Thursday, November 27, 2008

Islamic Violence dan Advokasi PERSIS*

Oleh : Rashid Satari**

Tulisan ini terinspirasi artikel Shiddiq Amien, MBA dalam Risalah edisi November 2001. Tulisan yang mengekspresikan kegelisahan penulisnya tersebut secara implicit terlebih dulu menggugat definisi "teroris" yang saat ini semakin paradoks. Pasca tragedi kemanusiaan Hirosima dan Nagasaki enam dasawarsa silam, terma ini semakin mengalami penyempitan makna dan mereduksi.

Hingar bingar gerbang abad milennium menjadi saksi bisu di mana terorisme menjadi stigma buruk atas Islam. Tragedi 11 September 2001 atas World Trade Center (WTC), bom Madrid, bom Legian Kuta Bali menjadi rentetan kelam tentang skenario kekerasan atas kemanusiaan. Di tengah kosmologi pengertian terorisme yang semakin kabur, world view digiring kepada satu wacana yang disepakati hampir separuh warga dunia; Islam adalah biang keladi kekerasan!

Beberapa naskah artikel menunjukan ketegasan sikap Persatuan Islam (Persis) atas kekerasan. Persis merupakan ormas Islam yang sejak 1923 konsisten menjunjung tinggi purifikasi nilai-nilai ke-Islaman dari berbagai parasit akidah seperti syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul juga dari berbagai infiltrasi pemikiran-pemikiran kontemporer mulai dari liberalisme hingga sekularisme. Bagi Persis, kekerasan dalam segala bentuknya tidaklah bisa diamini sebagai aktualisasi pembelaan atas prinsip hidup. Al Quran menegaskan perdamaian sebagai ajaran, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” [QS. Fushilat : 34-35].

Violence (kekerasan) menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kemanusiaan. Berbagai kitab samawi sejak Taurat hingga Al Quran telah merekam dengan baik bagaimana kekerasan dimulai sejak awal mula peradaban manusia yang direpresentasikan oleh Habil dan Qabil. Drama kekerasan terus berlangsung di atas panggung sejarah kemanusiaan berabad-abad setelahnya, darah Ahlul Bait di Karbala Nainawa, 80.000 korban tentara Salib di Jarusalem dan prahara Timur Lenk hanyalah beberapa diantaranya. Satu yang perlu digarisbawahi dari berbagai tragedi tersebut adalah bahwa terdapat berbagai latarbelakang di balik layar kekerasan. Latarbelakang itu tidak bisa digeneralisir karena alasan dogmatik agama belaka, melainkan juga berbagai alasan lain seperti tekanan ekonomi, sosial dan politik.

Sedikit surut ke belakang, dinamika kekerasan akhirnya menemui terminologi baru yang khas sebagai sebuah paham (isme) seperti terorisme. Di abad ke 19, Erick Morris sempat mendefenisikan terorisme sebagai tindakan pemberontakan melawan negara. Namun, defenisi ini diartikulasikan secara absurd tergantung kepentingan, siapa subjek dan objek. Kondisi ini mempersulit pemetaan antara tindak kekerasan dan pembelaan diri. Terorisme menjadi sedemikian subjektif dan seringkali diskriminatif. Akan tetapi bila dicoba sejenak berposisi moderat dengan menyepakati terorisme atau kekerasan sebagai segala tindakan mengancam dan menebar ketakutan kepada masyarakat maka benang kusut terorisme akan longgar terurai. Khususnya dalam rangka membersihkan Islam dari stigma buruk terorisme.

Terorisme tidak selalu identik dengan doktrin keagamaan, namun bisa juga latarbelakang kohesi sosial yang tak sehat. Tragedi organisasi Ku Klux Klan di Amerika Serikat bisa dijadikan sampel. Organisasi sentimentil ras ini berdiri di tahun 1860-an pasca kebijakan presiden Abraham Lincoln yang mengakhiri era perbudakan. Meski awalnya organisasi ini bertujuan membela supremasi warga kulit putih sebagai komunitas masyarakat kelas satu di tengah berkembangnya fenomena peningkatan taraf hidup warga kulit hitam, Ku Klux Klan akhirnya bermetamorfosa menjadi organisasi pembunuh. Diperkirakan, pada dekade 1980-an organisasi ini telah membantai puluhan ribu kulit hitam.

Andaipun agama diasumsikan sebagai latarbelakang kekerasan maka besar kemungkinan ada motif lain mendahuluinya. Kekerasan karena agama terjadi dalam persengketaan sengit Katholik dan Protestan yang menjadi cacat bangsa Eropa di abad ke-17. Adapun peperangan pasukan Salib dengan kaum muslimin akan bermuara pada latarbelakang sentimen politik ambisi Nashrani eropa menguasai Jarusalem. Sebagaimana ambisi Gold, Glory dan Gospel mereka dalam ekspedisi melintasi Tanjung Harapan di Afrika yang menjadi awal imperialisme di negara-negara dunia ketiga .

Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa banyak hal berpotensi menjadi latarbelakang kekerasan. Selain itu, ada penegasan eksplisit bahwa dibutuhkan objektifitas dalam menilai kekerasan. Pada poin ini ada perbedaan prinsipil antara tindak kekerasan (terorisme) dengan tindak pembelaan diri. Hal ini terkait langsung dengan stigmatisasi sistemik yang disematkan pada Islam sebagai agama kaku dan berhaluan kekerasan dalam ajarannya. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Qs. Al-Baqarah; 190].

Inilah yang terjadi pada tragedi pembunuhan Anwar Sadat. September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Gerakan Jamaat Jihad kemudian terbentuk di dalam penjara. 6 Oktober 1981, gerakan yang berpegang pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah” - nya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat. Tragedi ini membuktikan bahwa dalam berbagai kasus, keterlibatan pihak muslim lebih bermotif pembelaan diri dalam kondisi yang tertekan. Dan, ini bukanlah terorisme.

Bagi Persis sebagai gerakan tajdid, Islam yang lurus dan damai haruslah selalu dijaga dan direkonstruksi dari kontaminasi penafsiran miring tentang medium da’wah. Bahwa Islam memiliki kearifan dalam konsepsi Jihad yang tak hanya diartikulasikan sebagai gerakan kekerasan, emosional, intoleran bahkan anarkis. “Sesungguhnya tidaklah Kami mengutus kamu kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” [Qs. Al-Anbiyâ’; 107].

Sebagai catatan akhir, mengutip Gustav La Bon, “Islam tidak pernah menggunakan kekerasan sebagai medium syiar-nya karena memang Al Quran tidak pernah mengajarkannya kecuali kedamaian berda’wah. Dan kedamaian da’wah inilah yang berhasil memikat Turki dan Mongol untuk memeluk Islam” [1969].

*) Dimuat dalam buletin Al-Furqan milik Pwk. Persis Mesir, edisi Agustus 2008
**) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008 - 2009

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)