Tuesday, November 25, 2008

Gatot Kaca, Uwa Lengser dan Neo Kabayan*


Oleh : Rashid Satari**
Jumat 18 April 2008. Secara kebetulan saya memperoleh kesempatan sebagai moderator dalam acara Dialog dan Tausiyah bersama Prof. Dr. Maman Abdurahman, MA (Guru Besar Unisba dan Ketua Bidang Tarbiyyah PP. Persis). Bertempat di Pasangrahan KPMJB (Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat) Cairo, acara yang diselenggarakan oleh para pengurus KPMJB ini juga menghadirkan Muhammad Noor (senior KPMJB) sebagai narasumber.
Sebagai moderator, peran saya adalah memberikan stimulan sehingga alur dialog sesuai dengan target yang diharapkan penyelenggara khususnya. Saya banyak merenungi kata demi kata yang diurai kedua narasumber sore itu. Sembari mencatat beberapa point kunci, membran pendengaran saya mengalirkan informasi ke otak secara cepat. Rupanya banyak hal yang saya tidak tahu tentang tanah air saya sendiri.
Prof. Maman menyampaikan beberapa informasi penting. Sumber Daya Masyarakat (SDM) Jawa Barat hingga saat ini masih rendah yaitu peringkat ke 16 se-Indonesia. Permasalahan lainnya adalah urbanisasi, patologi sosial, dan limbah sampah. Tentang sampah, 500 ton sampah perhari membebani ibu kota Jabar, Bandung. Padahal persediaan air di dalam tanah Bandung hanya tinggal 1/3 lagi. Selain itu, 460 Puskesmas di Jabar tidak dilengkapi tenaga dokter. Ditambah lagi 12 juta jiwa dari 42 juta jiwa SDM di Jawa Barat hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu pameo tentang orang-orang Jawa Barat belum juga hilang. Bahwa orang Jawa Barat “jago kandang”, cenderung pasrah pada alam dan keadaan, tidak pro aktif, konsumtif dan lain sebagainya. Bagaimana semua ini bisa diperbaiki? Pertanyaan usang yang terbukti susah sekali menemukan jawaban aplikatif.
Narasumber yang memperoleh giliran pertama berbicara, Muhammad Noor (akrab disapa Wa Mumuh), memperkenalkan KPMJB khususnya kepada Prof. Maman. Bahwa KPMJB adalah sebuah idealisme. KPMJB didirikan dengan maksud sebagai “kawah candradimuka” bagi putera-puteri Sunda yang tengah study di Mesir. Seperti dalam kisah-kisah pewayangan, Candradimuka adalah kawah pertapaan Gatot Kaca sebelum terlahir sebagai sosok sakti mandraguna. KPMJB diharapkan bisa menjadi tempat di mana putera-puteri Sunda yang berada di Mesir saling membina diri sebagai agen transformasi nilai-nilai ke-Islam-an sekaligus tanpa melunturkan wawasan dan identitas daerahnya. Harus disadari bahwa bagaimanapun, mereka akan kembali pulang kampung dan dituntut untuk siap dengan kondisi sosio-kultur masyarakat.
Hal ini diamini oleh Prof. Maman. Kader-kader Jabar di Mesir pun harus memiliki wawasan sosiologis dan psikologi sosial. Karena tak jarang para ahli agama yang tak mampu menyatu dengan masyarakat karena kekurangan dalam hal tersebut tadi.
Muncul ungkapan “jangan seperti si Kabayan”. Si Kabayan adalah sosok yang sangat akrab dengan masyarakat Jawa Barat. Bahkan, Kabayan dengan segala kekurangan yang melekat di dirinya, kadung dipandang sebagai prototype masyarakat Sunda. Karakter si Kabayan dinilai menggambarkan karakter masyarakat Sunda. Sehingga wajar bila kemudian Doel Sumbang dalam salah satu liriknya bilang, “si Kabayan urang Sunda. Urang sunda lain si Kabayan..”. Namun, hati kecil saya sayup-sayup bertanya. Siapa Kabayan? Sedemikian pemalaskah si Kabayan?
Si Kabayan bisa dikategorikan sebagai legenda rakyat Jawa Barat. Karena belum ditemukan manuskrip sejarah yang membenarkan kebenaran sosok ini. Tidak seperti Ker Arok, Prabu Siliwangi atau Gajah Mada misalnya. Namun, biasanya legenda pun tidak muncul tanpa alasan. Sebut saja misalnya Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Atau Malin Kundang. Legenda selalu sarat hikmah.
Kemudian memori saya meloncat beberapa bulan ke belakang. Dalam sebuah seminar budaya di Cairo, Drs. Ahmad Isrona (staf pengajar di SIC - Sekolah Indonesia Cairo) menyampaikan bahwa kisah di Kabayan merupakan “Cultural Autocritik”. Si Kabayan menjadi sosok pembawa misi pembaharuan bagi masyarakat Sunda. Kabayan juga menyampaikan misi perubahan paradigmatik orang Sunda dalam menjalani kehidupan. Lewat perannya, Kabayan berusaha mengajak masyarakat Sunda berkaca. Kabayan mengajak untuk menghayati kekayaan alam Sunda. Kabayan juga mengajak masyarakat Sunda untuk jujur dan cinta tanah air. Bahkan dalam beberapa peran, Kabayan berusaha menyentuh suara hati putera Sunda yang telah menjadi “orang besar” di kota besar agar ingat, pulang dan membangun kampung halamannya. Semua pesan-pesan sosial ini disampaikan Kabayan secara jenaka sesuai karakter masyarakat Sunda yang kental dengan selera humornya.
Drs. Ahmad Isrona menambahkan, “Kabayan” memiliki nilai filosofis tinggi. Dalam literatur Sunda disebutkan “Kabayan” berarti “utusan”. Seperti Uwa Lengser (sosok lain yang sangat masyhur di Sunda) yang berarti “lungsur”. Bila si Kabayan identik sebagai sosok yang hidup dengan kesederhanaan desa, Uwa Lengser sebaliknya. Ia hidup di tengah gemerlap istana, namun diam-diam selalu mau lungsur (turun) ke bawah untuk tahu kondisi rakyatnya.
Uwa lengser dan Kabayan adalah identitas Sunda yang seharusnya dibanggai, bukan dihindari. Dan, KPMJB adalah kawah candradimuka kita untuk pulang ka lembur (kampung halaman) atau lemah cai (tanah air, tanah kelahiran), Jawa Barat. Bila Gatot Kaca cukup satu, Uwa Lengser tidak perlu seribu, maka kita bisa jadi si Kabayan tanpa embel-embel sebagai pemalas atau sebatas dagelan. Kita bisa jadi si Kabayan yang sarat kesederhanaan, kebersahajaan namun bervisi kemajuan. Kita bisa jadi Neo_Kabayan! Wallahua’lambishawab.
*)Alasan mengapa saya memakai "neokabayan" pada email dan personal website saya.
*)Mahasiswa Program Licence Jurusan Da’wah wa Tsaqafah Islamiyyah Universitas Al Azhar Cairo.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)