Oleh : Rashid Satari**
“300”, sebuah film kolosal sekaligus kontrofersial yang sukses mendemonstrasikan eksotisme seni berperang. Anda yang pernah menikmati film ini tentu bisa melihat langsung bagaimana perisai menjadi senjata yang sangat efektif bagi pasukan kecil Sparta saat menghadapi kedigdayaan pasukan Persia dalam pertempuran di Thermopylae pada tahun 480 SM. Di tempat lain, nun jauh di angkasa sana Stratosfer menjadi bagian penting Atmosfer yang melindungi bumi dari bahaya ultraviolet (UV), sinar X dan sinar gamma. Atmosfer menjadi perisai untuk bumi. Dua ilustrasi tadi cukup memberikan gambaran buat kita tentang fungsi penting perisai sebagai self defence.
Maka, analogi puasa sebagai perisai yang disuguhkan Muhammad Saw dalam sebuah haditsnya sangatlah sarat makna. “Puasa adalah perisai dari api neraka seperti perisainya seseorang di antara kamu dalam perang” (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban). Bila diinterpretasikan, perisai ini bisa bermakna ganda baik itu hakiki maupun majazi. Konsekwensi logis dari puasa bagi pelaksananya adalah penghindaran diri dari tindakan dan ucapan dosa. Selain itu, di beberapa negara maju puasa juga terbukti ampuh sebagai metode pengobatan alternatif. Satu lagi, sejarah mencatat bahwa Ramadhan telah menjadi saksi untuk kemenangan umat Islam di Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi di abad ke-7 Hijriyah. Betapa hebat ibadah puasa di bulan Ramadhan hingga kemenangan-kemenangan tersebut Allah abadikan dalam salah satu ayat surah Al Anfâl.
Ada rahasia yang harus kita kuak terkait dengan kemenangan-kemenangan yang nyaris terkategori sebagai keajaiban di atas. Kemenangan umat Islam secara heroik hingga bisa menjadi satu peradaban tangguh tidak kita temukan lagi hari ini meski telah melalui beratus-ratus kali Ramadhan. Mari sejenak berkontemplasi, salah satu keistimewaan ramadhan adalah saat di mana Al Quran sebagai pegangan hidup manusia diturunkan. Dalam salah satu ayat-Nya Allah merekomendasikan ramadhan sebagai waktu yang tepat untuk akselerasi amal mencapai derajat Taqwa. Sebuah derajat yang dijanjikan berbuah kebahagiaan dan kemenangan. Maka, sangat mungkin kebahagian dan kemenangan itu semakin utopis saat Al Quran hanya menjadi bacaan tanpa implementasi.
Sejatinya puasa menjadi pendidikan dalam membangun kualitas SDM umat Islam. Shalat semestinya menjadi tiang penyangga keyakinan. Pun seharusnya zakat dan shodaqoh menjadi stimulan bagi kebangkitan ekonomi masyarakat. Semua ini akan tetap terjadi saat Al Quran benar-benar vital sebagai pegangan, bukan sekedar pajangan. Lebih mengerucut lagi, semua itu akan tetap berlangsung bila ramadhan benar-benar dihayati dengan kesungguhan, dalam arti ramadhan yang sarat pengamalan nilai-nilai Al Quran.
Ramadhan merupakan bulan yang padat aktifitas ibadat. Dan, di saat yang sama Allah menjanjikan balasan berkali lipat. Tak heran, kita bisa dengan mudah merasakan dan menyaksikan langsung adanya peningkatan yang tajam dalam aktifitas ibadah. Masjid-masjid menjadi sesak setiap subuh dan malam. Muzakki berdatangan, mustahiq pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Langit menjadi meriah dengan lantunan Al Quran. Takbir bergenta penuh selama satu bulan.
Namun, siapa sangka ternyata banyak fenomena kontraproduktif terjadi selama ramadhan. Sebagai sampel, ramadhan diproyeksikan sebagai waktu yang tepat melatih kepekaan sosial, kepedulian dan kesederhanaan. Aktifitas puasa memungkinkan penurunan anggaran belanja harian. Tapi, sosial empirik membuktikan yang terjadi adalah sebaliknya. Ada peningkatan aktifitas belanja masyarakat di bulan ramadhan. Dan, semakin melejit tajam menjelang akhir ramadhan. Seperti informasi dari Bank Mandiri Surabaya, ada peningkatan penggunaan kartu kredit sebesar 15 % di ramadhan 1428 H. Tak ayal, Iedul Fitri pun menjadi ajang show power kekuatan ekonomi. Baju, sepatu, kerudung, dan berbagai aksesori baru menjadi jauh lebih penting ketimbang apa yang ada dibaliknya. Setiap tahun ini berlangsung, maka setiap tahun ramadhan berakhir hampa. Terbukti, pasca ramadhan masjid-masjid hanya diisi beberapa shaf saja saat subuh dan isya. Tilawah Al Quran dan aktifitas berderma mendapat nasib tak jauh beda.
Paragraf di atas secara implisit menunjukan bahwa bila ramadhan berlangsung tanpa penghayatan maka rentan melahirkan manusia-manusia konsumtif dan materialis. Pelipatgandaan pahala menjadi motivasi utama ibadah. Maka, tak heran ramadhan tidak berbekas di bulan-bulan berikutnya. Mustahiq bermunculan tanpa mengindahkan pertimbangan bahwa Islam mengamini tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Peningkatan gairah belanja memperlebar peluang tindak kejahatan. Di penghujung ramadhan, perhatian masyarakat terkonsentrasi pada materiil dan lupa pada hikmah agung I’tikaf dan rahasia sepuluh hari terakhir.
Sejatinya, ramadhan adalah madrasah. Ramadhan menjadi arena pendidikan rohani (tarbiyah ruhiyah), pendidikan intelektual (tarbiyyah fikriyyah), pendidikan jiwa dan mental (tarbiyah nafsiyah), pendidikan jasmani (tarbiyah jasadiyah), pendidikan ekonomi (tarbiyah maaliyah), dan pendidikan sosial (tarbiyah ijtima’iyah). Kesemua ini ada dalam ramadhan seakan membentuk satu kurikulum pendidikan khusus program satu bulan. Seorang anak didik akan bisa lulus dari madrasahnya bila berhasil melalui program pendidikannya dengan baik. Seperti itu pula seorang pelaksana puasa. Terdapat relasi elementer di antara puasa ramadhan dengan peningkatan kualitas kemanusiaan seseorang. Relasi ini akan menjadi sangat diametral bahkan kontradiktif bila rentetan pendidikan ini tidak dilakoni dengan kesungguhan.
Seperti 300 pasukan Sparta atau seperti Stratosfer, dibutuhkan kesungguhan agar perisai itu berfungsi sebagaimana mestinya. Semoga!
*) Dimuat dalam majalah La Tansa milik IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor cabang Cairo, edisi XI / Ramadhan 1429 H.
**) Mahasiswa S1 Universitas Al Azhar Cairo. Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008-2009.
“300”, sebuah film kolosal sekaligus kontrofersial yang sukses mendemonstrasikan eksotisme seni berperang. Anda yang pernah menikmati film ini tentu bisa melihat langsung bagaimana perisai menjadi senjata yang sangat efektif bagi pasukan kecil Sparta saat menghadapi kedigdayaan pasukan Persia dalam pertempuran di Thermopylae pada tahun 480 SM. Di tempat lain, nun jauh di angkasa sana Stratosfer menjadi bagian penting Atmosfer yang melindungi bumi dari bahaya ultraviolet (UV), sinar X dan sinar gamma. Atmosfer menjadi perisai untuk bumi. Dua ilustrasi tadi cukup memberikan gambaran buat kita tentang fungsi penting perisai sebagai self defence.
Maka, analogi puasa sebagai perisai yang disuguhkan Muhammad Saw dalam sebuah haditsnya sangatlah sarat makna. “Puasa adalah perisai dari api neraka seperti perisainya seseorang di antara kamu dalam perang” (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban). Bila diinterpretasikan, perisai ini bisa bermakna ganda baik itu hakiki maupun majazi. Konsekwensi logis dari puasa bagi pelaksananya adalah penghindaran diri dari tindakan dan ucapan dosa. Selain itu, di beberapa negara maju puasa juga terbukti ampuh sebagai metode pengobatan alternatif. Satu lagi, sejarah mencatat bahwa Ramadhan telah menjadi saksi untuk kemenangan umat Islam di Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi di abad ke-7 Hijriyah. Betapa hebat ibadah puasa di bulan Ramadhan hingga kemenangan-kemenangan tersebut Allah abadikan dalam salah satu ayat surah Al Anfâl.
Ada rahasia yang harus kita kuak terkait dengan kemenangan-kemenangan yang nyaris terkategori sebagai keajaiban di atas. Kemenangan umat Islam secara heroik hingga bisa menjadi satu peradaban tangguh tidak kita temukan lagi hari ini meski telah melalui beratus-ratus kali Ramadhan. Mari sejenak berkontemplasi, salah satu keistimewaan ramadhan adalah saat di mana Al Quran sebagai pegangan hidup manusia diturunkan. Dalam salah satu ayat-Nya Allah merekomendasikan ramadhan sebagai waktu yang tepat untuk akselerasi amal mencapai derajat Taqwa. Sebuah derajat yang dijanjikan berbuah kebahagiaan dan kemenangan. Maka, sangat mungkin kebahagian dan kemenangan itu semakin utopis saat Al Quran hanya menjadi bacaan tanpa implementasi.
Sejatinya puasa menjadi pendidikan dalam membangun kualitas SDM umat Islam. Shalat semestinya menjadi tiang penyangga keyakinan. Pun seharusnya zakat dan shodaqoh menjadi stimulan bagi kebangkitan ekonomi masyarakat. Semua ini akan tetap terjadi saat Al Quran benar-benar vital sebagai pegangan, bukan sekedar pajangan. Lebih mengerucut lagi, semua itu akan tetap berlangsung bila ramadhan benar-benar dihayati dengan kesungguhan, dalam arti ramadhan yang sarat pengamalan nilai-nilai Al Quran.
Ramadhan merupakan bulan yang padat aktifitas ibadat. Dan, di saat yang sama Allah menjanjikan balasan berkali lipat. Tak heran, kita bisa dengan mudah merasakan dan menyaksikan langsung adanya peningkatan yang tajam dalam aktifitas ibadah. Masjid-masjid menjadi sesak setiap subuh dan malam. Muzakki berdatangan, mustahiq pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Langit menjadi meriah dengan lantunan Al Quran. Takbir bergenta penuh selama satu bulan.
Namun, siapa sangka ternyata banyak fenomena kontraproduktif terjadi selama ramadhan. Sebagai sampel, ramadhan diproyeksikan sebagai waktu yang tepat melatih kepekaan sosial, kepedulian dan kesederhanaan. Aktifitas puasa memungkinkan penurunan anggaran belanja harian. Tapi, sosial empirik membuktikan yang terjadi adalah sebaliknya. Ada peningkatan aktifitas belanja masyarakat di bulan ramadhan. Dan, semakin melejit tajam menjelang akhir ramadhan. Seperti informasi dari Bank Mandiri Surabaya, ada peningkatan penggunaan kartu kredit sebesar 15 % di ramadhan 1428 H. Tak ayal, Iedul Fitri pun menjadi ajang show power kekuatan ekonomi. Baju, sepatu, kerudung, dan berbagai aksesori baru menjadi jauh lebih penting ketimbang apa yang ada dibaliknya. Setiap tahun ini berlangsung, maka setiap tahun ramadhan berakhir hampa. Terbukti, pasca ramadhan masjid-masjid hanya diisi beberapa shaf saja saat subuh dan isya. Tilawah Al Quran dan aktifitas berderma mendapat nasib tak jauh beda.
Paragraf di atas secara implisit menunjukan bahwa bila ramadhan berlangsung tanpa penghayatan maka rentan melahirkan manusia-manusia konsumtif dan materialis. Pelipatgandaan pahala menjadi motivasi utama ibadah. Maka, tak heran ramadhan tidak berbekas di bulan-bulan berikutnya. Mustahiq bermunculan tanpa mengindahkan pertimbangan bahwa Islam mengamini tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Peningkatan gairah belanja memperlebar peluang tindak kejahatan. Di penghujung ramadhan, perhatian masyarakat terkonsentrasi pada materiil dan lupa pada hikmah agung I’tikaf dan rahasia sepuluh hari terakhir.
Sejatinya, ramadhan adalah madrasah. Ramadhan menjadi arena pendidikan rohani (tarbiyah ruhiyah), pendidikan intelektual (tarbiyyah fikriyyah), pendidikan jiwa dan mental (tarbiyah nafsiyah), pendidikan jasmani (tarbiyah jasadiyah), pendidikan ekonomi (tarbiyah maaliyah), dan pendidikan sosial (tarbiyah ijtima’iyah). Kesemua ini ada dalam ramadhan seakan membentuk satu kurikulum pendidikan khusus program satu bulan. Seorang anak didik akan bisa lulus dari madrasahnya bila berhasil melalui program pendidikannya dengan baik. Seperti itu pula seorang pelaksana puasa. Terdapat relasi elementer di antara puasa ramadhan dengan peningkatan kualitas kemanusiaan seseorang. Relasi ini akan menjadi sangat diametral bahkan kontradiktif bila rentetan pendidikan ini tidak dilakoni dengan kesungguhan.
Seperti 300 pasukan Sparta atau seperti Stratosfer, dibutuhkan kesungguhan agar perisai itu berfungsi sebagaimana mestinya. Semoga!
*) Dimuat dalam majalah La Tansa milik IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor cabang Cairo, edisi XI / Ramadhan 1429 H.
**) Mahasiswa S1 Universitas Al Azhar Cairo. Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008-2009.
0 komentar:
Post a Comment
Silakan tulis kesan anda di sini. :)