Tuesday, November 25, 2008

Berprestasi di "Masisir University"*

Oleh : Rashid Satari**
Saya teringat pertanyaan seorang kawan, Asep Lukman, mahasiswa S1 Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) yang juga aktifis LSM Jardes (Jaringan Desa) Garut. "Kapan lulus dari Al-Azhar, Kang? Eh.. maksud saya, kapan lulus dari Mesir?". Pertanyaan itu saya jawab dengan senyuman.
Baru saja kita lewati tanggal 28 Oktober. Tanggal di mana delapan dasawarsa lalu pemuda pelajar Indonesia melakukan manuver gerakan yang menjadi lokomotif utama dan inspirasi lahirnya proklamasi delapan tahun kemudian. Bukti historis itu menunjukan bahwa peran pemuda pelajar yang kerap dinamakan "mahasiswa" ini sangat besar dalam dinamika kehidupan sosial kebangsaan. Sehingga tak aneh bila berbagai jargon banyak disematkan pada mahasiswa, seperti Agent of Changes, Problem Solver, Moral Force dan lain sebagainya. Sehingga tidak heran pula ketika banyak sejarawan bahkan sastrawan semisal Pramoedya Ananta Toer berkelakar bahwa sejarah Indonesia, bahkan sejarah dunia adalah sejarah para kaum muda (mahasiswa). Kajian empirik seperti tadi menunjukan bahwa mahasiswa merupakan pegiat aktifitas intelektual dan juga aktifitas sosial, yang pada dasarnya kedua hal tersebut berkaitan erat.
Masisir, sebagaimana kita ketahui bersama adalah komunitas mahasiswa. Aktifitas intelektual yang digeluti Masisir sejatinya menjadi investasi jangka panjang bagi pembangunan masyarakat Indonesia kelak. Pada perjalanannya, mahasiswa Indonesia di Mesir senantiasa memerlukan perkumpulan tertentu, besar maupun kecil, formal maupun non-formal, untuk mengasah potensi intelektualnya. Oleh karena itu, fenomena multi-organisasi yang ada di tengah Masisir merupakan anugerah. Sebagaimana halnya kehadiran Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes dan lain sebagainya yang menjadi penopang penting Sumpah Pemuda 1928.
Dalam orasi di hadapan para peserta KIPI (Konferensi Internasional Pelajar Indonesia) Se-Dunia, Sydney 2007, Prof. Dr. Emil Salim melontarkan stimulan bahwa dalam dunia global yang sangat kompetitif ini, lulusan S1 dan S2 tidak lagi cukup untuk memenuhi kualifikasi intelektual Indonesia (Terobosan edisi 319). Artinya, sudah bukan masanya lagi mahasiswa sibuk dengan dialektika prestasi akademis itu penting atau tidak, ijazah itu penting atau tidak. Melainkan sekarang adalah saatnya mahasiswa memakai pola pandang bagaimana mengimplementasikan perannya sebagai wujud tanggungjawab sosial terhadap masa depan pembangunan masyarakat Indonesia.
Dalam berbagai ajang kompetisi internasional, prestasi akademis mahasiswa Indonesia cukup membanggakan. Ini bisa kita lihat dari berbagai sampel ajang kompetisi internasional yang dijuarai oleh mahasiswa Indonesia. Beberapa diantaranya adalah tahun 2003, mahasiswa Indonesia merebut juara III dari 41 negara peserta pada olimpiade matematika di Universitas Teknologi Isfahan Iran. Kemudian Maret 2007, Hanna Azkiya mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia meraih Best Oralist (Oralis peringkat I) pada Kompetisi Peradilan Semu bergengsi Internasional Philip C. Jessup Moot Court di Washington DC, mengalahkan 200 peserta lain dari 95 universitas dunia. Juga masih banyak prestasi yang ditorehkan mahasiswa kita seperti kompetisi internasional dalam desain mobil tenaga surya, fisika, lomba program komputer, hingga debat bahasa Inggris tingkat dunia (Fasli Jalal, 2004). Namun ternyata, berbagai kemenangan itu belum mampu menjawab segala persoalan sosial bangsa kita seperti kemiskinan, pengangguran, krisis jati diri, narkoba dan lain sebagainya.
Padahal mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari aktifitas intelektual dan sosial. Oleh karenanya, mahasiswa tidak bisa mengkhususkan atau mengeliminir diri dari salah satunya. Sebelum memasuki realitas kehidupan di lapangan, mahasiswa harus melalui fase rangkaian proses pembelajaran terlebih dahulu.
Kembali ke konteks Masisir. Keberadaan beragam corak organisasi seperti senat, ormas, kelompok kajian, almamater, organisasi kedaerahan, sanggar seni bahkan perkumpulan-perkumpulan tanpa bentuk sekalipun menjadikannya unik dan berbeda dengan mahasiswa Indonesia di negara lain. Keberagaman tersebut tidak seharusnya dipandang sebagai bentuk diferensiasi atau klasifikasi kaku atas mahasiswa kita di sini. Paradigma seperti itu harus dirubah menjadi sebuah cara pandang bahwa apapun organisasinya, minumnya (orientasinya) adalah nilai-nilai intelektualitas.
Sekolah kita saat ini bukan sekedar kampus abu-abu bernama Al-Azhar saja. Namun, sekolah kita adalah Masisir itu sendiri, tempat kita belajar hidup bersosial, berdampingan, saling memberi dan menerima vitamin-vitamin intelektual. Ketika komponen masisir bermasalah, seperti konflik masisir kemarin, maka menutup mata atau pura-pura tidak tahu adalah keliru. Harus kita sadari bahwa konflik seperti itupun merupakan bagian dari fase pembelajaran kita. Tidak cukup pulang dengan berbekalkan lembar ijazah saja. Hanya dengan berperan sesuai namanya lah, kita, mahasiswa, bisa meraih prestasi di sekolah yang bernama "Masisir" ini. Wallahu'alam bishawab.
*) Juara II Lomba Kolom Buletin Terobosan Mahasiswa Indonesia di Mesir, 2007

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)