Friday, January 18, 2013

[#Egyptology] Jumatan di Kampung Nubian

Elephantine Island, satu lokasi yang direkomendasikan untuk disinggahi bila kita mampir di kota Aswan, Mesir Selatan. Pagi itu, sekitar pukul 11.00 siang waktu Aswan, perahu yang saya tumpangi merapat di bibir pulau Elephantine. Perahu ini mengantarkan kami para penumpang menyebrangi Nil hanya dengan ongkos EGP 1.50 per orang.

Saat sampai ke seberang, saya langsung disuguhi pemandangan rumah-rumah penduduk yang amat unik. Meski hanya berbahan tanah liat dan batu bata, berbentuk kubus-kubus, dinding rumah-rumah ini dicat dengan warna-warni yang kontras. Ada yang berwarna biru langit, kuning, hijau muda, oranye, dengan ornamen-ornamen gambar bintang atau garis memanjang. Segar sekali kelihatannya.

Saya sempatkan diri berkeliling sebentar di kampung itu. Pepohonan yang rimbun, binatang-binatang ternak yang tenang memamah biak di bawah pepohonan. Benar-benar kampung yang nyaman.

Tempat selanjutnya yang saya cari adalah masjid, karena jarum jam sudah hampir masuk waktu shalat Jumat. Pulau ini memang tidak begitu besar yaitu 1200 x 400-an meter saja menurut seorang penduduk, sehinga masjid pun tak sulit saya temui. Sebuah masjid yang tidak punya nama, tidak seperti kebanyakan masjid-masjid di Aswan, Luxor atau Kairo.



Mungkin karena ini adalah pulau yang masih dihuni oleh 100% penduduk asli, banyak sekali mata yang menatap heran atau aneh saat saya memasuki masjid. Demikian juga ketika saya mengambil air wudlu, duduk mendengar khutbah lalu shalat berjamaah. Agak risih memang saat jadi pusat perhatian seperti itu. Tapi, saya berusaha menikmati saja.

Ternyata benar apa yang dibilang buku terbitan National Georghapic dan Lonely Planet, penduduk pulau ini sangatlah ramah. Khusus bagi saya pribadi sebagai seorang muslim, keramahan dan ketulusan mereka lebih kental lagi setelah saya shalat Jumat bersama mereka. Selepas shalat, ucapan dan huluran salam saya disambut dengan antusias dan bersahabat. Tentu saja selalu disusul dengan pertanyaan, “Inta minnain? Kamu dari mana?”. Dan, ketika saya jawab, “Andunisya”, refleks mereka akan berkata, “Ahsannâs! Manusia terbaik!”.

Adalah ‘Abbas. Seorang pria asli Nubian yang sempat berbincang beberapa menit dengan saya di dalam masjid setelah shalat Jumat. Saya taksir usianya sudah di atas 65 tahun. Ia seorang arsitek yang sudah pensiun dari pekerjaannya dan menikmati sisa usia di tanah kelahirannya, pulau Elephantine.

Sungguh saya tak menyangka perbincangan singkat itu memberi saya informasi yang sangat berharga. Rupanya masyarakat Nubian (sebutan untuk penduduk suku Nubia) bukan hanya 5000-an orang yang tinggal di pulau Elephantine saja. Populasi Nubian juga tersebar di berbagai pulau kecil lain di sepanjang Nil bagian selatan dan di sekitar bendungan Aswan. Bahkan, Nubian juga menghuni beberapa kawasan di Sudan utara. Saya pikir ini sangat masuk akal mengingat Aswan memang wilayah paling selatan dari Mesir yang berbatasan langsung dengan Sudan.


‘Ammu (paman) ‘Abbas juga menjelaskan bahwa dahulu kawasan yang ditinggali oleh suku Nubia jauh lebih luas lagi. Namun kawasan itu ikut terendam seiring dengan pembangunan bendungan Aswan. Ada puluhan desa yang direlokasi dari kawasan yang kini menjadi genangan besar sungai Nil.

Saya sungguh terpukau dengan cerita ‘Ammu ‘Abbas ini. Ia tertawa saat saya bertanya kepadanya mengapa ketika mereka ngobrol satu sama lain, saya sama sekali tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Menurutnya, Nubian (orang-orang Nubia) memang punya budaya yang berbeda dengan Egyptian (orang-orang Mesir). 

Dahulu ketika masih era Pharaoh, Nubian adalah komunitas masyarakat yang tersendiri dan terpisah dengan Mesir. Nubian memiliki kerajaan sendiri, budaya, seni dan bahasa sendiri. Dan, meski saat ini Nubian sudah menjadi bagian penting dari Mesir, sisa-sisa budaya dan bahasa itu masih melekat kuat.

“Wajar saja bila kamu tidak memahami bahasa kami, karena ini memang bukan bahasa Arab.” ujar ‘Ammu Abbas.

Ia menerangkan bahwa bahasa Nubian sulit sekali dipelajari. Bahasa Nubian hanya dipakai oleh orang-orang Nubian. Bahasa Nubian adalah bahasa yang tidak punya simbol-simbol huruf. Dia hanya bahasa verbal atau lisan dan tidak memiliki huruf-huruf tertentu sebagai bahasa tulisan sebagaimana Latin dan Arab.

Rumitnya lagi, bahasa Nubian pun banyak macamnya. Menurut ‘Ammu ‘Abbas, ada dua yang paling besar yaitu Fajikiy dan Motokiy. Fajikiyy dipakai oleh penduduk pulau Elephantine dan pulau-pulau sebelah utara bendungan Aswan juga Nubian di kawasan Edfu dan Kom Ombo. Sedangkan Motokiyy dipakai oleh Nubian di sebelah selatan bendungan Aswan hingga Nubian yang berdomisili di beberapa kawasan Sudan Utara.

Masya Allah, luar biasa sekali informasi dari Ammu Abbas ini. Saya semakin penasaran dibuatnya. Rupanya ‘Ammu Abbas menangkap rasa penasaran yang saya rasakan. Dia bercerita kembali bahwa Nefertary, salah seorang ratu Mesir kuno, adalah penduduk asli Nubian. “Nefertary” sendiri adalah nama yang diambil dari bahasa Nubian yang artinya “Nefer” berarti “cantik”, dan “Tary” berarti “datang”.

“Lalu bagaimana dengan Nefertiti, apakah ia bersaudara dengan Nefertary?” tanya saya.

‘Ammu ‘Abbas tertawa hingga nampak deretan giginya yang kemuning alami karena pengaruh Syai (teh khas Mesir). Menurutnya, mereka berdua sama sekali tidak bersaudara. Nefertary adalah asli Nubian, sedangkan Nefertiti berasal dari kawasan Syria yang kemudian menjadi penghuni Mesir di masa lampau.


“O ya, mengapa pulau ini dinamai Elephantine, apakah itu dari bahasa Inggris yang berarti ‘gajah’?” Saya seperti tak ingin hilang kesempatan bertanya.


Gambar diambil dari sini 

‘Ammu ‘Abbas bilang, “Nama itu dari bahasa Yunani yang maknanya memang ‘gajah’. Dinamai begitu karena pulau ini jika dilihat dari udara ia berbentuk seperti gajah”.

“Rashid, menurutmu apa bedanya sungai Nil di sini dengan sungai Nil di utara (Mesir)?” Ia bertanya dan pertanyaannya membuat saya bingung.

“Kamu lihat batu-batu di tengah Nil?” susulnya.

“Ooo.. iya iya. Lalu kenapa?”

“Dahulu, batu-batu dari daerah sini, termasuk dari pulau ini, diangkut ke berbagai tempat di Mesir sebagai bahan bangunan kuil, istana dan monumen-monumen.” Jelasnya.

Saya jadi teringat pada piramida-piramida raksasa di Giza. Konon, bebatuan yang menjadi susunannya itu diangkut dari Mesir selatan dengan menggunakan perahu-perahu melintasi sungai Nil.

Sayang sekali, saya tidak bisa berlama-lama di pulau Elephantine ini. Saat berpamitan, sambil berjabat tangan, ‘Ammu ‘Abbas sempat berpesan kepada saya, “Selamat datang di tanah Nubian, Nak. Berkunjung ke Aswan tak sempurna bila tak datang ke pulau Nubian.”[]



*) Nubian berarti orang suku Nubia. Nubia adalah wilayah di kawasan Mesir Selatan dan Sudan Utara. Menurut orang-orang Nubia, mereka adalah bangsa asli Mesir. Pada zaman kuno, Nubia merupakan kerajaan independen yang tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kerajaan para Firaun. Uniknya, bangsa Nubian tidak punya bahasa tulisan, mereka hanya memiliki bahasa lisan atau verbal.

Masih banyak cerita lainnya. Nantikan #egyptology di awal Februari.


Salam Hangat, 
Rashid Satari






Comments
1 Comments

1 komentar:

Silakan tulis kesan anda di sini. :)