Thursday, November 27, 2008

PKS, Dakwah dan Kampanye*

Rashid Satari**
Belum lagi usai kontroversi iklan PKS dalam rangka Sumpah Pemuda, iklan PKS dalam rangka peringatan Hari Pahlawan menuai banyak kritik dan kecaman. Anis Matta sebagai Tim Pemenangan Pemilu Nasional PKS berdalih hal tersebut sebagai aktualisasi PKS sebagai partai dakwah.
Dengan iklan tersebut PKS mengajak rekonsiliasi bangsa. Sayangnya, perkataan Anis Matta tak seirama dengan Tifatul Sembiring, sang presiden partai. Tifatul justru mengakui iklan tersebut sebagai kesalahan.Imbas dari iklan ini, PKS menuai berbagai respons di dalam dan dari luar. Resistensi datang dari berbagai ormas, seperti NU dan Muhammadiyah. Kritik juga datang dari para eksponen dan keluarga PKI yang selama ini terstigma sebagai musuh bangsa. Tak lama, Anis Matta mengklarifikasi bahwa iklannya merupakan kampanye dalam rangka pemenangan Pemilu 2009.

Satu hal yang menarik adalah ketika fenomena di atas mencari relevansinya dengan bunyi platformPKS sebagai partai dakwah. Pasalnya, bila selama ini yang dilakukan PKS adalah dakwah, maka sejatinya dakwah tidaklah menimbulkan benih-benih disintegrasi umat Islam di Tanah Air. Juga, sejatinya dakwah yang dilakukan mestilah berimbas balik rasa simpati, bukan antipati.

Dakwah Ambigu
Dari platform gerakannya bisa dipahami bahwa PKS menghendaki perbaikan bangsa ini secara top down dengan jalur perebutan kekuasaan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Dengan menguasai kursi-kursi strategis di parlemen dan pemerintahan, PKS berharap bisa lebih mudah membumikan cita-cita perubahan.
Untuk mencapai pemenangan kursi di wilayah-wilayah strategis itu tentu saja harus melalui arena pertarungan politik. Inilah yang dilakukan PKS. Oleh karenanya analisis seorang pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti terkait dengan kontroversi iklan PKS yang menampilkan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa ada benarnya. Menurut Ikrar, apa yang dikatakan Anis Matta bisa dipahami bahwa iklan tersebut semata-mata adalah untuk mendulang suara sebanyak mungkin.

Pemilu khususnya dalam konteks demokrasi Indonesia memang mengharuskan partai politik apa pun asasnya untuk mencari suara sebanyak mungkin demi pemenangan. Maka tak heran parpol-parpol selama ini selalu melakukan hal tersebut melalui jalur kampanye politik yang ketentuannya diatur dengan Undang-Undang Pemilu.

Namun, ada yang unik terjadi di PKS. Dakwah yang selama ini menjadi jargon partai rupanya ambigu. Selain dakwah dalam rangka motivasi amar ma'ruf nahyi munkar, dalam waktu-waktu tertentu juga bermotivasi politis. Kemungkinan besar ini berlangsung di waktu-waktu menjelang pemilu, seperti sekarang ini. Indikasi dari ambiguitas itu adalah saat Anis Matta masih menjadikan PKS adalah partai dakwah sebagai dalih dalam menjawab kritikan-kritikan atas iklannya.

Sayangnya, apa yang terjadi dengan PKS saat ini telanjur terbaca publik sebagai inkonsistensi PKS dengan komitmennya sendiri, yaitu komitmen dakwah. Dakwah untuk melakukan rekonsiliasi bangsa tampak sebagai alasan yang prematur. Apalagi, di saat yang sama banyak gejolak horizontal umat Islam Tanah Air yang masih belum sempat teratasi. Pada titik ini dakwah yang didengungkan PKS berisiko tereduksi.

Ada palung yang curam di antara dakwah dan kampanye politik. Dakwah sudah dimaknai sedemikian dalam oleh masyarakat kita sebagai kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis akidah, syariat, dan akhlak Islam.

Kampanye telanjur dipahami sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara (KBI, hal 498:2001). Sudah menjadi rahasia bersama pula bahwa politik praktis dengan segala instrumennya adalah hal yang sangat rentan dan sarat unsur-unsur kepentingan pragmatis sesaat.

Maka, ketika PKS mengklaim diri sebagai partai politik dan partai dakwah sekaligus, saat itu pula PKS sedang berspekulasi. Mendudukkan secara sepadan dua hal yang sebenarnya berbeda, yaitu antara kampanye-politik praktis dan dakwah dalam terminologi Islam, sangat berisiko tinggi. Syukur bila PKS mampu melakukan keduanya secara berimbang dan proporsional. Akan tetapi, lain lagi bila yang terjadi adalah sebaliknya.

Dakwah atau Kampanye

Belajar dari kasus PKS di atas, ada pelajaran yang bisa dipetik oleh parpol-parpol ke depan, khususnya bagi parpol yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Ketika berbicara demokrasi di dalam konteks sosio-politik masyarakat Indonesia, kampanye politik dan dakwah adalah dua hal yang berbeda. Parpol harus bijaksana dan jeli dalam meletakkan keduanya.
Hal ini tiada lain adalah demi menjaga komprehensivitas nilai dakwah yang selama ini kita pahami sebagaimana diajarkan nilai-nilai Islam. Bahwa Islam selalu mengajarkan persatuan bukan perpecahan umat. Bahwa dakwah adalah amar ma'ruf nahyi munkar, mengajak pada persatuan bukan pada sikap-sikap sektarian.

Ajaran Islam syumul dan komprehensif mencakup segala sendi kehidupan. Paparan di atas tidak lantas diartikan pengotakan mana urusan agama dan mana urusan dunia politik praktis. Lebih penting dari sekadar nama, simbol atau platform. Islam sejatinya menjadi roh dari setiap gerakan.

Saat Islam secara simbolik dibawa-bawa ke ranah politik praktis maka mempertanggungjawabkannya adalah keharusan. Tangung jawab itu terejawantahkan pada aktivitas riil di lapangan. Nah, apakah yang terjadi saat ini seperti yang terjadi pada kontroversi iklan PKS dan segala efeknya adalah bukti dari pengejawantahan nilai-nilai dakwah Islam?

Ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengadaptasikan kembali dakwah Islam dalam konteks dinamika politik dan demokrasi Indonesia. Hal ini tentu saja memerlukan reanalisis yang tajam terutama berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinannya terhadap kemurnian dakwah Islam itu sendiri.Atau kedua, parpol berasas Islam seperti PKS mulai menegaskan diri sebagai partai politik yang berasas Islam, tanpa embel-embel partai dakwah. Sekali lagi ini dimaksudkan menghindari tereduksinya dakwah ketika permasalahan seperti iklan PKS kemarin terulang kembali.

Ikhtisar:
- Pemilu selalu mengharuskan partai politik apa pun asasnya untuk mencari suara sebanyak mungkin.
- Dakwah tidak pernah menimbulkan benih-benih disintegrasi umat Islam.
- Dakwah harus bisa menimbulkan rasa simpati, bukan antipati.
- Kampanye politik cenderung jauh dari makna dakwah.


*) Dalam rubrik Opini Hu Republika edisi Selasa 25 November 2008.
**) Mahasiswa Program Licence Universitas Al Azhar Kairo Jurusan Da'wah wa Tsaqafah Islamiyyah

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)