Tuesday, November 25, 2008

PPMI dan Demokrasi Menuju Stagnasi?**


Oleh : Rashid Satari*
Sudah tiga tahun kita menjalani dinamika re-demokratisasi. Segenap elemen Masisir seakan bernafas lega pasca Mubes 2003, di mana kesepahaman kolektif tentang sistem terbaik pemerintahan mahasiswa; Student Government System (SGS) diproklamirkan.
Sayang, perhelatan besar yang sempat memakan modal finansial dan pikiran yang besar di tahun 2003 itu seakan menguap begitu saja. Jargon tentang semangat berdemokrasi – yang kepalang tanggung digemborkan – itu semakin meredup. Prosesi Pemilu Mahasiswa (Pemiluwa) dalam dua tahun terakhir serta Sidang Paripurna I dan Sidang Pleno III BPA MPA PPMI kemarin bisa menjadi simbol atau representasi asumsi di atas. Fenomena Pemiluwa di tahun 2004 misalnya, dengan kuantitas pemilih yang minim, terjadi pula di tahun 2005. Fenomena yang sama juga kita saksikan di sidang BPA MPA PPMI tempo hari. Inikah buah perasan keringat dan perasan otak berhari-hari dalam Mubes PPMI 2003 itu (?)
Secara manusiawi, kecenderungan seseorang terhadap sesuatu berbanding lurus dengan seberapa berartinya sesuatu tersebut bagi dirinya. Asumsi ketidakberartian PPMI di mata anggotanya dalam beberapa edisi Terobosan boleh jadi benar adanya. Artinya, separuh lebih anggota PPMI tidak lagi memandang PPMI sebagai hal yang urgen bagi dirinya. Apalagi ketika hal ini diamini oleh kehadiran organisasi-organisasi lain semisal organisasi kekeluargaan yang secara de jure dan stuktural adalah ranting kecil dari PPMI, namun secara de facto dan fungsional adalah bonsai cantik yang tumbuh menyendiri. Peran, kehadiran dan manfaat organisasi seperti kekeluargaan, secara praktis dan emosional, sejauh ini dirasakan langsung oleh anggotanya yang notabene anggota PPMI juga. Namun mari buka mata, para anggota mayoritas di sini tak punya waktu untuk sekedar memahami lalu lintas organisasai yang sedemikian kompleks. Wajar bila akhirnya, bagi mayoritas anggota di level grass root, PPMI menjadi tidak berarti.
Pernah terngiang di telinga kita sebuah syair lirih tentang isu pluralitas, protes ketidakfairan, atau lagu berjudul hegemoni kekuasaan, disenandungkan terhadap PPMI. Fenomena ini lumrah terdengar dalam setiap denyut demokrasi. Sebagaimana lumrahnya kehadiran pihak oposisi yang sebenarnya memiliki peran positif sebagai sparing partner dan penyeimbang pemerintahan terpilih. Namun kenyataannya, lagu-lagu tersebut hanya bisa dimainkan oleh segelintir elite mahasiswa saja. Bahkan tak jarang lagu-lagu seperti itu dipandang tabu. Tak semua kita hafal dan mengerti lagu-lagu itu. Tak semua memahami urgensi proses demokrasi itu. Akhirnya, jadilah demokrasi berjalan secara timpang. Demokrasi menjadi perjuangan, bulan-bulanan dan tuntutan sebagian orang. Fenomena yang sama sekali kontraproduktif dengan makna demokrasi itu sendiri.
Kekhawatiran lainnya adalah terjadinya disfungsi dan disposisi PPMI. Pandangan sebelah mata terhadap PPMI dikhawatirkan menempatkan PPMI pada posisi sebagai ‘organisasi kagetan’ atau organisasi formalitas. Atinya, PPMI diartikulasikan sebagai kendaraan atas solusi permasalahan birokratis kewarganegaraan saja. PPMI hanya menjadi tempat permohonan surat jalan dan bumper ketika datang permasalahan diplomatis dengan pemerintah negara setempat. PPMI kehilangan wibawa dan fungsi internalnya. Lebih parah lagi ke dalam, PPMI tak lagi punya taring dalam otoritas instruksionalnya. Sehingga muncul fenomena, PPMI tak cukup tenaga untuk menjawab segala permasalahan aktual Masisir seperti patologi sosial yang saat ini nyaring kita dengar. Padahal permasalahan Masisir selalu sekian langkah lebih maju daripada upaya memikirkannya.
Meminjam kalimat Eep Saefullah Fatah, “Selamat atau tidaknya proses demokratisasi itu tergantung pada pelaku utamanya”. Pelaku utama itu tentu saja bukan Muladi Mughni, bukan Rio Errismen Armen, bukan Hamzah Amali, pun bukan Cecep Taufiqurrahman. Bukan elite-elite mahasiswa yang namanya kerap menghiasi headline dunai pers kita. Pelaku utama itu bukan elite-elite mahasiswa yang sering hilir mudik atau menghuni bangunan sakral Wisma Nusantara. Pelaku utama itu bukan pula elite-elite mahasiswa yang kerap berinteraksi dengan birokrasi KBRI. Pelaku utama demokrasi adalah rakyat – mahasiswa yang tak bernama (silent-majority), individu-individu dan komunitas yang tak pernah terkutip Terobosan, mahasiswa mayoritas yang setiap hari bergelut dengan keseharian. Pelaku utama demokrasi kita adalah semua pihak, setiap individu mahasiswa yang selama ini selalu diatasnamakan namun seringkali tak pernah ikut menentukan.
Mari menilik kembali dua session Pemiluwa dan Sidang BPA-MPA PPMI kita kemarin (Terobosan edisi 209, rubrik Komper). Ketidakhadiran konstituen sebagaimana yang ditargetkan kala itu, telah menuai beragam penilaian dari berbagai kalangan. Salah satu yang paling santer adalah tentang ‘kekurangsadaran’. Suara-suara yang tak teraspirasikan itu dianggap sebagai representasi dari kekurangsadaran akan arti penting masa depan PPMI. Penulis berpandangan bahwa asumsi ini bisa saja benar adanya. Oleh karena itulah, upaya-upaya penyadaran harus dilakukan. Sebuah pencerahan paradigmatik atas demokrasi, yang mengajarkan bahwa perbedaan itu bukan hal yang tabu dilakukan. Bahwa oposisi itu bukan hal ‘aib diperankan. Bahwa demokrasi bukan kleptokrasi; demokrasi hadir untuk mengformulasikan suara, bukan merampas dan membungkam suara.
Akhirnya, revitalisasi PPMI mungkin menjadi tawaran yang potensial dan menjanjikan. Tidak cukup tenaga untuk menjawab permasalahan yang semakin hari semakin rumit, sehingga butuh kerja kolektif untuk akselerasi penyelesaiannya. Menjadi tanggung jawab bersama PPMI secara integral (DPP, DPD, BO dan unsur lainnya) dalam membangun dinamika demokrasi kita. Tanggung jawab yang seharusnya dipikul bersama oleh komunitas mahasiswa yang baru saja memproklamirkan berdirinya sebuah pemerintahan mahasiswa.
*)Sekretaris Umum PII Mesir 2004-2006.
**)Dimuat dalam buletin Terobosan milik mahasiswa Indonesia di Cairo.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)