Tuesday, November 25, 2008

Masisir dan Fenomena Kelalaian Sistemik


- Sebuah Otokritik -

Oleh : Rashid Satari*

Di suatu petang, saya sempat bertanya pada seorang kawan tentang bagaimana kabar Masisir akhir-akhir ini. Jawabannya adalah "Yah.. masisir masih gitu-gitu aja". Jawaban ini boleh jadi sedikit mengerutkan kening siapapun yang mendengarnya. Penggalan kalimat dari jawaban tersebut mungkin tidak begitu menarik. Namun akan lain ceritanya bila ternyata kalimat itu menemukan relevansinya pada realitas keseharian kita (Masisir) saat ini. Jawaban itu menyiratkan bahwa sebagai sebuah kelompok masyarakat, Masisir masih belum banyak berubah.
Pasca ujian termin pertama kemarin, dinamika Masisir telah dihangatkan kembali dengan dua buah acara besar yaitu bedah buku Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal dan sebuah konser musik Islami. Terbilang besar karena kedua acara ini diselenggarakan di auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar Cairo, sebuah lokasi yang untuk sementara dan sampai saat ini masih menjadi standar tolak ukur atau barometer besar kecilnya suatu acara yang diselengarakan Masisir.
Kedua acara yang berbeda tersebut tenyata memiliki banyak sisi kesamaan. Sama-sama besar, sama-sama mengebrak, sama-sama menyita perhatian publik masisir, dan satu lagi, sama-sama diselenggarakan dalam timing waktu yang - sangat disayangkan - tidak disiplin. Pembukaan acara dilakukan pada waktu yang jauh melenceng dari rencana yang telah disosialisasikan kepada publik jauh-jauh hari sebelumnya. Kedua acara tersebut sama-sama semakin mengkristalkan opini selama ini bahwa masisir tidak pernah bisa melepaskan diri dari kebiasaan mengulur waktu atau lebih kita kenal dengan "jam karet". Satu kebiasaan yang kita sepakati bersama sebagai sebuah kebiasaan keliru, khususnya bagi komunitas masyarakat terpelajar seperti Masisir.
Kedua acara di atas hanyalah sampel kecil dari sekian banyak acara yang mengalami penguluran waktu. Alasan keterlambatan pembukaan acara seperti ini disinyalir dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama, datang dari khalayak publik yang selalu saja menjadikan alasan-alasan kecil – manusiawi – yang sebenarnya selalu bisa disiasati - seperti sulitnya kendaraan dan lain sebagainya sebagai kendala. Faktor kedua datang dari pihak penyelenggara / pengundang yang merasa khawatir acara menjadi tidak sempurna karena keterlambatan khalayak publik yang menjadi undangan. Kekhawatiran inilah yang mendorong kebijakan penguluran waktu, karena bagi pihak pengundang, kehadiran khalayak publik merupakan bukti sukses atau tidaknya suatu acara. Pendek kata keterlambatan ini terjadi karena unsur kesengajaan.
Penghargaan atas waktu menjadi identitas bagi sebuah bangsa maju. Atau minimalnya, ia menjadi identitas atau karakteristik dari sebuah bangsa yang ingin maju, seperti Jepang misalnya. Sehingga penghargaan atas waktu-lah yang secara langsung membedakan antara bangsa yang dinamis menuju kemajuan, dengan bangsa yang statis bahkan berjalan ke arah keterpurukan.
Masisir adalah sebuah komunitas masyarakat yang unik. Sebagai sebuah komunitas masyarakat, Masisir memiliki berbagai macam pola perilaku atau yang dalam ilmu Sosiologi dikenal dengan istilah Patterns of Behavior. Pola-pola perilaku inilah yang kemudian dalam skala mikro menjadi habit / kebiasaan personal dan dalam skala makro menjadi sebuah budaya. Adapun bila kita telusuri lebih lanjut, maka pola-pola perilaku Masisir akan banyak ditemui dalam pernak-pernik aktivitas keseharian mulai dari kegiatan akademis perkuliahan, kajian-kajian intelektual, surfing internet, jalan-jalan, bahkan sampai kebiasan tidur pagi sekalipun.
Begitu pula dalam penghargaan atas waktu. Ini pun termasuk sebagai bagian dari pola perilaku sebuah masyarakat. Tengok misalnya Jepang, masyarakatnya secara kultural telah memiliki cara pandang yang sama terhadap urgensi waktu. Sehingga mereka tidak membiarkan sedikitpun dari waktu yang mereka miliki berlalu dengan percuma. Kurang lebih enam puluh dua tahun pasca tragedi Hirosima dan Nagasaki, Jepang kini menjadi bangsa raksasa dari Asia. Sekali lagi, ini membuktian bahwa untuk masyarakat atau bangsa yang ingin maju, penghargaan atas waktu menjadi hal yang niscaya.
Kembali pada dua sampel acara Masisir yang telah disinggung di atas. Kebijakan untuk melakukan penguluran waktu yang terjadi padanya boleh jadi bermaksud baik. Namun perlu diingat, ketika langkah itu diambil, maka ketika itu pula kita mengamini kekeliruan yang tengah terjadi di tengah masyarakat kita yaitu kebiasaan "jam karet". Bahkan lebih jauh dari itu, penguluran waktu tersebut berarti memediasi kekeliruan yang seharusnya diperbaiki. Sehingga lambat laun, setiap anggota masyarakat memiliki pandangan yang sama terhadap kekeliruan ini, masyarakat memandang kekeliruan ini sebagai hal yang biasa. Dan lebih parah lagi, kekeliruan ini selanjutnya menjadi budaya yang tersistematiskan secara rapi dalam setiap penyelenggaraan acara. Bila telah sampai pada taraf ini, berarti tanpa disadari kita tengah merancang skenario "bunuh diri" untuk masa depan bangsa kita sendiri, sehingga "menjadi bangsa yang maju" tetap hanya menjadi utopia kita bersama.
Adalah naif bila kehadiran khalayak publik dijadikan alasan penguluran waktu. Walaupun penguluran ini dimaksudkan sebagai toleransi bagi mereka yang datang terlambat, lantas bagaimanakah penghargaan atau toleransi bagi mereka yang berupaya disiplin dengan datang di awal waktu (?).
Perlu perubahan paradigmatik untuk memperbaiki kekeliruan ini. Bentuknya bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, memutar logika berpikir kita tentang siapa yang harus lebih dihargai, undangan yang datang terlambatkah atau undangan yang datang di awal waktu. Kedua, memulai acara tepat / sesuai dengan waktu yang telah disosalisasikan kepada khalayak publik. Untuk pertama kali, kedua cara ini mungkin akan terasa sulit. Namun hal ini akan memberikan shock therapy secara masif untuk masyarakat kita, sehingga lambat laun bila dibiasakan, jam karet yang telah mendarah daging itu bisa dikikis dengan pembiasaan budaya hidup disiplin.
Mungkin benar bila ada yang mengatakan bahwa "pengulur waktu" sudah menjadi dua kata yang defenitif bagi masisir. Namun sebagai komunitas masyarakat terpelajar, budaya negatif yang bertolak belakang dengan semangat kemajuan harus kita pangkas habis. Ketidakdisiplinan atau kelalaian tidak boleh ditumbuhsuburkan apalagi dengan kesengajaan. Mari buktikan bahwa kita menginginkan kemajuan, mari bangun budaya disiplin itu mulai dari sekarang. Wallahu 'alam bishawab.
*) Ketua Umum PII Perwakilan Mesir 2006 - 2008

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)