lainnya. Untuk di Mesir, bisa dilakukan kepada berbagai lembaga perpustakaan seperti IIIT (International Institute of Islamic Thought) yang pada tahun 2005 pernah menyumbang Pwk. PII Mesir dengan ratusan buku berbahasa Arab dan Inggris. Ketiga, sayembara perpustakaan sebagai stimulan. Sayembara ini dimaksudkan untuk menstimulasi bangkitnya perpustakaan-perpustakaan rumah daerah. Kriteria sayembara bisa diperluas mencakup koleksi buku hingga dinamika aktifitas kepustakaan di dalamnya. Sayembara seperti ini bisa dilakukan secara reguler seperti tahunan misalnya, sehingga progresifitas perkembangan setiap perpustakaan bisa tetap terpantau.

Langkah - langkah di atas diharapkan bisa menjadi langkah awal yang efektif dari terbangunnya budaya baca-tulis, budaya pendokumentasian, budaya telaah, dan budaya kajian. Semua itu dimaksudkan sebagai pelengkap kekayaan wawasan bagi mahasiswa yang juga memperoleh khazanah intelektual dari bangku kampusnya. Selain itu, hal ini juga bisa dijadikan arena alternatif bagi mahasiswa yang merasa bahwa aktifitas di kampus tidak memenuhi rasa hausnya akan studi.

Peningkatan fungsi perpustakaan di setiap rumah daerah seperti di atas secara langsung akan berefek pada peningkatan dinamika aktifitas studi keilmuan mahasiswa. Dan, kondisi tersebut akan terbangun tanpa harus mengganggu fungsi lain dari rumah daerah sebagaimana berlangsung selama ini seperti sewa-menyewa aula dan lain sebagainya.

Epilog
Bila dianalogikan, ekspektasi penulis atas perpustakaan rumah daerah ini seperti Kebun Raya yang menjadi paru-paru Bogor. Atau seperti Bogor dan hutan-hutan tanah air lainnya yang menjadi paru-paru Indonesia. Perpustakaan rumah daerah diharapkan bisa menjadi pensuplai tenaga untuk membangun atmosfer adukasi di tengah – tengah Masisir.
Berbagai ide optimalisasi rumah daerah dalam mendukung studi mahasiswa sangat diharapkan kemunculannya. Ide pemberdayaan perpustakaan rumah daerah adalah sebuah ide sederhana yang diharapkan bisa sangat aplikatif diimplementasikan dengan mudah dan biaya yang murah. Semoga menjadi masukan yang berarti untuk kita dalam rangka membangun dinamika mahasiswa yang lebih progresif dan edukatif.
Daftar Pustaka
1. Term Of Reference (TOR) LOKAKARYA Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir. Cairo : 2008.
2. Laporan Hasil Lokakarya “Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir”. Cairo : 2008
3. Karya tulis Iftitah Hidayati, “Urgensi Perpustakaan Berbasis Tekhnologi Informasi Dalam Pengembangan Keilmuan Siswa”. Probolinggo :
4. Makalah Hartati S.Pd, “Perpustakaan Sebagai Sarana Penunjang Tercapainya Tujuan Pendidikan”.
5. Makalah Sulistyo Basuki, “Perpustakaan dan Asosiasi Pustakawan di Indonesia dilihat dari Segi Sejarah”. Jakarta : 2004.
6. Makalah Wahyu Murtiningsih, “Menuju Perpustakaan Ideal”. Jogyakarta.
7. Slide Arlinah i.r, “Sejarah dan Pengertian Perpustakaan”.
8. Tata Tertib Pasangrahan KPMJB (Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat) Cairo.
9. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Perwakilan Pelajar Islam Indonesia (Pwk. PII) Mesir Periode 2004-2006. Cairo : 2006
10. Laporan Pertanggungjawaban Panitia Proyek Pengadaan Rumah Daerah Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat (KPMJB). Cairo : 2005 – 2006.
11. Wawancara dengan Pengelola Rumah Daerah Rumah Daerah KMA
12. Wawancara dengan Pengelola Rumah Daerah Rumah Daerah KKS
13. Wawancara dengan Pengelola Rumah Daerah Rumah Daerah KPMJB
14. Wawancara dengan Pengelola / Direktur PMIK
15. http://palembang-blogger.blogspot.com/2008/05/perpustakaan-adalah-gudang-ilmu-bukan.html
16. www.siaksoft.net/index.php
17. http://pustakakita.wordpress.com/2007/01/02/sejarah-perpustakaan-baghdad/
18. http://www.pnri.go.id/feedback/qs/idx_id.asp?box=dtl&id=223&from_box=lst&hlm=64&search_ruas=&search_keyword=&search_matchword=
19. http://badanperpusda-diy.go.id/v2/cetak.php?page=berita&id=32
20. http://www.lib.ui.ac.id/readarticle.php?article_id=10
21. http://www.ubaya.ac.id/?c=CQkGVB4HWQ4JUgA6NzNjYWJlMWE=
22. http://ibnuadamaviciena.wordpress.com/2007/07/31/kami-butuh-perpustakaan-bung/
23. http://buntomijanto.wordpress.com/2007/12/04/perpustakaan-sebagai-pusat-wisata-karya-peradaban-1/


*) Peserta Lomba Karya Tulis HUT RI ke-63 KBRI Cairo
**) Mahasiswa S1 Universitas Al Azhar Cairo Jurusan Da'wah wa Tsaqafah Islamiyyah

Bukan Mahasiswa Rekreatif*

~ Catatan Musim Panas Kelima ~


Oleh : Rashid Satari**


Liburan. Kata yang sangat definitif untuk masisir di tengah musim panas. Buat saya sendiri, kali ini adalah musim panas ke lima. Dan setiap tahun, aktifitas masisir hampir tak ada beda. Musim panas berarti liburan. Lebih detail lagi bisa diartikulasikan dengan pulang ke tanah kelahiran. Ada juga yang rihlah atau jalan-jalan. Ada yang memilih kursus, talaqi bahkan memilih kajian. Ada yang sibuk suksesi bahkan ‘belajar’ rebutan kursi kekuasaan. Ada yang setia dengan dagang. Dan yang tak kalah menarik baru muncul tahun ini adalah ada pula yang magang.

Panas. Masisir tentu merasakan hal itu di sekitar fatrah waktu bulan Juli hingga September. Bukan sekedar panas karena faktor geologis. Melainkan lebih karena atmosfer aktifitas masisir sendiri. Oleh karenanya ‘musim panas’ di sini bisa sangat ambivalen. Panas hingga menyebabkan mimisan. Panas hingga membuat riang atau pingsan di depan dinding pengumuman natijah ujian. Namun kesemua itu tentu tidak sepanas arena hajatan masisir yang dinamakan Pemiluwa. Ajang pergantian PPMI 01. Sebagian orang bilang sebagai sebuah pesta demokrasi tahunan. Selain itu, suksesi juga serempak di berbagai organisasi yang ada. ‘Panas’ benar terjadi di mana-mana. Apalagi ketika beragam suksesi itu selalu disulut oleh satu isue yang hampir setiap aktifis mahasiswa mengetahuinya.
Hingga musim panas ke lima, wajah masisir mungkin banyak sekali berubah. Ada yang pulang, ada yang datang. Bertambah bujang, berkurang lajang. Tapi tidak dalam hal aktifitas musim panasnya. Setiap tahun, corak musim panas mahasiswa kita kalau tidak bernuansa rekreatif maka edukatif. Atau sebaliknya. Yang mengherankan adalah terjadinya peningkatan yang tajam dalam hal aktifitas rekreatif setiap tahun. Tahun ini saja misalnya hampir setiap organisasi mengadakan acara rihlah. Dari organisasi sejenis afiliatif, kekeluargaan, marhalah, senat bahkan hingga mat’am. Salahkah? Tentu tidak, selama itu merupakan jawaban atas kebutuhan anggota-anggotanya. Apalagi semua dilakukan pasca ujian termin dua yang selalu dijadikan sandaran legislasi berbagai acara bersifat fun. Meski di pihak lain, kalau boleh mengutip celetukan beberapa kawan di pojok rumah makan, “bukankah selama ini pra ujian juga waktu liburan?!”.

Lain jalan-jalan, lain pula nasib aktifitas kajian keilmuan. Saat musim panas, kegiatan yang satu ini bisa dipastikan menjadi makhluk paling aneh bagi anda, bagi saya, bagi kita. Kajian di musim panas bagaikan secangkir jamu di tengah-tengah kumpulan gelas jangkung berisi softdrink. Kajian jadi sedemikan aneh karena ia dinilai sebagai objek yang tidak koheren dengan satu budaya lain mahasiswa yang semakin menggejala dan digandrungi yaitu budaya rekreasi. Pamflet jadwal Talaqqi yang disebar PPMI dengan mudah tenggelam begitu saja ditelan tumpukan pamflet reklame tour. Tunggu, mengapa tiba-tiba edukatif dan rekreatif seakan menjadi dua hal yang saling bertentangan?!

Mungkin fenomena di atas hanya terjadi di awal musim panas karena suasana pasca ujian yang harus dimaklumi. Lantas ada apa setelah itu? Waktu akan bergeser pada berbagai agenda suksesi di mana-mana. Macam-ragam namanya. Ada Pemiluwa, ada SPA, ada musyawarah anggota dan lainnya. Biasanya ini memakan area bulan tujuh dan delapan. Bulan sembilan masa transisi. Memasuki bulan sepuluh penuh agenda ijroat dan penyambutan mahasiswa baru. Setelah itu, masa kuliah dimulai. Tidak perlu ditanya apa aktifitas di masa kuliah karena jawabannya sudah dimaklumi bersama. Begitulah mainstream dinamika mahasiswa kita di musim panas. Tidak bisa digeneralisir memang. Sayangnya, sosiologi mengamini bahwa komunitas masyarakat didefinisikan oleh budaya mayoritas personalnya.

Namun meski demikian, generalisasi corak aktifitas musim panas harus selalu mempertimbangkan adanya unsur personal yang tak bisa diintervensi. Personalitas sangat mempengaruhi lahirnya aktifitas adukatif dan rekreatif. Terlebih untuk kalangan mahasiswa yang notebene adalah kelompok masyarakat mandiri dan berinisiatif, baik saat dia berposisi sebagai unsur organisasi maupun saat dirinya berperan sebagai pribadi.

Labih jauh lagi, dialektika efektifitas tentang aktifitas musim panas akhirnya jadi hal yang tidak perlu. Penghukuman agenda jalan-jalan sebagai agenda sia-sia tidak bisa dengan sedemikian mudah divoniskan. Pun demikian dengan aktifitas kajian keilmuan di musim panas, tidak lantas begitu saja dinobatkan sebagai aktifitas ideal bagi mahasiswa.

Semua ini, berkaitan erat dengan mindset. Sebagaimana hal serupa diterapkan Jalaluddin Rahmat ketika memetakan konsep ‘kebahagiaan’ dan ‘kesengsaraan’ dalam menyikapi bencana dan keberuntungan. Baginya, musibah adalah realita objektif dan penderitaan adalah realitas subjektif. Musibah adalah realitas di luar diri kita dan penderitaan adalah picture in our head. Lebih ekstrim lagi, musibah adalah kenyataan sedang penderitaan adalah pilihan. Begitu juga dengan keberuntungan, ia adalah objektif dan bahagia adalah subjektif. Rekreasi, jalan-jalan, kajian keilmuan adalah objektifitas, sedangkan edukatif dan rekreatif adalah subjektifitas dalam mindset manusia bertitel mahasiswa.

Rekreasi atau tour, kajian keilmuan atau pengajian adalah real yang objektif yang setiap kita bisa melihatnya secara kasat mata. Sedangkan edukatif atau rekreatif adalah mindset. Tinggal kita memilih mana yang akan kita jadikan paradigma atau cara pandang dalam beraktifitas di musim panas. Sederhananya, apapun aktitifas yang dilakukan, setiap mahasiswa dituntut bisa mengatur settingan cara pandangnya diantara dua pilihan; edukatif atau rekreatif. Bukankah selama ini banyak terjadi pengemasan nilai-nilai pendidikan dengan cangkang hiburan. Atau sebaliknya, tak jarang bagian dari kita yang turut dalam kegiatan-kegiatan sarat muatan pendidikan, namun dengan membawa motivasi sekedar ikut-ikutan atau mencari celah hiburan.

Segala aktifitas di musim panas dan bahkan musim dingin sejatinya tidak menyeret-nyeret identitas kita selaku mahasiswa ke tebing curam dimana di sana hanya ada komunitas manusia pecinta rekreasi dan hiburan. Terlebih lagi mahasiswa senantiasa identik dengan budaya hidup ilmiah.

Tak ada standar baku untuk mengukur efektifitas kegiatan mahasiswa di musim panas. Relatifitas berlaku pada titik ini. Sebagaimana tidak pernah bakunya standar kesuksesan mahasiswa di sini. Sesederhana dan sekecil apapun kegiatan, saat edukasi digunakan dalam mindset, atau saat edukasi dipasang dalam cara pandang, maka kemungkinan besar akan berimplikasi pada pencapaian kualitas kegiatan secara maksimal.

Ini sekedar catatan ringan dari musim panas kelima saya. Boleh jadi anda punya pandangan lain. Mungkin dari musim panas kedua anda. Atau barangkali ada yang punya catatan pinggir dari musim panas keduabelasnya. Semoga masisir tetap menjadi komunitas mahasiswa edukatif.


*) Dalam buletin Terobosan milik mahasiswa Indonesia di Mesir
**) Penggemar Napak Tilas di Musim Panas







Membela Hak Pendidikan

[Belajar dari Kasus Penyelundupan 39 Santri ke Mesir]
Oleh : Rashid Satari*

Lagi, wajah pendidikan Islam Indonesia kembali tercoreng. Satu kasus mengatasnamakan pendidikan, yang kemudian digolongkan sebagai kasus penyelundupan manusia terjadi. Heboh! Beritanya dimuat di berbagai media tanah air seperti dalam koran Republika edisi Selasa 17 Juni dan Jumat 20 Juni 2008. 39 orang terdiri dari 22 wanita dan 17 pria usia belasan tahun diberangkatkan secara ilegal ke Mesir untuk tujuan pendidikan. Dalih kuliah tanpa test di Universitas Al Azhar dan kemudahan beasiswa menjadi iming-iming yang kemudian terbukti sebagai penipuan.

Menurut informasi dari Bagian Penerangan KBRI Cairo, bahwa pihak pemberangkat telah diperingatkan sebelumnya oleh berbagai elemen di KBRI supaya menempuh jalur sesuai aturan yang dalam hal ini aturan Departemen Agama (Depag) RI tentang mahasiswa baru (baca:maba) Universitas Al Azhar. Namun pihak pemberangkat bersikeras memberangkatkan. Terlepas dari alasan bisnis dan materi, alasan tentang hak pendidikan sempat terdengar. Bahwa pendidikan adalah hak siapa saja.

Pada prinsipnya, sekolah atau menuntut ilmu memang hak siapa saja, dimana saja, kemana saja, tak terkecuali ke Universitas Al Azhar Mesir. Namun, tentunya hak pendidikan tidak bisa dipaksakan, akan tetapi harus ditempuh sesuai ketentuan yang berlaku.

Kondisi Empirik Delapan Tahun Terakhir

Prosedur menembus universitas Al Azhar untuk maba sudah beberapa kali mengalami perubahan. Kebijakan ini selalu disesuaikan dengan keadaan dan juga (tentu saja dengan) kebutuhan.

Tahun 2000 calon maba harus sedikit berspekulasi. Datang dulu ke Mesir lalu mendaftarkan diri. Syukur-syukur bila lulus dan diterima. Bila tidak lulus atau ditolak maka konsekwensinya adalah kembali ke tanah air. Setahun berikutnya, 2001 ada kebijakan metode perwakilan (taukil). Berkas-berkas calon mahasiswa dikirimkan ke Mesir dan didaftarkan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sudah kuliah di Al Azhar. Dan tentu saja, untuk ijazah-ijazah yang telah terakreditasi Al Azhar akan sedemikian mudah diterima. Maka calon mahasiswa tersebut bisa dengan tenang berpamitan pada sanak saudara, handai tolan untuk belajar di kampus yang telah melahirkan Sayyid Qutb, Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, Yusuf Qaradlawi, hingga Quraisy Syihab dan Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) ini.

Sedemikan mudah memasuki Al Azhar hingga tak heran bila data statistik KBRI Cairo menunjukan jumlah maba asal Indonesia yang datang tahun 2004 mencapai 1050 orang. Mereka datang dalam tenggat waktu yang berdekatan. Padahal tahun sebelumnya jumlah maba hanya 300-an. Lebih dahsyat lagi di tahun 2005, maba yang datang mencapai 1.300-an orang. Cairo pun sesak.

Bak jamur di musim hujan, beragam masalah bermunculan. Ada selisih biaya pemberangkatan yang terlampau kontras antara sesama maba. Ini berkaitan erat dengan ulah para calo / broker.

Ada juga masalah tempat tinggal. Karena mayoritas mahasiswa Indonesia berdomisili di Cairo dan terkonsentrasi di satu kawasan yang tak terlalu luas yaitu kawasan Hay Asyir di Nasr City. Maka, rumah pun menjadi masalah yang pelik. Permintaan pasar yang tinggi untuk flat sewaan menjadikan para pemilik flat memasang harga sewa yang jauh lebih mahal dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lebih parah lagi, ada beberapa kasus maba yang terkatung-katung, tak punya kepastian tempat bermalam dan bernaung.

Masalah lain adalah beasiswa. Rata-rata mahasiswa Indonesia yang datang ke Mesir berasal dari kalangan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Seperti kasus terbaru, sebelum berangkat ke Mesir hampir bisa dipastikan setiap maba diiming-imingi kemudahan beasiswa di Al Azhar khususnya dan di Mesir umumnya. Beasiswa di sini memang mudah. Namun, lain halnya bila kondisi pengaju beasiswa mencapai ribuan. Apalagi ternyata Universitas Al Azhar hanya memberikan beasiswa tidak lebih untuk 150 mahasiswa baru asal Indonesia setiap tahunnya. Lantas bagaimana dengan 2000-an mahasiswa lainnya dalam fatrah waktu 2004 dan 2005?

Masalah-masalah lain yang terangkum dalam dua kata "patologi sosial" terjadi di kalangan mahasiswa Indonesia kala itu. Masalah pergaulan, kohesi sosial yang kurang sehat, problem ekonomi dan lain sebagainya.

Upaya Menata Hak Pendidikan

Para stakeholders memutar otak mencari ramuan antisipatif untuk tahun-tahun berikutnya. Pencarian jalan keluar ini kemudian bermuara di kebijakan Depag yang merevitalisasi test masuk ke Al-Azhar. Secara gamblang, test ini bisa kita lihat memiliki dua target. Pertama, menekan jumlah maba. Kedua, menjaring maba berkualitas tak hanya di atas kertas. Yang bila disimpulkan, sistem test ini punya harapan bahwa maba yang datang kemudian berhasil disaring dan ditekan kuantitasnya dengan jaminan kualitas.

Mengapa kualitas? Karena sudah menjadi rahasia bersama, ternyata pada tahun-tahun sebelumnya, tak semua maba yang datang dalam keadaan siap "tempur" dengan diktat-diktat Universitas Al Azhar. Terbukti misalnya, pada tahun akademik 2006/2007, tingkat ketidaklulusan yang dialami mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar pada tingkat pertama sebesar 52%.

Tentang hak pendidikan, pihak Universitas Al Azhar sendiri memang sangat membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mengikuti kegiatan perkuliahan di sana. Hal ini terutama karena alasan bahwa Al Azhar adalah aset wakaf umat Islam sedunia yang mana dana pengelolaannya pun bersumber dari dukungan umat Islam dunia seperti dari negara-negara yang tergabung dalam OKI misalnya. Dan dari intensitas dialog dan hubungan yang baik, Al Azhar memaklumi kebijakan test yang diberlakukan Depag RI.

Salah satu dampak positif test ini adalah menghindari penyalahgunaan kesempatan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab. Kasus penipuan yang akhirnya digolongkan sebagai penyelundupan manusia atau trafficking atas 39 orang kemarin bisa dijadikan sampel kasus. Dana sebesar 17 juta rupiah perkepala yang sebenarnya cukup untuk membiayai keberangkatan dua orang, sia-sia melayang.

Kebijakan Depag tentang test masuk Universitas Al Azhar sendiri sebenarnya telah mengalami perkembangan yang signifikan. Ini ditunjukan dengan adanya penambahan kuota calon mahasiswa dalam bentuk seleksi non-beasiswa yang mulai diberlakukan sejak tahun 2006. Kebijakan sebelumnya, kuota terbatas hanya untuk 100 orang dengan nilai tertinggi dari seleksi beasiswa. Seleksi non-beasiswa memungkinkan adanya kesempatan yang lebih terbuka bagi peminat Al Azhar. Dan, sebenarnya bagi mahasiswa seperti ini masih tetap memiliki kesempatan yang lebar untuk memperoleh beasiswa setelah tiba di Mesir mengingat banyak lembaga lain di luar Al Azhar yang memberikan beasiswa. Dari sini kita bisa melihat bahwa Depag mempermudah kesempatan bagi anak bangsa untuk mengecap bangku Universitas Al Azhar.

Diperlukan penindakan secara tegas terhadap kasus-kasus penipuan dan penyelundupan yang mengatasnamakan pendidikan seperti terjadi kemarin. Selain itu, frekuensi sosialisasi prosedur yang legal pada masyarakat tentang jalan masuk universitas luar negeri khususnya Al Azhar perlu ditingkatkan. Kedua hal ini guna menghindari terulangnya kasus-kasus serupa, juga agar masyarakat kita memiliki gambaran yang jelas tentang masa depan pendidikan putra-puterinya di Al Azhar. Dan, yang tak kalah penting adalah bahwa langkah-langkah ini sebagai bentuk pembelaan kita atas hak-hak pendidikan mereka yang menjadi korban penipuan.

*) Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo, Jurusan Da'wah dan Tsaqafah Islamiyyah.
Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Mesir 2006-2008.

Objektifitas Untuk Tragedi Monas

Oleh: Rashid Satari*

Wajah Islam Indonesia kembali berduka. Buntut tragedi Monas pada peringatan Hari Pancasila (01 Juni 2008) menghadirkan potret perselisihan antar sesama saudara se-iman se-Islam berkelanjutan. Bahkan perkembangan selanjutnya menunjukan potensi pertikaian horizontal yang lebih luas lagi.

Kekerasan tentu saja tidak pernah diamini semua orang. Tak hanya kekerasan fisik, namun juga kekerasan intelektual, kekerasan politik, kekerasan ekonomi, dan kekerasan dalam bentuk lainnya.

Tindakan pemukulan yang dilakukan beberapa orang anggota FPI (Front Pembela Islam) di silang Monas menuai kecaman di berbagai tempat. Bahkan dari dalam FPI sendiripun. Pembubaran diri FPI Jember bisa diindikasikan sebagai refleksi ketidaksetujuan atas kekerasan yang terjadi.

Sekali lagi, kekerasan tidak pernah diimpikan siapapun. Habib Rizieq Shihab (Ketua FPI Pusat) sendiri mengakui bahwa tindakan anggota FPI di halaman Monas adalah spontanitas (4/6), tanpa rencana atau out of control. Artinya, kejadian itu murni tidak diinginkan. Dari sini kita bisa melihat bahwa kejadian tersebut adalah reaksi emosional sebagai wujud luapan kekecewaan yang tak bisa dibendung oleh keterbatasan daya sabar manusia, atas ketidaktegasan yang terjadi. Terlebih lagi tragedi Monas merupakan kejadian yang melibatkan massa cair di lapangan, di mana dalam kondisi seperti itu berbagai kemungkinan bisa saja terjadi tanpa kendali.

Realita empirik menunjukan, pemerintah sampai saat ini belum menampakan ketegasannya atas kasus Ahmadiyah. Hal inilah yang saat ini hampir terlupakan publik. Masyarakat akhirnya hanya menilai apa yang terjadi di halaman Monas tempo hari tanpa melihat lebih jauh apa yang sebenarnya memicu tragedi itu.

Ketika juru bicara Presiden RI, Andi Malaranggeng menyatakan bahwa aparat pemerintah akan menindak tegas kasus ini sesuai hukum yang berlaku (4/6), maka hal yang juga tidak boleh ditinggalkan adalah objektifitas. Mengingat banyak hal yang telah terjadi melatarbelakangi tragedi ini.

Objektifitas tentu tidak hadir begitu saja. Secara stuktural, dalam konteks negara Indonesia objektifitas lahir dari pihak yang dipercaya bersama dan memiliki kewenangan yang legitimate, dalam hal ini aparat negara. Adapun secara kultural, objektifitas lahir dari kesepakatan mufakat yang muncul dari dialog antar ide dan pikiran yang mengedepankan kemaslahatan kolektif.

Kebijaksanaan

Sementara ini, muncul berbagai analisa atas kasus yang melibatkan FPI dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) ini. Ada yang menilai ini adalah buah dari intervensi Amerika yang lebih suka kelanggengan Ahmadiyah di tanah nusantara dan tidak senang dengan kehadiran kelompok Islam “garis keras” semacam FPI. Selain itu, ada juga yang menilai bahwa ini politis alias akal-akalan pihak tertentu saja dalam upaya memalingkan opini publik dari BBM menjelang 2009.

Berbagai isu seperti itu bisa tiba-tiba saja bermunculan bak jamur di musim hujan, dan ini berpotensi menambah keresahan di tengah masyarakat. Bahkan tidak menutup kemungkinan bila terlalu lama dibiarkan, akan menimbulkan kekerasan-kekerasan lanjutan. Ada aksi ada reaksi. Begitu seterusnya. Mari tengok sejenak pembubaran FPI Surabaya. Pemberitaan di layar kaca memperlihatkan bagaimana antar saudara se-Islam bersitegang. FPI Surabaya akhirnya bubar di bawah bayang-bayang tekanan dan (mungkin) ancaman.

FPI kemudian disudutkan dengan penilaian yang menyebutkan bahwa tuntutan pembubaran FPI adalah akumulasi kekesalan atas tidakan-tindakan anarkis FPI sejak tahun 2001. Sikap bijak yang seharusnya dilakukan adalah melihat hal tersebut lebih jernih, tidak hanya melihat riak-riak di permukaan. Tindakan-tindakan keras yang dilakukan FPI terhadap para penjaja minuman keras, diskotik, warung remang-remang adalah bukti ketidakberdayaan aparat hukum negara dalam menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya. Meski tetap bahwa tindakan inisiatif seperti itu tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia.

Tuntutan pembubaran FPI bermunculan mengatasnamakan supremasi hukum. Namun, oleh karena pengatasnamaan hukumlah maka kita harus lebih objektif dan bijak dalam menilai. Banyak hal harus dijadikan pertimbangan seperti misalnya sikap Kapolres Jakarta Pusat, Heru Winarko yang menyesalkan massa AKKBB yang berdemonstrasi sampai ke Monas, padahal hanya diizinkan di Bunderan HI saja (Republika, 2 Juni 2008).

Hal lain yang perlu juga diperhatikan dengan cermat adalah apa yang terkait dengan akar masalah tragedi Monas yaitu Ahmadiyah. Ketika pemerintah bertekad menegakkan supremasi hukum atas tragedi Monas maka seharusnya kebijakan serupa juga dilakukan dalam menindak Ahmadiyah. Mengapa pemerintah sedemikan ragu mengeluarkan SKB padahal berbagai rekomendasi seperti rekomendasi MUI, Departemen Agama RI, FUI, Bakorpakem, Rabithah Alam Islamy tentang kesesatan Ahmadiyah sudah lama bermunculan.

Banyak hal yang tidak diinginkan bisa terjadi andai pemerintah tak juga bersikap tegas dan bijaksana. Ketidaktegasan adalah sikap yang tidak kooperatif dengan harmonisasi sosial. Statement tersebut terjadi ketika pemerintah, sebagai representasi masyarakat tidak mau bertindak tegas. Ini terbukti secara empirik dalam kasus Ahmadiyah yang berbuntut tragedi Monas. Kebijaksanaan pemerintah dalam menegakan hukum secara adil juga kebijaksanaan masyarakat dalam menilai menjadi kunci atas upaya pencarian solusi tragedi ini.

Langkah-Langkah Solutif

Perlu kita berhati-hati, tidak terburu-buru dalam menyelesaikan masalah sensitif seperti ini. Diantaranya adalah kewaspadaan atas kemungkinan adanya kepentingan asing bermain. Isu-isu semacam terorisme adalah santapan lezat bagi barat dan tangan-tangannya yang mendewa-dewakan sekularisme - liberalisme. Terlebih lagi kasus ini berpeluang besar kepada disintegrasi umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa ini umumnya. Pernyataan Pers yang dikeluarkan Kedutaan Amerika Serikat beberapa hari yang lalu terkait dengan tragedi Monas setidaknya bisa menjadi indikasi.

Ada satu hal yang harus kita cermati kemudian. Bahwa umat Islam Indonesia harus mewaspadai diri dari jebakan-jebakan tindak kekerasan. Karena hal ini berpeluang menjadi faktor yang kontraproduktif bagi kepentingan da’wah dan syiar Islam. Apalagi ketika kita tidak bisa menutup mata dari realita yang membuktikan bahwa betapa tidak sedikit masyarakat yang awam, masyarakat yang lebih cenderung melihat sesuatu secara kasat mata.

Ada beberapa tawaran point yang bisa menjadi solusi cepat dari tragedi ini. Pertama, pemerintah segera mengeluarkan SKB tentang pembubaran Ahmadiyah sebagaimana telah direkomendasikan mayoritas umat Islam Indonesia. Ahmadiyah adalah akar masalah tragedi Monas.

Kedua, tidak membubarkan FPI atas tragedi Monas, karena tragedi ini dipicu berbagai faktor lain di luar kebijakan organisasi FPI.

Ketiga, pintu silaturahmi dan dialog antar kelompok perjuangan Islam baik itu yang terlibat langsung dalam tragedi Monas ataupun tidak, seperti yang diusulkan Buya Syafii Maarif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) perlu diberdayakan kembali. Apalagi ketika saat ini gerakan-gerakan massa yang mengatasnamakan organisasi tertentu mulai melakukan tindakan-tindakan sendiri di beberapa daerah. Kesempatan dialog secara sehat dan perangkuman pandangan dari berbagi pihak harus segera dimediasi pemerintah guna menghindari ancaman disintegrasi bangsa.

*) Mahasiswa Al Azhar University Cairo. Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Perwakilan Mesir 2006-2008.

Membangun Benteng Moral Pelajar

Oleh : Rashid Satari**

Dunia pendidikan Indonesia masih kelabu. Dulu siswa sering tawuran. Sekarang sering terdengar kebocoran soal-soal ujian nasional. Kasus-kasus rekaman video amoral pun sering terjadi. Padahal, mereka aset bangsa yang sangat potensial dan mahal harganya.

Pada pundak merekalah masa depan keberlangsungan republik ini diamanahkan. Oleh karena itu, pembinaan melalui jalur pendidikan menjadi sangat penting sebagai usaha persiapan mereka menjadi generasi penerus yang kompetitif di masa depan.

Namun, kasus-kasus seperti di atas tadi seakan menegasikan hal itu. Kalangan pelajar justru semakin jauh dari aktivitasnya sebagai anak didik. Pelajar lebih sibuk mempersiapkan diri menghadapi tawuran atau minimal berpikir agar selamat dari tawuran.

Mereka juga sibuk dengan perang pergaulan. Mode menjadi perhatian, lagu-lagu terbaru menjadi lebih menarik ketimbang sastra, fisika, atau matematika. Malah lebih parah lagi kini pelajar diracuni dengan pornografi dan pornoaksi yang terselip rapi di ponselnya masing-masing.

Dampak globalisasi

Permasalahan para pelajar berakar pada kran globalisasi yang semakin terbuka lebar. Arus deras informasi dan jaringan komunikasi menjadi sedemikan cepat. Bahkan, berbagai informasi kini semakin mudah dan murah dijangkau yang pada titik kritisnya informasi terakses cepat tanpa filterisasi.

Globalisasi yang memiliki dua sisi mata uang (positif dan negatif) juga menjadi penyebab infiltrasi budaya tidak terbendung. Budaya-budaya sedemikian cepat dan mudah saling bertukar tempat dan saling memengaruhi satu sama lain. Termasuk budaya hidup Barat yang liberal dan bebas merasuki budaya ketimuran yang lebih cenderung teratur dan terpelihara oleh nilai-nilai agama.

Kenyataan tersebut sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bila kita memiliki ketahanan yang cukup. Artinya, dalam konteks dunia pendidikan, pelajar kita memiliki fondasi yang kuat tentang agama, moral, dan budaya kita sendiri sehingga budaya-budaya baru yang kontraproduktif bahkan destruktif tidak dengan mudah memengaruhi gaya hidup para pelajar kita.

Akan tetapi, realitas berbicara lain. Para pelajar kita rupanya belum siap menghadapi itu semua. Mereka ternyata belum siap dengan konsekuensi globalisasi. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa langkah-langkah antisipatif dalam memperkuat kekuatan mental dan rohani mereka sebagai benteng moral sedemikian rapuh. Ini bisa kita lihat dari persentase kegiatan belajar mengajar (KBM) mata pelajaran agama di sekolah-sekolah.

Seorang pakar pendidikan, Arief Rahman Hakim, berpendapat bahwa pola serta kurikulum pendidikan di Indonesia tidak memadai untuk mengarahkan moral pelajar. Misalnya saja tidak ada titik temu antara pelajaran pendidikan agama dan kenyataan di lapangan. Itu terbukti persentase KBM pelajaran agama hingga saat ini masih sangat minim. Rata-rata di setiap sekolah hanya mengalokasikan dua jam pelajaran tiap pekan untuk mata pelajaran ini.

Belum lagi kenyataan yang membuktikan bahwa pelajaran agama yang diberikan pun hanya sebatas teori yang kurang aplikatif. Pendidikan keberagamaan yang baik sejatinya berimplikasi positif pada moralitas yang kemudian tecermin dalam aktivitas sehari-hari. Inilah mengapa moralitas para pelajar kita sangat berkaitan erat dengan bagaimana pendidikan agama yang mereka ikuti di sekolah-sekolah, selain pengayoman orang tua di rumahnya masing-masing.

Suasana agamis di sekolah

Para ahli pendidikan hampir bersepakat bahwa kegiatan pendidikan bisa dikategorikan pada tiga, yaitu formal, nonformal, dan informal. Melihat hal ini, maka sebenarnya setiap pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan khususnya sekolah memiliki peluang dan kesempatan yang besar dalam memaksimalkan pendidikan agama sekaligus pendidikan moral bagi para pelajar.

Kegiatan pendidikan keagamaan tentu tidak hanya bisa dilakukan di dalam kelas. Namun, juga bisa di luar kelas tanpa mengganggu alokasi waktu yang diberikan untuk mata pelajaran lain. Bila kegiatan pendidikan nonformal, semisal penelitian biologi dan fisika saja bisa, maka agama pun tidak mustahil dilakukan.

Titik tekan dari upaya optimalisasi kegiatan belajar nonformal atau luar kelas ini tentu saja dalam rangka mendidik pelajar kita dalam menghayati nilai-nilai agamanya sehingga benar-benar menjadi sesuatu hal yang aplikatif. Pemahaman pelajar tentang pelajaran agama seharusnya tidak hanya dinilai di atas kertas, tetapi juga dalam tingkah laku nyata. Ini karena agama juga layaknya mata pelajaran lain. Agama bukan sekadar teori, tapi juga praktik.

Sebagai studi komparasi, kebijakan yang dilakukan lembaga pendidikan Al Azhar di Mesir mungkin bisa menjadi contoh. Prof Dr Mohammad Thantawi, rektor Universitas Al Azhar Mesir, dalam sambutannya di acara lokakarya pendidikan yang diselenggarakan KBRI Cairo menyampaikan bahwa Al Azhar sebagai lembaga pendidikan yang komprehensif mulai dari jenjang raudhatul athfal (TK) hingga jenjang universitas sangat menekankan penguatan basis dasar keagamaan (Islam).

Sebagai contoh adalah hafalan Alquran sudah dibiasakan sejak jenjang TK mulai dari surat-surat pendek. Begitu seterusnya hingga jenjang-jenjang selanjutnya. Tidak mengherankan bila lulusan-lulusan Tsanawiyyah AL Azhar sudah menggondol hafalan Alquran sebanyak 30 juz. Di luar itu, sekolah-sekolah ini tetap memberikan porsi mata pelajaran lain yang cukup bagi anak-anak didiknya.

Hal di atas hanyalah sebuah sampel yang menunjukkan bahwa sekolah bisa memaksimalkan fungsinya dalam pendidikan agama untuk anak-anak didiknya. Apalagi, seperti kita ketahui bersama, aktivitas pendidikan tidak terbatas secara kurikuler.

Sekolah adalah sentral kegiatan generasi pelajar kita. Optimalisasi pendidikan keagamaan yang berlangsung pada keduanya menginvestasikan nilai-nilai kebajikan dalam moralitas para pelajar kita. Dari moralitas yang didasari pemahaman keagamaan yang baiklah diharapkan muncul sosok-sosok muda berseragam sekolah yang berperilaku mulia dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Ikhtisar:
- Pelajaran agama di sekolah-sekolah sangat minim, hanya dua jam setiap pekan.
- Perlu kebijakan yang bisa memperkuat akhlak para pelajar.
- Orang tua dan pihak sekolah harus mampu menjalin hubungan yang sinergis dan harmonis.


*) Dalam rubrik Opini HU Republika edisi Jumat, 23 Mei 2008**) Mahasiswa S1 Jurusan Dakwah dan Wawasan Keislaman Universitas Al Azhar Cairo

Jejak Shalat*

Oleh : Rashid Satari

Shalat yang dilakukan dengan baik akan meninggalkan bekas yang baik pula. Allah SWT berfirman, ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Quran dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Ankabut[29]:45).

Ayat Al Quran di atas menunjukan bahwa pelaksanaan ibadah shalat memiliki efek positif pada tingkah laku pelaksananya. Secara langsung, seseorang yang melaksanakan shalat dengan baik akan senantiasa terkontrol dan terjaga perilakunya serta terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan Islam.

Nabi Muhammd SAW berpesan dalam salah satu haditsnya yang lain tentang urgensi shalat dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama” (HR. Baihaqi). Sebagaimana sebuah bangunan, Islam pun akan mudah goyah dan runtuh bila berdiri tanpa tiang yaitu ibadah shalat.

Islam akan tegak ketika nilai-nilai ajarannya terimplementasikan dalam kehidupan nyata. Ke-Islaman seseorang akan kuat berdiri ketika Islam tidak hanya diyakini melainkan juga dipraktekkan. Hal tersebut terjadi karena ibadah shalat mendorong pelaksananya untuk senantiasa ingat pada Allah SWT. Dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaahaa[20]:14).

Lebih lanjut, betapa penting pengaruh shalat dalam kehidupan manusia sebagaimana penjelasan Rasulullah SAW, ”Amal yang pertama kali akan dihisab untuk seseorang hamba nanti pada hari kiamat ialah shalat, maka apabila shalatnya baik (lengkap), maka baiklah seluruh amalnya yang lain, dan jika shalatnya itu rusak (kurang lengkap) maka rusaklah segala amalan yang lain” (HR. Thabrani).

Di sinilah terdapat hikmah agung yaitu ketika shalat wajib disyariatkan lima kali dalam satu hari. Ketika seseorang melaksanakan shalat dengan baik maka kehidupannya sepanjang hari akan selalu berada dalam koridor Islam. Wallahu a’lambishawab.


*) Pada rubrik Hikmah HU Republika edisi Selasa 24 Juni 2008


Nomaden PII Mesir; Musafir Padang Pasir*

[sebuah potret tentang semangat dan loyalitas kader]Oleh : Rashid Satari

Salam juang!

November 2003, saat saya pertama kali menginjakan kaki di negeri Mesir, yang pertama terbesit di benak saya bukanlah diktat kuliah, bukan menara kembar Al Azhar, bukan pula keinginan untuk melihat Nil dan Piramida. Saya langsung berhasrat mencari tahu di mana sekretariat Pelajar Islam Indonesia (PII) perwakilan Mesir. Ternyata keinginan saya ini tak bertepuk sebelah tangan. Dengan mudah saya bisa menemukannya karena ternyata saat itu ketua umum Pwk. PII Mesir adalah Udo Yamin Efendi Majdi, mahasiswa asal Lampung Barat, kakak kelas saya sendiri sewaktu di pesantren dulu (pesantren Persis 76 Tarogong Garut).

Kala itu, sekretariat PII Mesir berlokasi di kawasan Rabea Al ‘Adaweya. Berdekatan dengan Wisma Nusantara, sebuah gedung pemberian Prof. Ing. BJ Habibie untuk mahasiswa indonesia di sini. Kawasan Rabea Al’Adaweya ini bisa dibilang termasuk kawasan yang cukup elit di Nasr City, Cairo.

Nuansa pergerakan khas PII kental terasa saat saya memasuki sekretariatnya. Betapa tidak, walau tempatnya di sebuah apartemen yang besar tinggi menjulang. Namun rupanya sekretariat berada di lantai bawah (basement) berdampingan dengan tempat parkir para penghuni gedung apartemen ini. Sebuah flat sewaan yang sederhana dengan tiga kamar tidur, satu dapur, satu ruang tengah/ruang utama berukuran 5x5 meter, serta satu kamar mandi. Bagian rumah yang disebut terakhir meninggalkan kesan yang selalu membuat saya tersenyum mengingatnya. Kamar mandi sekretariat mirip toilet pesawat Qatar Airways yang saya tumpangi menuju Mesir. Sempit dan kecil. Tak heran, kami menyebutnya “toilet kapal”. Selain itu, posisinya juga unik, kira-kira satu meter lebih tinggi dibanding ruangan lain. Beberapa kali sekretariat kebanjiran karena air yang meluber dari ember saat kran air kurang kencang ditutup. Lucu, meski berada di negeri sahara, kami masih saja merasakan banjir.

Sekretariat kami memang sederhana. Kecil, sempit di pojok basement apartemen. Namun rupanya di sinilah segala inspirasi terlahir. PII Mesir menjadi inspirator sekaligus lokomotif dinamika mahasiswa Indonesia di Mesir (selanjutnya dibaca Masisir). PII Mesir berhasil merangkul berbagai elemen Masisir, dari PPMI (organisasi induk) hingga berbagai perwakilan ormas di Mesir (PCI Muhamadiyyah, PCI NU, Pwk. Persis). Buah karyanya adalah Dialog Kader Bangsa pada 21 Juli 2003 di auditorium gedung Shaleh Kamil Universitas Al Azhar Cairo yang menghadirkan Prof. Dr. Bachtiar Aly, MA., Prof. Dr. Din Syamsuddin, Drs. Haedar Bagir, M.Si., dan KH Shiddiq Amien, MBA. Selain itu, dalam rangka kaderisasi, kami mengadakan Leadership Training for Student (Leadtras) I selama 4 hari 4 malam pada semester ke-empat masa kepengurusan 2002-2004.

Karena flat sewaan, ada waktunya kami harus hijrah/pindah. Tahun 2004, lokasi ini dengan berat hati harus kami tinggalkan meski lokasi sekretariat baru belum kami temukan. Sebagai alternatif, akhirnya kami menyewa sebuah kamar di tempat tinggal salah seorang kader PII. Lokasinya di Mutsalas Station, sebuah daerah pinggiran Nasr City-Cairo. Karena lahan sekretariat terbatas, inventaris organisasi tercecer, dititipkan di beberapa rumah kawan. Kurang lebih setengah tahun kami jalani kondisi ini. PII Mesir berjalan tertatih. Aktifitas agak terganggu karena kendala teknis menyangkut sarana – prasarana. Komputer di lokasi ini, stempel di lokasi yang lain, dokumen-dokumen terbungkus kardus dan lain sebagainya.

Bukan kader PII kalau kemudian diam. 2005, kami tergerak untuk terus mencari sekretariat yang lebih kondusif. Bermodalkan dana bantuan salah seorang keluarga besar dan dana patungan para kader dari beasiswa bulanannya, kami menemukan lokasi baru. Tidak jauh dari Mutsalas, kami berpindah lagi ke Gate One station, atau dikenal dengan Bawabat Ula. Kepengurusan kala itu di bawah komando Aulia Ulhaq (kader asal Aceh). Sebuah acara bertajuk “Silaturahmi dan Dialog Kader” mendorong kebersamaan dan semangat pergerakan mengkristal kembali. Leadership Training for Student (Leadtras) II berhasil kami selenggarakan. Kerjasama dengan pihak Sekolah Indonesia Cairo (SIC) terjalin kembali. Ini ditunjukan dengan terselenggaranya Pesantren Kilat Ramadhan (PKR) untuk siswa-siswi Indonesia di sekolah tersebut.

Benar kata orang, Mesir itu keturunan dua sosok kontras, Firaun dan Musa. Kalau tidak baik sekali maka jahat sekali, begitu keumuman watak orang Mesir. Belum genap 10 bulan, mendadak pemilik flat mengusir kami hanya karena kami memindahkan kasur dan lemari dari kamar tidur ke ruang tengah. Saya masih ingat, suasana PII Mesir saat itu tengah berduka karena keluarga terdekat (ayah, ibu, adik) Aulia Ulhaq turut syahid menjadi korban bencana tsunami di Aceh. Juga saat itu, waktu berada di saat-saat ujian semester universitas Al Azhar. Untuk sementara, kami berpencar kembali di beberapa lokasi.

Datang dua berita gembira. Pertama, Udo Yamin Efendi (Ketua Umum 2002-2004) mempersunting seorang mahasiswi, Ami Rahmawati (kader PII asal Garut Jawa Barat). Kedua, pada malam yang sama, kami menemukan flat baru. Sebuah flat yang jauh lebih baik dan representatif dibanding dengan flat-flat sebelumnya. Berlokasi di Gate Two station (Babawat Tsaniyyah). Karena malam itu juga transaksi akad penyewaan harus dilakukan, pontang-panting saya dan Aulia mencari dana. Nekat, kami meminjam “amplop” yang masih hangat dalam kotak pelaminan di samping kursi pengantin Udo Yamin-Ami Rahmawati. Saat itu, walimah nikah masih terus belangsung. Khusus poin ini, ungkapan terima kasih dan doa khusus kami sampaikan untuk keduanya.

Sebuah flat di lantai dua gedung apartemen yang dijaga seorang bawwab (penjaga dan pemelihara gedung). Dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur dan satu ruang tamu yang cukup luas sehingga kami mengkondisikannya sebagai aula tempat pertemuan. Kondisi rumah memang sangat baik dan bersih. Banyak kawan-kawan mahasiswa bilang, PII dapat “durian runtuh”. Padahal di balik itu, setiap bulan kami dihantui tagihan sewa rumah yang tidak murah. Tagihan bulanan yang tidak bergantung pada suplay dana dari pusat (PB di Jakarta) seperti keumuman sekretariat ormas yang ada di sini. Flat yang bagus berbanding lurus dengan harganya. Tak heran, dapur sekretariat tidak terjadwal rapi kapan “berasap”.

Laju organisasi kembali tertata. Leadership Basic Training (LBT) untuk pertama kalinya diselenggarakan di Cairo. Acara-acara rutinan baik itu mingguan maupun bulanan kembali berjalan. Ada kursus, ta’lim juga kajian berbahasa asing (english). Tak hanya itu, PII Mesir juga berhasil memberikan kontribusi positif untuk civitas akademika Masisir dengan gebrakan barunya mengadakan English Debate Contest I yang menyedot perhatian serta partisipasi masyarakat Indonesia di Mesir mulai dari siswa/i, mahasiswa/i maupun elemen masyarakat lainnya.

Perjalanan belum selesai. Satu tahun kemudian, pertengahan 2006, pemilik flat menaikan harga sewa hingga di atas kemampuan kami selaku mahasiswa yang bergantung pada beasiswa. Berbagai usaha sampingan (menjadi server warnet, pegawai atau koki rumah makan Indonesia hingga kreativitas membuat makanan ringan) para personel sekretariat pun tak cukup menutupi biaya sewa tersebut. Kami mencoba bertahan meski akhirnya harus “kalah” mempertahankan identitas sebagai mahasiswa. Kami pindah.

Oktober 2006, sekretariat bergeser sedikit agak ke dalam dari sekretariat sebelumnya. Lebih kecil. Seukuran dengan sekretariat tahun 2005. Harganya mahasiswa-i (manusiawi). Tidak terlalu besar namun bersih, sederhana dan bersahaja. Dua kamar tidur, satu kamar mandi dan satu dapur. Ruang tamu hampir seluas kamar tidur. Pemilik flat terbilang lebih baik dan toleran terhadap kami sebagai mahasiswa, khususnya dalam hal pembayaran sewa bulanan. Tak jarang kami nyicil bahkan nunggak.

Kegiatan organisasi jauh lebih tertata lagi di sini. Maski kecil dan sederhana, namun sekretariat kali ini benar-benar fungsional sebagai information centre dan pusat kegiatan. Aktifitas rutin relatif berjalan lebih lancar. Ada kajian pendidikan dan kebudayaan, kajian PII-Wati, dialog bahasa asing dengan nama Language Community yang semakin memperlebar sayapnya mencakup English, Arabic dan Mandarin. Meski Leadership Advanced Training (LAT) batal, namun Leadership Intermediate Training (LIT) pertama berhasil dilaksanakan pada 15 - 20 Maret 2008. Penerbitan buletin Musafir lebih teratur. Pengelolaan website www.pii-mesir.org lebih terkontrol, demikian juga pengelolaan mailing list PII_MESIR@yahoogroups.com. Sekretariat terakhir ini bertahan hingga kini.

Suatu saat, tepatnya pada 07 hingga 14 Juli 2005 kami dikunjungi kanda Delianur (Ketua Umum PB PII 2004-2006). Suatu kebangaan tersendiri bagi kami. Beliau banyak berbagi cerita. Ada satu kabar yang membuat kami sedikit menyesalkannya. Yaitu bahwa kader PII luar negeri di beberapa negara mulai berkurang bahkan sudah mulai menghilang. Malaysia salah satunya. Kenyataan seperti inilah yang tidak ingin kami alami di Mesir. Kader PII adalah kader yang siap berbakti di mana saja dan kapan saja. Kami mengartikulasikan kalimat itu di Mesir dengan implementasi sistem kaderisasi. Maka tak heran, kader PII Mesir terus semangat melanjutkan roda kaderisasi meski dalam beberapa kasus, semangat para kader ini kurang memperoleh perhatian dari PB PII di Jakarta. Batalnya LAT 2007 adalah indikasinya.

Pun seperti yang dingkapkan kanda Rijal Alhuda (sekretaris III fungsi Ekonomi KBRI Cairo, putera Abdul Qadir Jaelani), “PII Mesir lebih terbuka, tidak eksklusif”. PII Mesir senantiasa berupaya melakukan pembinaan kader PII secara internal sambil tetap membuka diri dalam hubungan inter-relationship dengan kawan-kawan di luar PII. Terutama dalam rangka kontribusi PII sebagai organisasi pembawa misi pendidikan dan kebudayaan.

Pada titik inilah, persepsi kita (kader PII di mana saja berada) harus sama. Bahwa PII di luar negeri adalah aset penting dalam revitalisasi peran PII terutama di kancah dinamika pelajar Islam sedunia. Bila cara pandang seperti ini ada, maka kita tak akan lagi membiarkan begitu saja PII di luar negeri tenggelam dalam masalah dan kesibukannya sendiri untuk kemudian hilang dan mati. PII di manapun berada adalah organisasi yang terintegrasi dan bersinergi.

Setulus hati ingin kami haturkan terima kasih pada Keluarga Besar PII Mesir yang tak pernah pudar mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya. Kanda Bachtiar Aly, Noorcholis Mukti, Rijal Alhuda, Taesir Al Azhar dan Udo Yamin Efendi Majdi. Pun kepada segenap kader PII di Indonesia (PB, PW) yang selama ini aktif saling bersilaturahmi dan bertukar pikiran meski via website atau mailing list.

Tak lupa kepada segenap kader PII Mesir yang senantiasa saling memberikan sumbangsih tenaga dan pikiran. Dorongan rasa memiliki [sense of belonging] dan kebersamaan merupakan investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya. Akan ada satu masa di mana kader-kader PII Mesir kembali ke kampung halaman masing-masing, masa di mana kebersamaan tak mudah lagi. Tapi PII Mesir berjanji, ketika masa itu tiba kami dan kita semua akan tetap dan terus bekerjasama.
Wallahu a’lam bishawab.Nasr City - Cairo, 23 Maret 2008
Suatu pagi di gerbang musim panas,
pondok kader Sekretariat PII Mesir
.::salam joeang::.

*) Sumbangan Naskah Buku “Warna-Warni PII” kado Muktamar 28 PII Potianak Kalimantan Barat 2008


**) Mahasiswa S1 Al Azhar University Cairo Fakultas Islamic Theology, jurusan Da’wah wa Tsaqafah Islamiyyah. Ketua Umum Perwakilan (Pwk) PII Mesir periode 2006-2008