Saturday, January 17, 2009

Parade Kepentingan di Balik Gaza


Oleh : Rashid Satari
Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo Jurusan Da’wah dan Kebudayaan Islam

Konflik Israel dan Palestina tak lagi bermotif ideologi semata. Sejak Mei 1948 di mana Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara baru, konflik berkepanjangan terus berlangsung. Di mulai dengan perebutan kawasan yang berbuah pendudukan Jarussalem oleh Israel. Hingga, kini Israel berhasil memecah belah Palestina.
Dalam kurun waktu perjalanan konflik Israel - Palestina, berbagai kepentingan bermunculan sudah. Tak lagi hanya Israel yang berkepentingan. Namun, suramnya nasib Palestina dipengaruhi juga berbagai kepentingan pihak-pihak lain tak terkecuali negara-negara Arab.

Konflik Gaza yang tak berkesudahan sejak 27 Desember 2008 lalu adalah indikasi poin di atas. Konflik ini tak terhentikan meski korban tewas telah mencapai angka 1100 jiwa dan korban luka mencapai angka 4000 orang. Artinya, tentu tidak bisa disimpulkan begitu saja bahwa ini hanya konflik dua pihak semata. Sebab bila begitu, dunia internasional dengan PBB sebagai representasinya bisa mudah menengahi dan mengakhiri.

Berbagai Kepentingan

Telah diketahui bersama bahwa sejak 60 tahun lalu Israel mendambakan berdirinya negara Israel Raya. Kawasan yang membentang dari sungai Eufrat hingga sungai Nil yang berarti mencakup Irak hingga Mesir.

Dalam perkembangannya, kepentingan Israel tak hanya itu. Israel tak hentinya berkonflik dengan berbagai negara dengan beragam kepentingan mulai ekonomi hingga politik. Itu pula yang terjadi saat ini di mana konflik di Gaza semakin tak terkendali.

Partai Kaduma sebagai penguasa Israel saat ini tercoreng oleh skandal korupsi Ehud Olmert. Menjelang pemilu Israel di Februari 2009, pimpinan partai Kaduma Lipzi Livni bersikeras memperbaiki citra dengan memaksimalkan posisi strategisnya saat ini sebagai Menteri Luar Negeri Israel. Livni sendiri ternyata mendambakan posisi Perdana Menteri di pemilu mendatang. Bahu-membahu dengan kabinetnya, trio Livni, Olmert dan Barak memborbardir Hamas dengan dalih membela warganya di Israel Selatan.

Aksi militer ini memang sempat membuahkan hasil dengan meningkatnya pamor partai Kaduma di mata warga Israel. Meski pada kenyataanya dari 81 persen yang mengamini tindakan militer Israel di Gaza, hanya 30 persen yang percaya bahwa aksi ini akan berhasil.

Di Mesir, kepentingan pun sangat kental mewarnai kebijakan luar negeri atas konflik Gaza. Presiden Mesir, Hosni Mubarak memperoleh berbagai kecaman atas sikap kooperatifnya terhadap Israel. Ini terlihat dari kunjungan Olmert ke Cairo dan pernyataan Mobarak bahwa Raffah akan dibuka hanya dengan restu Israel.  
Usut punya usut, rupanya ini disinyalir terkait dengan pemerintahan status qou yang sedang menjadi wacana hangat dalam dinamika perpolitikan Mesir. Mobarak menghendaki putranya yang juga pimpinan partainya, Partai Nasional Demokrat, Jamal Mobarak sebagai penggantinya. Mobarak butuh dukungan penuh untuk itu. Dan, Israel adalah salah satu pihak yang tepat.
Di Washington, Barack Obama yang dipinta suaranya oleh dunia internasional tentang Gaza masih juga bungkam. Tak aneh, Amerika yang masih dipimpin Bush merupakan pendukung utama Israel. Amerika pula yang mematahkan draft resolusi PBB yang ditawarkan Lybia. Diam-diam Obama pun menunjukan dukungannya pada Israel. Terlebih karena itu adalah salah satu poin janji Obama dalam kampanye politiknya tempo hari. Sejarah bersaksi, sokongan Israel selalu berada di balik kesuksesan seseorang untuk menjadi presiden negeri Paman Sam.

Bagaimana dengan organisasi-organisasi internasional? Beberapa pengamat menilai tak ada yang bisa diharapkan dari organisasi-organisasi seperti PBB, Liga Arab bahkan OKI sekalipun. Seperti diucapkan Miguel d'Escoto (Presiden Majelis Umum PBB) bahwa selain dikotori oleh kepentingan-kepentingan pribadi, kebijakan setiap organisasi ini tak terlepas dari kepentingan-kepentingan lokal setiap negara anggotanya. PBB tak menghasilkan apa-apa dari sidangnya. Liga Arab pun demikian, hanya bisa menyelenggarakan pertemuan informal belaka. OKI sementara ini hanya bisa mengecam saja.

Masa Depan Konflik Gaza

Membaca relita di atas, nampaknya masa depan perdamaian di Gaza semakin suram. Konfrontasi semakin tajam pasca dimulainya serangan darat oleh Israel. Hamas-pun semakin kencang melawan. Bahkan, perkembangan terakhir menunjukan faksi Fatah mulai menunjukan simpati pada perlawanan Hamas.

Upaya damaipun akan semakin jauh mengingat Israel yang tetap bersikukuh untuk melakukan tindakan offensiv dan dunia internasional yang tak punya kekuatan untuk menghentikan perang bahkan untuk sekedar memediasi perundingan sekalipun.

Kekerasan perang hanya akan melahirkan kekerasan perlawanan. Ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi bila kondisi di atas terus terjadi. Peperangan semakin tak terprediksi kapan berakhir dengan korban sipil yang semakin besar. Selain itu, gelombang simpati pada Gaza dan kekecewaan pada lembaga internasional akan mengundang tindakan-tindakan perlawanan yang tak terkendalikan di berbagai tempat. Kasus penembakan dua warga Israel di Denmark adalah satu sampel kecil. Tak heran, Nir Rosen seorang jurnalis Libanon memperkirakan bahwa konflik Gaza akan menimbulkan aksi-aksi yang diklaim Israel sebagai "terorisme" baru di berbagai belahan dunia.