Monday, December 08, 2008

Mengaji Thanta

Oleh : Rashid Satari

Tiga hari dua malam di Thantha. Ibu kota propinsi Gharbiyyah ini berjarak kurang lebih 120 km dari Kairo. Kota ini berada diantara Kairo dan Alexandria serta bertetanggaan dengan kota Kafrusyaikh. Thantha merupakan satu dari beberapa kota yang berada di kawasan Delta, yaitu daerah yang terletak di antara dua aliran sungai Nil.


Suatu sore di hari Selasa, 17 Januari 2006 M bertepatan dengan 17 Dzulhidjah 1426 H, saya bersama seorang kawan bernama Irfan memulai perjalanan menuju Thantha. Kami mulai perjalanan ini dari terminal Ramsis Kairo dengan menggunakan el-Tramco jurusan Ramsis - Gomlah. Pukul 15.05 waktu setempat, tramco mulai melaju. Dengan ongkos Le. 5,50 per orang, kami menikmati perjalanan selama kurang lebih satu jam dua puluh menitan. Sekitar pukul 16.30, kami sudah memasuki kota Thantha, hingga akhirnya kami turun di sebuah mahattah(stasiun) sebelum Gomlah, bernama mahattah Ma'rad. Dengan menggunakan taxi, kami menyambung perjalanan menuju apartemen di mana Irfan tinggal.

Dalam waktu 15 menit saya sudah sampai di sebuah flat berstyle tua. Dari warna catnya memang terlihat seperti bangunan baru, namun dari model arsitekturnya yang bergaya prancis, flat ini lebih serupa bangunan lama. Berbeda dengan keumuman flat-flat di Kairo, flat yang berada di lantai dasar apartemen ini memiliki ketinggian dinding yang relatif lebih tinggi, kira-kira empat meter jarak antara lantai dan langit-langitnya.

Thantha, 18 Januari 2006.
Karena harus menunggu Irfan mengikuti ujian mata kuliah terakhir semester ini, acara jalan-jalan yang saya rencanakan sebelumnya baru bisa dilakukan selepas maghrib.

Setelah menyusuri jalanan yang agak gelap diantara apartemen-apartemen tua, saya bersama Irfan memasuki kawasan yang dikenal dengan nama Maidan Sa'ah. Maidan Sa'ah adalah sebuah persimpangan jalan yang di tengahnya terdapat taman kecil berumput di mana sabuah tugu berdiri tegak. Itulah alasan mengapa persimpangan ini dinamakan Maidan Sa'ah, karena terdapat tugu dengan sebuah jam besar di bagian atasnya. Maidan Sa'ah juga merupakan titik pertemuan atau muara dari lima jalan beraspal. Pesona lain yang saya nikmati di kawasan ini juga adalah gedung-gedung tua yang tinggi mengelilingi persimpangan jalan ini. Jarum jam di tengah persimpangan malam itu menunjukan pukul 18.40 waktu setempat.


Dengan berjalan kaki, kami melanjutkan petualangan malam itu. Ternyata Maidan Sa'ah di kelilingi kawasan pasar yang ramai. Melewati kawasan ini, saya jadi teringat Pasar Baru Bandung yang memiliki suasana dan keramaian serupa. Di sini saya sempatkan mampir di sebuah maktabah (toko perlengkapan alat tulis), membeli sepasang batu baterai untuk Olympus Digital Camera yang saya bawa.


Berjalan ke utara, kami memasuki jalan Badawi. Jalan yang agak sedikit menanjak ini masih dikelilingi juga oleh bangunan-bangunan tua nan tinggi yang lantai dasar dan trotoarnya dipadati oleh deretan toko-toko. Menurut Irfan yang menjadi guide saya malam itu, toko-toko di jalan Badawi ini relatif lebih mahal dalam menawarkan dagangannya. Selanjutnya saya menjadi mengerti akan hal itu karena ternyata di ujung jalan ini terdapat sebuah masjid ternama; masjid Badawi. "Badawi" diambil dari nama seorang maha guru di kota ini bernama syaikh Muhammad Badawi, di mana makamnya terdapat di dalam masjid ini. Banyak masyarakat lokal maupun dari luar yang berziarah ke masjid dan makam ini sehingga kawasan ini ramai tak ubahnya seperti tempat pariwisata saja. Saya tak melewatkan kesempatan tersebut, beberapa jepretan kamera saya lakukan di halaman masjid ini. Beranjak dari masjid Badawi, kami melanjutkan ke arah timur menuju sebuah stasiun Qitar (kereta antar propinsi) kemudian berputar kembali menuju Maidan Sa'ah.


Penasaran dengan makanan yang diceritakan Irfan sepanjang jalan tadi, kami melintas ke sebelah barat Maidan Sa'ah. Deretan toko masih terus menjadi pemandangan kami. Kami sempat mampir di sebuah toko penjual coctail buah. Beberapa menit kami di sana, berbincang dengan 'ammu si penjual coctail yang dengan pedenya meminta sekali jepretan kamera dari kami. Ternyata coctail di sini agak sedikit lebih murah. Satu gelas coctail di sini bisa kami nikmati dengan harga Le. 1, 25, sedangkan di Kairo berkisar antara Le.2,00 hingga Le. 3,00. Jalan-jalan kami lanjutkan hingga tak lama akhirnya kami sampai di kedai yang tadi sempat diceritakan Irfan.


Qibdah bi Syurbah dilengkapi dengan Ruz Muammar adalah sasaran kami di kedai itu. Qibdah bi Syurbah terdiri dari roti 'isy hangat yang diisi goreng hati sapi, sedangkan Syurbah adalah kuah yang diambil dari kaldu kepala sapi. Adapun Ruz Muammar adalah nasi dicampur susu dan zubnah (keju), dikemas dalam mangkuk berukuran sedang kemudian dioven. Qibdah, Syurbah dan Ruz Muammar disajikan secara terpisah. Tiga sajian ini dilengkapi dengan Syalatah, yaitu lalab yang terdiri dari irisan tomat, lemon, daun kasybaroh, disiram dengan sedikit cuka. Satu porsi Qibdah bi Syurbah dijual dengan harga Le. 4,00 sedangkan Ruz Muammar Le.2,00. Adapun Syalathah, sesuai keumuman di kedai- kedai atau restoran-restoran lainnya, diberikan secara cuma-cuma. Kesan saya setelah mencicipinya adalah "ingin nambah".

Perjalanan malam kami lanjutkan. Sambil pulang, kami menelusuri sebuah jalan ke arah selatan yang ternyata bermuara di Maidan Sa'ah juga. Di ujung jalan ini terdapat toko es krim yang lumayan besar bernama Abdul Razak Ice Cream. Hmm.. melihat visualisasinya, lidah saya jadi tergoda juga. Kami memesan dua corong Chocolate Ice Cream yang berharga Le. 2,50 setiap satunya. Harga yang lumayan murah untuk ukuran toko sebesar ini saya pikir. Sayangnya seperti banyak orang bilang bahwa "harga memang tak berbohong", lidah kami tak merasa dimanjakan dengan rasanya.

Kami merasa cukup puas setelah hampir tiga jam setengah kami berjalan-jalan. Pukul 21.45 kami sudah sampai lagi di Maidan Sa'ah. Beberapa foto kami ambil di sini, kemudian kami pun berbalik pulang. Hari sudah larut dan semakin dingin saja malam itu.

Keesokan harinya, Kamis 19 Januari 2006, selepas salat Dhuhur kami melakukan perjalanan pulang ke Kairo. Perjalanan ini kami lakukan dengan menggunakan qitar darajah tsaniah (kereta lintas propinsi kelas II) dari mahattah Thantha. Tiket qitar seharga Le. 5,00 bisa kami dapatkan dengan Le.3,00 karena alasan status kami sebagai pelajar. Bila lancar, qitar akan memakan perjalanan selama satu jam setengah untuk sampai di mahattah Ramsis Kairo. Sebelum mencapai Kairo, qitar ini harus melewati beberapa mahattah untuk berhenti sejenak di sana sebelum melanjutkan perjalanan. Mahattah-mahattah itu antara lain Birkit Saba, Quesina, Banha, Tukh Station, Qahaa dan Shubra el-Kheima. Durasi waktu qitar ketika berhenti di setiap mahattah tersebut sekitar lima sampai sepuluh menit, namun ini bisa lebih singkat lagi bila nampak jarang penumpang yang ada di sana.

Qitar beranjak pelan selepas mahattah Shubra el-Kheima, karena jarak antara mahattah ini dengan mahattah akhir di Ramsis yang tidak terlalu jauh. Kira-kira pukul 15.00, kami sudah menginjakan kaki kembali di Ramsis Kairo.
Tiga hari dua malam bukanlah waktu yang cukup untuk mengungkap semua khazanah kota tua Thantha. Namun tiga hari dua malam bagi saya adalah waktu yang cukup untuk berkenalan dengan Thantha. Kunjungan pertama begitu menggoda. Kunjungan kedua, tunggu saja tanggal mainnya.


Bawabat II Nasr City Kairo, 22 Januari 2006

Ketika Osama Menikah*

[ seuntai oleh-oleh petualangan]

Oleh : Rashid Satari



Apa kata Amerika bila Osama menikah? Mungkin negara adidaya itu akan segera mengirimkan super sniper crew-nya untuk “meramaikan” pesta pernikahan tersebut. Tapi syukurlah hal itu tak terjadi, karena memang pengantin kali ini bukanlah orang nomor wahid dalam deretan buronan Amerika itu. Dia hanya Osama, mahasiswa tingkat tiga fakultas Dakwah Islamiyyah Universitas Al-Azhar Kairo.


* *


Kafrusyaikh. Sebuah kota kecil, kurang lebih 100 km dari Kairo arah Alexandria. Keberuntungan bagi penulis dapat mengenal kota tersebut. Seorang teman di kampus berasal dari sana, Osama namanya. Kafrusyaikh tidaklah seeksotis tetangganya, Alexandria, dan tidak pula sepongah saudara tuanya, Kairo. Dikelilingi pesawahan dan perkebunan subur menghijau sejauh mata memandang. Gemericik sungai irigasi mengiringi perjalanan sepanjang jalan beraspal menuju desa Ishaqah, rumah Osama. Kota ini memang sangat layak di sebut kawasan agraris. Setelah dua kali mengunjunginya, kesan yang hadir adalah serasa berpijak di kampung halaman sendiri. Anak-anak yang asyik berkecipak dengan air sungai, memandikan kerbaunya menjadi pemandangan klasik tersendiri setiap sore hari. Ibu-ibu dan para bapak yang berangkat ke sawah, berkendara pedati keladai atau bertelanjang kaki, menjadi sarapan mata setiap pagi hari.

Keramahan penduduknya yang menjadikan penulis ketagihan untuk kembali berkunjung ke tempat ini. Bagi masyarakat Ishaqah, adalah sebuah kebanggaan ketika bisa menjamu tamu jauh. Begitulah yang terjadi dengan keluarga Osama. Sambutan hangat, jamuan memuaskan, serta penerimaan layaknya keluarga sendiri adalah kesan kunjungan pertama penulis di desa tersebut.


**


Pada kali kedua kunjungan ke sana, adalah dalam rangka menghadiri undangan Osama. Osama bermaksud berbagi kebahagiaan dalam resepsi akad nikah dengan seorang gadis pujaannya. Adapun khitbah, telah dilakukan ketika Osama duduk di kuliah tingkat dua. Osama tidak seperti perawakannya yang tinggi besar. Usianya baru genap 20 tahun ketika itu. Sedangkan calon istrinya adalah gadis sekampungnya, dara manis bernama Nurah kelahiran 1986. Keduanya memang masih belia. Bagi mereka, pernikahan adalah babak hidup yang tak beralasan untuk tidak disegerakan, tentunya dengan segala perbekalan yang telah dipersiapkan.

Dalam adat kebiasaan masyarakatnya, pesta pernikahan biasa diadakan malam hari, tak terkecuali pesta akad nikah Osama ini. Hari itu, selepas shalat Dhuhur, Osama dan calon mempelai wanita berangkat menuju pusat kota Kafrusyaikh untuk membeli seperangkat perhiasan yang akan dijadikan mas kawin. Mereka diiringi oleh keluarga masing-masing, sehingga perjalanan menuju keramaian kota kala itu hampir mirip arak-arakan kampanye partai di negeri kita. Kontan, rengrengan keluarga ini menjadi pusat perhatian ratusan pasang mata di sepanjang jalan.

Tiba di kawasan perbelanjaan, calon mempelai wanita berhak memilih mas kawin yang diinginkannya. Searching perhiasanpun memakan waktu yang cukup lama. Maklum, pasangan mempelai juga keluarganya berharap sekali bisa menemukan perhiasan yang bisa melambangkan kebahagiaan mereka. Perhiasan yang dimaksudpun didapatkan; sepasang cincin, kalung, gelang dan giwang, diboyong kembali ke desanya. Tak disangka, perjalanan pulang ternyata jauh lebih semarak ketimbang pemberangkatan siang tadi. Lengkingan suara kaum hawa yang dikenal dengan istilah Zarghati mewarnai iring-iringan kendaraan.


Upacara akad nikah langsung dilaksanakan ba’da shalat Ashar berjama’ah di masjid setempat. Upacara ini dihadiri oleh Osama didampingi keluarganya, wali dari mempelai wanita dan tak ketinggalan masyarakat setempat yang didominasi oleh kaum pria. Proses ijab qabul berlangsung singkat sampai hampir tibanya waktu Maghrib. Suasana haru menaungi masjid sore itu.

Rupanya iring-iringan kedua belah pihak keluarga mempelai terulang kembali ba’da Maghrib. Ramainya tidak kalah dengan iring-iringan waktu siang. Hanya saja kali ini bertujuan mendandani pengantin wanita di sebuah wedding salon di tengah kota. Rupanya pemolesan pengantin inipun menghabiskan waktu yang tak singkat. Pengantin wanita dengan segala tata riasnya siap diboyong kembali ke lokasi resepsi tepat waktu Isya tiba. Rombongan inipun kembali pulang. Riuh suara dan lengkingan suara wanita lambang kegembiraan terdengar semakin ramai, dibalas dengan tepukan tangan bersahutan sepanjang jalan.

**

Malam itu adalah resepsi akad nikah. Sebelum nantinya menyusul satu resepsi lagi; resepsi terakhir pernikahan atau biasa diistilahkan dengan pesta dukhul. Sang suami baru boleh menunaikan “kewajiban” pertamanya setelah seremoni yang terakhir ini, kendati keabsahannya sebagai seorang suami telah terlegalisasi secara syar’i. Khusus untuk Osama, tenggang waktu antara resepsi akad nikah ke resepsi dukhul ini adalah lima bulan. Ini adalah produk adat bukan bagian dari syariat. Artinya, dalam tengang waktu tersebut Osama belum diperbolehkan untuk “duduk” satu ranjang dengan mempelai wanita, kecuali telah melewati resepsi terakhir tersebut.

Resepsi akad nikah ini berlokasi di depan rumah mempelai pria. Sebuah panggung pengantin sederhana dengan aneka pernak pernik yang menghiasinya telah dipersiapkan. Lampu-lampu warna warni menghiasi jalanan desa dari ujung ke ujung. Hentakan musik khas ala Mesir turut meramaikan suasana malam itu.


Untuk informasi, pernikahan di sini harus melalui tiga resepsi yang dipisahkan oleh waktu yang cukup renggang, diantaranya khitbah, akad nikah dan resepsi dukhul. Oleh karena itu, bisa jadi ini menjadi salah satu sebab sangat mahalnya biaya pernikahan di sini. Secara pribadi, penulis sangat menyayangkan realita yang terakhir ini.


Selama jeda waktu menjelang resepsi terakhir, mempelai pria yaitu Osama terus mempersiapkan rumah dan segala isinya untuk berumahtangga nanti. Karena resepsi terakhir baru bisa dilaksanakan bila rumah dan isinya selesai dipersiapkan. Rumah mempelai laki-laki ini berlokasi di tingkat atas kediaman orang tuanya. Setelah resepsi terakhir nanti, mempelai istri langsung diboyong ke rumah baru yang sedang dipersiapkan tersebut. Nah..di sinilah akhirnya sepasang pengantin baru ini memadu rindu.


**


Kafrusyaikh, Ishaqah danOsama, adalah pengalaman yang terlalu mahal untuk dilewatkan begitu saja. Dan untuk resepsi terakhir nanti, semoga penulis bisa ke sana lagi. Berminat ikut(?).


*) Dimuat dalam buletin Informatika milik ICMI orsat Cairo, 2006


Happy Birthday Reformasi

[sebuah kado air mata iba ; refleksi 7’th anniversary]

Oleh : Rashid Satari*

Berdetak menit menjadi jam, hari berganti minggu, bulan menjelma tahun dan tahun pun bertemu windu. Indonesia, sebuah negara-bangsa yang semakin hari semakin memperlihatkan eksistensinya secara nasional maupun internasional. Belum lama ini Indonesia terlibat dalam penandatanganan solidaritas kepedulian Al Aqsa-Palestina. Sedikit banyak sebuah manuver ini membuat mata dunia kembali melirik kita sebagai sebuah bangsa yang mempunyai martabat dan pendirian. Belum lagi prestasi Indonesia sebelum itu, yakni kesuksesan menggelar Pemilu Presiden secara langsung. Sebagai negara yang mengklaim diri “tanah kelahiran” Demokrasi, Amerika boleh iri dengan prestasi tersebut. Sekali lagi, mata dunia tak hanya sekali melirik Indonesia.

Sebelum itu semua, Merah putih memang pernah tercoreng-moreng dengan luka-luka. Luka Priok, luka Timor, luka Poso, luka Aceh, luka Semanggi, luka Trisakti, luka 27 Juli dan luka-luka lain sebagainya, baik yang terobati ataupun yang sampai kini terpeti es-kan mengering dan membeku karena terlupakan -mungkin-. Itu belum di tambah dengan luka harga diri – sebuah luka lama - ketika Indonesia terpuruk dalam katagori negara tak berdaya dan meroket rangking-nya sebagai bangsa terkorup di dunia.

Kemudian hal lain lagi, Reformasi datang sebagai sebuah babak pendewasaan bangsa. Reformasi telah beberapa tahun lalu dicetuskan. Wujud dari kekecewaan yang sempat terkekang. Mei enam tahun silam, genderang Reformasi bergema di seantero Ibu kota yang vibrasinya turut pula sampai ke desa-desa. Imbasnya, perubahan radikal maupun perlahan terjadi di sana sini, terus bergulir bergiliran hampir serempak. Di berbagai sendi kahidupan mulai dari politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Dari politik tingkat tinggi hingga politik kelas teri.

Enam tahun sudah Reformasi merayakan kemenangannya. Usia yang cukup sebenarnya untuk masa perbaikan bangsa ini karena bukankah Reformasi adalah tonggak awal dari cita-cita rehabilitasi Indonesia(?). Enam tahun sudah Reformasi merayakan kemenangannya. Dari sanalah harapan rakyat bermula. Syair indah tentang kesejahteraan pasca tumbangnya pohon Orde baru, lagu syahdu mendayu tentang kemerdekaan Hak Asasi turut menjadi bumbu. Jelas, bangsa ini telah lama amat rindu dengan itu semua. Dan Reformasi adalah pintunya.

Kemudian Reformasi pun berlalu. Seiring membasinya lagu dan syair semu dahulu. Reformasi menjadi bisu. Ditelan hegemoni perkembangan kebijakan-kebijakan politik baru. Para pahlawan sejati telah berganti dengan pahlawan-pahlawan baru. Begitupun para ksatria, para jenderal dan para pion pun “berganti baju” sampai-sampai “bergerak” kaku. Karena katanya kini adalah era baru(?). Dan aduh..! dasar bangsa kita, Reformasi yang diperjuangkan bertaruhkan darah dan air mata pun tega diperkosa juga. Dinodai dengan budaya korupsi yang semakin membumi. Ba’da reformasi, korupsi seperti terlegitimasi. Menjadi prasyarat para politisi dan birokrat dari pusat hingga daerah. Dari pejabat-pejabat teras hingga raja-raja kerdil di level grass root. Reformasi mereduksi.(!)

Sedangkan rakyat..

Harapan tinggal harapan ketika realita yang berbicara. Sungguh menyedihkan ketika belum genap seratus hari rampung pasca pelantikan eksekutif baru, tarif primer keseharian mereka harus naik kembali. Gas elpiji yang sejatinya telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat harus dinaikan harganya alih-alih menutupi kerugian yang saat ini dialami. Padahal sebenarnya di tempat lain sumur-sumur gas baru banyak digali. Yang jelas masyarakat hanya tahu bahwa mereka tak bisa lagi beli baju baru karena jangankan untuk itu, bahkan untuk beli “Tahu” pun mesti itung-itungan dulu. Karena memang sebenarnya sejak dulu masyarakat tak pernah berwenang menentukan masa depan dan nasib hidupnya sendiri ke mana mereka mau.

Lalu -sekali lagi- di Mei 2005 Reformasi akan genap berulang tahun lagi.

Ada yang patut disyukuri dari Reformasi. Karena dari sana ternyata masyarakat kita secara terpaksa telah banyak belajar dan membaca. Masyarakat Indonesia sekarang bukan lagi masyarakat Indonesia zaman dulu yang hanya tahu diam dengan cukup makan saja. Setelah menyaksikan dan merasakan luka-luka bangsa sendiri, dengan sendirinya masyarakat tertuntut untuk membuka mata setelah sekian lama tertidur buta. Kini masyarakat kita tak mudah lagi dibohongi, karena janji-janji sakti dari para pendekar politik yang dulu pernah didendangkan tak pernah terbukti.

Terbuktilah sudah bahwa memang akselerasi kesadaran masyakarat kita terhadap kondisi bangsanya sangatlah lamban. Mengapa? karena - warisan orde baru - terlalu lama masyarakat dibodohi. Pendidikannya direndahkan. Sejarah kehidupannya digelapkan. Sehingga masyarakat sulit untuk belajar bahkan untuk sekedar tahu jati dirinya sendiri.

Dan, kemudian jelaslah pula apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat kita. Masyarakat Indonesia butuh kader-kader/anak bangsa yang benar-benar mempedulikan Pendidikan-nya. Bukan tayangan-tayangan mistis, bukan goyangan-goyangan erotis, bukan lomba-lomba jadi artis, bukan kebohongan kuis-kuis, dan bukan janji-janji politis-simbolis-formalistis. Tapi masyarakat butuh hak pendidikannya yang - seharusnya – gratis!

Terakhir, demi kesejahteraan bangsa, semoga kau tak cepat basi lalu kemudian mati. Selamat ulang tahun Reformasi!


Cairo, Awal Mei 2005


*) Mahasiswa S1 Ushuluddin “ Universitas Kehidupan” Al-Azhar Kairo. Sekretaris Umum PII Mesir 2004-2006

Ahsannas


Oleh : Rashid Satari

Siang hari di mahattah (stasiun/terminal) Darâsah Kairo, sepulang ujian dari kampus Universitas Al - Azhar. Setelah menunggu hampir satu jam lamanya, bis bernomor 24 J datang juga. Bis ini sudah penuh rupanya, sehingga saya hanya mendapat jatah berdiri di tengah sesaknya penumpang. Seperti biasanya.

Terbayang sudah kepenatan yang akan saya rasakan. Setelah berjemur sekian lama di bawah terik matahari, saya harus berdiri di tengah sesak penumpang dan panasnya udara Kairo siang itu, kemungkinan besar hingga sampai stasiun terakhir nanti di kawasan Nasr City.

"Anda orang Malaysia?" seorang pria Mesir bertanya pada saya dengan logatnya yang khas. "Lâ.. Andunisia (bukan.. Indonesia)" jawab saya. "Ahsannâs! (manusia paling baik)", sahutnya menyusul jawaban yang saya berikan.

Orang Indonesia memang sering digelari sebagai Ahsannâs (manusia terbaik) oleh masyarakat Mesir. Konon, gelar ini ada sejak 1956-an, ketika Soekarno menjalin hubungan baik dengan Mesir yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Naseer. Gelar itu memasyarakat hingga kini.

Saya tersenyum bangga mendengar sanjungan pria itu. Sementara, di tengah sesaknya penumpang, uang recehan sebesar LE. 0,50 diestafetkan dari tangan ke tangan oleh para penumpang, dari depan sampai belakang bis tempat di mana kondektur bis duduk. Ada seorang ibu yang naik lewat pintu depan rupanya. Tak lama kemudian, sang kondektur memberikan karcis bis yang juga sampai kepada si ibu dengan cara estafet pula. Sebuah pemandangan yang tak pernah saya lihat di negerinya Ahsannâs, Indonesia.

Saya kemudian mengarahkan mata kembali pada pria tadi dan berkata, "Tidak, kalian (orang Mesir) justru lebih baik". Dia tetap bersikukuh, "Lâ, Andunisia ahsannâs! (Tidak, orang Indonesia-lah yang terbaik)". Pria itu tersenyum simpul. Sambil tersenyum, saya memilih diam.

Mata saya kembali tertuju pada Ibu tadi. Seorang pria separuh baya yang duduk di dekatnya spontan berdiri memberikan kursinya pada sang Ibu. Wanita berpostur tambun itu mencoba menolak, namun tidak bisa mengelak. Karena rupanya hal seperti itu, menghormati wanita tua ataupun muda, sudah menjadi budaya mereka. Lagi, sebuah pemandangan yang sangat langka di Indonesia.

Awalnya, saya memang merasa tersanjung dengan pujian pria tadi. Namun, perasaan itu kemudian berubah menjadi rasa malu. Dua peristiwa yang dialami si Ibu tadi menjadi renungan singkat saya waktu itu.

Indonesia, sebagai bagian dari bangsa timur yang terkenal sebagai bangsa berperangai baik dengan ketinggian akhlaq-nya, tengah ditimbang-timbang. Seharusnya, peristiwa yang dialami si ibu tadi lebih banyak kita saksikan di Indonesia. Bukan di Mesir, bagian dari daratan Arab-Afrika yang justru dikenal dengan budaya padang pasirnya yang keras.

Saya terus menerawang pada bayangan-bayangan kelam seputar tragedi kekerasan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, semakin hari kekerasan semakin identik dengan kita, masyarakat Indonesia. Berbagai liputan pemberitaan yang merekam beragam kekerasan datang hampir setiap jam. Sehingga wajar bila semakin hari, kecamasan akan tindak kejahatan semakin menghantui masyarakat kita. Hasil survey Litbang Media Group terhadap 477 responden di enam kota besar di Indonesia pada akhir 2006 lalu, menunjukan bahwa 61% cemas akan pemerasan, 63% akan perampokan, 69% terhadap pencopetan dan 72% terhadap pencurian.

Rasa malu itu kian bertambah bila teringat kembali tragedi pembunuhan sadis yang dilakukan seorang warga Indonesia terhadap sebuah keluarga Malaysia di Kairo tahun 2004 silam. Anehnya, peristiwa seperti itu tak membuat kita kehilangan gelar sebagai Ahsannâs di hadapan masyarakat Mesir.

Mereka bukan tidak tahu dengan peristiwa kelam Mei 1998 di Jakarta. Pun mereka tahu lebih jauh tentang tragedi Poso di 2003. Layanan TV kabel, internet yang mudah dan murah, memberikan mereka informasi yang detail tentang bagaimana sebagian masyarakat kita kala itu saling menyerang, memanah dan memenggal di pelosok Maluku sana.

Separuh perjalanan telah dilalui bis. Laki-laki yang berdiri di samping saya tadi menyapa kembali, "Semoga selamat di perjalanan. Anda...!" walau kalimatnya tidak diteruskan, tapi saya bisa mengerti karena dia berbicara sambil menyunggingkan senyum dan mengacungkan jempol tangannya. "Indonesia Ahsannâs" terus terngiang di benak saya, namun saya belum bisa kembali tersenyum bangga mengingatnya.

Pers; Antara Otoritas dan Distorsi Opini*


(Secarik refleksi atas fenomena Jyllands Posten dan Playboy)
Oleh : Rashid Satari*

"Satu ujung pena lebih kutakuti daripada seribu bayonet" (Napoleon Bonaparte)

Khusus untuk Indonesia, kran liberalisasi jurnalistik belum lama dibuka. Reformasi 1998 menjadi gerbang utama multi kebebasan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Amien Rais dalam sebuah antologi berjudul "Reformasi Dalam Stagnasi" mengatakan bahwa dari enam agenda reformasi, salah satunya berbunyi tentang kebebasan warga negara (dalam hal pers, bicara, ekspresi, religi dan lain sebagainya). Artinya harus diakui bahwa atmosfer bangsa kita pada pra-reformasi memang memandulkan sebagian segmentasi potensi anak bangsa. Hegemoni Orde Baru telah menginvestasikan “bom waktu” yang akhirnya meledak pada titik kulminasi tertinggi dengan kemasan reformasi.

Untung tak dapat diraih, reformasi pun mengalami stagnasi. Menurut Amien Rais, juga dalam antologi yang sama, stagnasi ini terjadi karena penyakit mental yang masih menggerogoti bangsa kita. Penyakit mental tersebut diantaranya adalah mental attitude bangsa. Mental Attitude ini berdampak pada terciptanya budaya Public Dishonesty (ketidakjujuran publik) dan Publiclies (kebohongan publik). Akhirnya bisa kita lihat bersama, kran kebebasan berekspresi yang dibuka ternyata malah mereduksi, mengalami ambivalensi dan absurditas arti. Kebebasan diartikulasikan sebagai era kebebasan yang membabi buta.


Pers atau dunia jurnalistik sejatinya adalah media informasi yang berposisi sebagai abdi publik. Menyajikan hidangan informasi yang objektif dan transparan merupakan lambang tanggung jawab moral pers terhadap publik. Mengutip Jalaluddin Rakhmat, The American Society of Newspaper Editors tahun 1923 meresmikan kode etik Jurnalistik yang kemudian terkenal sebagai Canons of Journalism. Kode etik itu diantaranya adalah (1) Tanggungjawab (2) Kebebasan Pers; kebebasan pers harus selalu dijaga sebagai hak vital manusia dan pers bebas membicarakan apa saja yang tidak dilarang hukum atau perundang-undangan. (3) Independensi; pers harus membebaskan diri dari segala kewajiban kecuali kepada kepentingan umum. (4) Ketulusan; kesetiaan kepada kebenaran, dan akurasi (sincerity, truthfulness, and accuracy). (5) Kejujuran dalam menyampaikan informasi (impartiality). (6) Berlaku adil (fair play); pers harus memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan penjelasan bandingan dari apa yang disampaikan. (7) Kesopanan (decency); pers harus menyampaikan informasi, betapa pun terperincinya, sesuai dengan standar moral dan kesusilaan masyarakat.

Selanjutnya, idealisme pers melalui kode etiknya ini harus tersandung oleh realita aktual yang menunjukan bahwa kebebasan bersuara melalui media pers telah menjadi hak milik setiap lapisan komunitas dan individu mana saja dari masyarakat kita, mulai dari kalangan akademisi hingga politisi. Akhirnya tak jarang penerbitan pers kental dengan unsur subyektifitas kelompok yang melatarbelakanginya.


Atas nama kebabasan pers, subyektifitas dalam penerbitan sebuah media menjadi hal yang tak bisa dipungkiri. Dalam Pemilu Indonesia 1999 saja misalnya, setiap partai politik diberi kewenangan lebar untuk menerbitkan media, apapun bentuknya, sebagai wasilah kampanye mereka. Dari sini bisa kita lihat, perang opini menjadi fungsi lain yang diperankan pers. Atas dasar fenomena seperti inilah akhirnya keberadaan dan peran pers dipertanyakan kembali.


Awal 2006 Denmark mengejutkan dunia dengan Jyllands Posten-nya. Indonesia pun tak ingin ketinggalan, melakukan manuver baru di tahun yang baru dengan rencana penerbitan PlayBoy versi dalam negeri. Apa yang terjadi diantara keduanya tak lebih sebagai puncak gunung es saja. Bila kita tilik lebih jauh, dua belas karikatur baginda Nabi Saw. di Jyllands Posten sebenarnya telah terbit sejak September tahun lalu. Begitu pula dengan fenomena Playboy, majalah atau media-media dengan menu hidangan serupa telah banyak menjamur di Indonesia jauh sebelumnya.

Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia pers sudah jauh dari idealisme dan kode etiknya sebagai transformator kebenaran faktual dan kontekstual yang mengedepankan nilai-nilai universal. Hal ini diasumsikan terjadi karena euforia jurnalistik yang terjadi secara global sehingga merangsang dunia pers untuk semakin berani mengekspresikan kemerdekaannya. Walaupun, sejatinya, kebebasan ini banyak dilatarbelakangi keberpihakan, tetapi keberpihakan itu harus dilimpahkan kepada kemashlahatan publik dan konsensus universal.


Ambiguisitas pers memberikan dampak yang cukup berarti pada berbagai sisi kehidupan kita. Dari Jyllands Posten misalnya, tidak hanya hubungan diplomatik antarbangsa saja yang rusak, krisis perekonomian dan patologi sosial turut menjadi ancaman. Demonstrasi radikal terjadi seperti di Libanon, Suriah dan Indonesia; ribuan karyawan perusahaan Denmark di beberapa negara mayoritas muslim harus mengalami PHK Ini akan berdampak langsung kepada stabilitas sosial ekonomi negara bersangkutan. Begitupun Playboy yang mempertaruhkan perhatian, tenaga bahkan nilai-nilai moralitas bangsa kita. Keduanya belum ditambah lagi dengan sebuah kemungkinan lain yang tak kalah mengerikan, ketika toleransi mencapai titik jenuhnya sehingga memancing petaka global berlatarbelakang akidah dan ideologi.


Perkembangan dunia dan euforia jurnalistik telah mengantarkan pers pada perannya yang paradoks. Atmosfer kebebasan telah menghembuskan nuansa tidak sehat diantara pers dan konsumennya. Di sisi lain para pakar komunikasi kontemporer berpendapat bahwa informasi tak bisa lagi dianggap sebagai alat semata bagi sebuah kekuasaan. Sebab, informasi itu sendiri adalah kekuasaan. Di sini, pers adalah penguasa informasi dan opini sepenuhnya.


Tulisan ini tidak bermaksud menggugat kemerdekaan pers, karena kemerdekaan bagi pers adalah nafas hidup. Semoga pers menemukan kembali jati dirinya sebagai abdi publik yang independen dan bertanggungjawab; penyampai berita dan penebar makna. Wallahu 'alam bishawab.


*) Dalam buletin Al Furqan milik Pwk. PP. Persis Mesir

Wednesday, December 03, 2008

Tiang Agama


Oleh : Rashid Satari

Runtuh. Itulah yang akan terjadi pada bangunan yang berdiri tanpa tiang. Seperti itu pula yang akan terjadi pada bangunan Islam apabila berdiri tanpa shalat. Rasulullah SAW bersabda, “Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama” (HR. Baihaqi).

Berdirinya Islam di muka bumi tidak hanya diindikasikan dengan keberadaan agama bernama Islam. Akan tetapi juga ditunjukan dengan terimplementasikannya nilai-nilai Islam dalam aktifiats keseharian manusia. Bila salah satunya saja tidak ada maka Islam pada hakikatnya berada diambang keruntuhan.

Allah SWT berfirman, ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Quran dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Ankabut[29]:45).

Ayat Al Quran di atas menunjukan bahwa pelaksanaan ibadah shalat memiliki efek positif pada tingkah laku pelaksananya. Secara langsung, seseorang yang melaksanakan shalat dengan baik akan senantiasa terkontrol dan terjaga perilakunya serta terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan Islam.

Hal tersebut terjadi karena ibadah shalat mendorong pelaksananya untuk senantiasa ingat pada Allah SWT. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaahaa[20]:14). Di sinilah terdapat hikmah agung yaitu ketika shalat wajib disyariatkan lima kali dalam satu hari. Artinya, bila seseorang melaksanakan shalat dengan baik maka kehidupannya sepanjang hari akan selalu ada dalam koridor Islam.

Shalat adalah tiang agama Islam. Betapa pentingnya shalat sehingga Rasulullah SAW bersabda, ”Amal yang pertama kali akan dihisab untuk seseorang hamba nanti pada hari kiamat ialah shalat, maka apabila shalatnya baik (lengkap), maka baiklah seluruh amalnya yang lain, dan jika shalatnya itu rusak (kurang lengkap) maka rusaklah segala amalan yang lain” (HR. Thabrani). Wallahu a’lambishawab.


Thursday, November 27, 2008

PKS, Dakwah dan Kampanye*

Rashid Satari**
Belum lagi usai kontroversi iklan PKS dalam rangka Sumpah Pemuda, iklan PKS dalam rangka peringatan Hari Pahlawan menuai banyak kritik dan kecaman. Anis Matta sebagai Tim Pemenangan Pemilu Nasional PKS berdalih hal tersebut sebagai aktualisasi PKS sebagai partai dakwah.
Dengan iklan tersebut PKS mengajak rekonsiliasi bangsa. Sayangnya, perkataan Anis Matta tak seirama dengan Tifatul Sembiring, sang presiden partai. Tifatul justru mengakui iklan tersebut sebagai kesalahan.Imbas dari iklan ini, PKS menuai berbagai respons di dalam dan dari luar. Resistensi datang dari berbagai ormas, seperti NU dan Muhammadiyah. Kritik juga datang dari para eksponen dan keluarga PKI yang selama ini terstigma sebagai musuh bangsa. Tak lama, Anis Matta mengklarifikasi bahwa iklannya merupakan kampanye dalam rangka pemenangan Pemilu 2009.

Satu hal yang menarik adalah ketika fenomena di atas mencari relevansinya dengan bunyi platformPKS sebagai partai dakwah. Pasalnya, bila selama ini yang dilakukan PKS adalah dakwah, maka sejatinya dakwah tidaklah menimbulkan benih-benih disintegrasi umat Islam di Tanah Air. Juga, sejatinya dakwah yang dilakukan mestilah berimbas balik rasa simpati, bukan antipati.

Dakwah Ambigu
Dari platform gerakannya bisa dipahami bahwa PKS menghendaki perbaikan bangsa ini secara top down dengan jalur perebutan kekuasaan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Dengan menguasai kursi-kursi strategis di parlemen dan pemerintahan, PKS berharap bisa lebih mudah membumikan cita-cita perubahan.
Untuk mencapai pemenangan kursi di wilayah-wilayah strategis itu tentu saja harus melalui arena pertarungan politik. Inilah yang dilakukan PKS. Oleh karenanya analisis seorang pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti terkait dengan kontroversi iklan PKS yang menampilkan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa ada benarnya. Menurut Ikrar, apa yang dikatakan Anis Matta bisa dipahami bahwa iklan tersebut semata-mata adalah untuk mendulang suara sebanyak mungkin.

Pemilu khususnya dalam konteks demokrasi Indonesia memang mengharuskan partai politik apa pun asasnya untuk mencari suara sebanyak mungkin demi pemenangan. Maka tak heran parpol-parpol selama ini selalu melakukan hal tersebut melalui jalur kampanye politik yang ketentuannya diatur dengan Undang-Undang Pemilu.

Namun, ada yang unik terjadi di PKS. Dakwah yang selama ini menjadi jargon partai rupanya ambigu. Selain dakwah dalam rangka motivasi amar ma'ruf nahyi munkar, dalam waktu-waktu tertentu juga bermotivasi politis. Kemungkinan besar ini berlangsung di waktu-waktu menjelang pemilu, seperti sekarang ini. Indikasi dari ambiguitas itu adalah saat Anis Matta masih menjadikan PKS adalah partai dakwah sebagai dalih dalam menjawab kritikan-kritikan atas iklannya.

Sayangnya, apa yang terjadi dengan PKS saat ini telanjur terbaca publik sebagai inkonsistensi PKS dengan komitmennya sendiri, yaitu komitmen dakwah. Dakwah untuk melakukan rekonsiliasi bangsa tampak sebagai alasan yang prematur. Apalagi, di saat yang sama banyak gejolak horizontal umat Islam Tanah Air yang masih belum sempat teratasi. Pada titik ini dakwah yang didengungkan PKS berisiko tereduksi.

Ada palung yang curam di antara dakwah dan kampanye politik. Dakwah sudah dimaknai sedemikian dalam oleh masyarakat kita sebagai kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis akidah, syariat, dan akhlak Islam.

Kampanye telanjur dipahami sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara (KBI, hal 498:2001). Sudah menjadi rahasia bersama pula bahwa politik praktis dengan segala instrumennya adalah hal yang sangat rentan dan sarat unsur-unsur kepentingan pragmatis sesaat.

Maka, ketika PKS mengklaim diri sebagai partai politik dan partai dakwah sekaligus, saat itu pula PKS sedang berspekulasi. Mendudukkan secara sepadan dua hal yang sebenarnya berbeda, yaitu antara kampanye-politik praktis dan dakwah dalam terminologi Islam, sangat berisiko tinggi. Syukur bila PKS mampu melakukan keduanya secara berimbang dan proporsional. Akan tetapi, lain lagi bila yang terjadi adalah sebaliknya.

Dakwah atau Kampanye

Belajar dari kasus PKS di atas, ada pelajaran yang bisa dipetik oleh parpol-parpol ke depan, khususnya bagi parpol yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Ketika berbicara demokrasi di dalam konteks sosio-politik masyarakat Indonesia, kampanye politik dan dakwah adalah dua hal yang berbeda. Parpol harus bijaksana dan jeli dalam meletakkan keduanya.
Hal ini tiada lain adalah demi menjaga komprehensivitas nilai dakwah yang selama ini kita pahami sebagaimana diajarkan nilai-nilai Islam. Bahwa Islam selalu mengajarkan persatuan bukan perpecahan umat. Bahwa dakwah adalah amar ma'ruf nahyi munkar, mengajak pada persatuan bukan pada sikap-sikap sektarian.

Ajaran Islam syumul dan komprehensif mencakup segala sendi kehidupan. Paparan di atas tidak lantas diartikan pengotakan mana urusan agama dan mana urusan dunia politik praktis. Lebih penting dari sekadar nama, simbol atau platform. Islam sejatinya menjadi roh dari setiap gerakan.

Saat Islam secara simbolik dibawa-bawa ke ranah politik praktis maka mempertanggungjawabkannya adalah keharusan. Tangung jawab itu terejawantahkan pada aktivitas riil di lapangan. Nah, apakah yang terjadi saat ini seperti yang terjadi pada kontroversi iklan PKS dan segala efeknya adalah bukti dari pengejawantahan nilai-nilai dakwah Islam?

Ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengadaptasikan kembali dakwah Islam dalam konteks dinamika politik dan demokrasi Indonesia. Hal ini tentu saja memerlukan reanalisis yang tajam terutama berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinannya terhadap kemurnian dakwah Islam itu sendiri.Atau kedua, parpol berasas Islam seperti PKS mulai menegaskan diri sebagai partai politik yang berasas Islam, tanpa embel-embel partai dakwah. Sekali lagi ini dimaksudkan menghindari tereduksinya dakwah ketika permasalahan seperti iklan PKS kemarin terulang kembali.

Ikhtisar:
- Pemilu selalu mengharuskan partai politik apa pun asasnya untuk mencari suara sebanyak mungkin.
- Dakwah tidak pernah menimbulkan benih-benih disintegrasi umat Islam.
- Dakwah harus bisa menimbulkan rasa simpati, bukan antipati.
- Kampanye politik cenderung jauh dari makna dakwah.


*) Dalam rubrik Opini Hu Republika edisi Selasa 25 November 2008.
**) Mahasiswa Program Licence Universitas Al Azhar Kairo Jurusan Da'wah wa Tsaqafah Islamiyyah

Independensi PPMI Jelang 2009

Oleh : Rashid Satari*

Organisasi mahasiswa memiliki andil besar dalam berbagai gerakan moral (moral movement). Bahkan, sejarah dunia telah mencatat berbagai perubahan yang dimotori gerakan mahasiswa. Penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Ayub Khan di Pakistan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipina tahun 1985 hingga Soekarno di 1966 dan Soeharto di 1998 adalah rangkaian bukti nyata kontribusi gerakan moral mahasiswa.
Banyak faktor yang mendorong adanya kekuatan pada gerakan mahasiswa. Independensi adalah salah satu yang paling determinan. Independensi menjadikan gerakan mahasiswa bersih dari unsur-unsur kepentingan parsial-pragmatis. Independensi juga kemudian memungkinkan gerakan mahasiswa murni berlatarbelakang panggilan nurani yang menghendaki tercapainya kemaslahatan publik.
Tiba-tiba saya teringat debat capres PPMI tempo hari, khususnya pada pernyataan Capres Taryudi. Bahwa menurutnya tidaklah menjadi masalah apabila PPMI diintervensi simbol-simbol dan pengaruh partai politik. Persepsi ini tidak akan begitu bermasalah bila terlontar dari subjektifitasnya sebagai person. Namun, ini menjadi kontroversial saat disampaikan oleh seorang calon presiden organisasi independen semacam PPMI. Awalnya, saya memprediksikan pernyataan ini berpotensi menjadi bumerang bagi Taryudi. Namun menariknya, perkiraan ini meleset karena Taryudi berselisih 2 (dua) suara saja dari Yazid yang memperoleh 713 suara. Ini menunjukan ternyata demikian besar animo sebagian masisir kepada capres PPMI yang memiliki persepsi kontradiktif dengan prinsip independensi PPMI itu sendiri. Poin terakhir ini sebenarnya cukup unik untuk dikaji lebih dalam.
Selanjutnya, dialektika tentang independensi menjadi lebih menarik untuk dielaborasi. Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry mendefenisikan independensi sebagai kemerdekaan atau ketidaktergantungan pada pihak lain [1994]. Bagi PPMI sebagaimana tercantum dalam AD-ARTnya, independensi adalah karakter atau sifat yang menjadi semangat pergerakan. Ini berarti, PPMI selalu mendahulukan netralitas dan objektifitas dalam setiap geraknya sebagai kekuatan moral mahasiswa yang kritis terhadap perkembangan masyarakat dan bangsanya. Konsekwensi dari independensi ini adalah PPMI harus merdeka dari hegemoni pengaruh yang datang dari kelompok-kelompok tertentu, mulai dari komunitas primordialistik hingga partai-partai politik. PPMI harus tetap terjaga sebagai organisasi kemahasiswaan yang pro aktif dan produktif memberikan kritik konstruktif kepada siapa saja dalam rangka advokasi terhadap masa depan pencerdasan masyarakat.
Namun, heterogenitas organisasi di lingkungan PPMI menjadikan mahalnya harga independensi. Apalagi saat kita menyadari bahwa keberagaman organisasi-perkumpulan mahasiswa ini tidak terbatas pada organisasi-perkumpulan yang terdaftar di MPA PPMI saja. Berbagai perkumpulan yang anggotanya notabene mahasiswa ini berdiri dengan berbagai orientasi masing-masing. Tak akan menjadi soal bila orientasinya masih sejalan dengan semangat independensi PPMI. Akan tetapi, berbeda bila kenyataan berkata sebaliknya. Seperti misalnya perkumpulan-perkumpulan berorientasi politik praktis yang ada di lingkungan sekitar PPMI.
Suatu sore di April 2008, saya memperoleh selebaran berisi himbauan persiapan ujian. Sebuah logo dan nama partai politik bergambar bintang dan bulan tertera di bawahnya. Indikasi lain, sejak awal kedatangan di Cairo tepatnya tahun 2003 saya sudah banyak menyaksikan gambar bulan sabit kembar bertebaran di lemari dan pintu rumah-rumah mahasiswa anggota PPMI. Harus saya sadari ternyata apapun bentuknya, hal-hal tersebut adalah kampanye tak langsung partai politik yang terjadi begitu dekat dengan PPMI. Artinya, sudah sejak lama dan sudah sedemikian dalam independensi PPMI terkontaminasi. Akhirnya, independensi rentan menjadi lips service AD-ART tapi langka terejawantah dalam tataran praktis.
Jelang Pemilu 2009, meski genderang “perang” belum ditabuh, upaya-upaya kampanye “kreatif” parpol sudah mulai bisa disaksikan oleh kacamata kemahasiswaan kita. Tak terkecuali di lingkungan PPMI sendiri. Perkumpulan-perkumpulan afiliasi partai politik semacam PIP PKS dan yang lainnya sangat mungkin telah melakukan warming up jauh hari sebelum 2009. Wajar, karena 4000-an anggota PPMI adalah para pemilik hak suara yang sangat potensial.
Seperti dijamin UU Negara kita, Pemilu 2009 merupakan pesta demokrasi yang sangat berkaitan dengan hak dan peran para anggota PPMI sebagai warga negara. Maka, sebagai organisasi mahasiswa, PPMI secara integral tidaklah alergi politik. PPMI sejatinya bisa berperan dalam politik moral secara elegan. Politik PPMI adalah politik ekstra-parlementer yang senantiasa mengawal kinerja kekuasaan. Politik PPMI adalah high politics pada tataran nilai perbaikan bangsa bukan low politics atau politik praktis.
Belajar dari sejarah, Forkot (Forum Kota) organisasi revolusioner di Jakarta akhirnya ‘gulung tikar’ pasca kekalahan parpol yang mereka usung, PRD di Pemilu 1999. CGMI, organisasi sayap mahasiswa PKI ‘habis’ setelah kekalahan PKI pasca Orde Lama. Bagi PPMI, independensi tidak bisa ditawar lagi.
Independensi bagi kita bukanlah sikap apriori atau tidak mau tahu, juga bukan sikap berdiam diri tanpa argumentasi. Tapi, independensi bagi kita adalah kejelasan pendirian dan pilihan sikap dengan sokongan alasan yang argumentatif. Maka, independensi bukan sikap ikut-ikutan, bukan sikap kosong yang turut instruksi atasan. Independensi teraktualisasikan pada kesadaran diri dalam memilih antara berdiam diri atau mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) tanpa bis jemputan, tanpa sms seruan, tanpa iming-iming bayaran.
Lebih lanjut, ada sebuah tanggung jawab yang dipikul PPMI terkait dengan Pemilu nanti. PPMI memiliki peran untuk memberikan pencerahan tentang partisipasi politik anggotanya dalam pemilu. Hal ini bisa diimplementasikan melalui pelayanan publik untuk informasi pemilu, pengenalan tentang identitas partai-partai politik dan lain sebagainya. Sehingga dalam konteks pemilu sekalipun, PPMI tetap bisa merefleksikan semangat independensinya. Karena independensi selain milik PPMI sebagai sebuah organisasi, juga milik setiap anggota – mahasiswa yang tak akan lama lagi berkiprah sebagai agen of change dan moral force di tengah masyarakat. Salam independensi PPMI!
*) Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo, anggota PPMI, sedang diamanahi sebagai nahkoda Pwk. Persis Mesir 2008-2009.

Islamic Violence dan Advokasi PERSIS*

Oleh : Rashid Satari**

Tulisan ini terinspirasi artikel Shiddiq Amien, MBA dalam Risalah edisi November 2001. Tulisan yang mengekspresikan kegelisahan penulisnya tersebut secara implicit terlebih dulu menggugat definisi "teroris" yang saat ini semakin paradoks. Pasca tragedi kemanusiaan Hirosima dan Nagasaki enam dasawarsa silam, terma ini semakin mengalami penyempitan makna dan mereduksi.

Hingar bingar gerbang abad milennium menjadi saksi bisu di mana terorisme menjadi stigma buruk atas Islam. Tragedi 11 September 2001 atas World Trade Center (WTC), bom Madrid, bom Legian Kuta Bali menjadi rentetan kelam tentang skenario kekerasan atas kemanusiaan. Di tengah kosmologi pengertian terorisme yang semakin kabur, world view digiring kepada satu wacana yang disepakati hampir separuh warga dunia; Islam adalah biang keladi kekerasan!

Beberapa naskah artikel menunjukan ketegasan sikap Persatuan Islam (Persis) atas kekerasan. Persis merupakan ormas Islam yang sejak 1923 konsisten menjunjung tinggi purifikasi nilai-nilai ke-Islaman dari berbagai parasit akidah seperti syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul juga dari berbagai infiltrasi pemikiran-pemikiran kontemporer mulai dari liberalisme hingga sekularisme. Bagi Persis, kekerasan dalam segala bentuknya tidaklah bisa diamini sebagai aktualisasi pembelaan atas prinsip hidup. Al Quran menegaskan perdamaian sebagai ajaran, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” [QS. Fushilat : 34-35].

Violence (kekerasan) menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kemanusiaan. Berbagai kitab samawi sejak Taurat hingga Al Quran telah merekam dengan baik bagaimana kekerasan dimulai sejak awal mula peradaban manusia yang direpresentasikan oleh Habil dan Qabil. Drama kekerasan terus berlangsung di atas panggung sejarah kemanusiaan berabad-abad setelahnya, darah Ahlul Bait di Karbala Nainawa, 80.000 korban tentara Salib di Jarusalem dan prahara Timur Lenk hanyalah beberapa diantaranya. Satu yang perlu digarisbawahi dari berbagai tragedi tersebut adalah bahwa terdapat berbagai latarbelakang di balik layar kekerasan. Latarbelakang itu tidak bisa digeneralisir karena alasan dogmatik agama belaka, melainkan juga berbagai alasan lain seperti tekanan ekonomi, sosial dan politik.

Sedikit surut ke belakang, dinamika kekerasan akhirnya menemui terminologi baru yang khas sebagai sebuah paham (isme) seperti terorisme. Di abad ke 19, Erick Morris sempat mendefenisikan terorisme sebagai tindakan pemberontakan melawan negara. Namun, defenisi ini diartikulasikan secara absurd tergantung kepentingan, siapa subjek dan objek. Kondisi ini mempersulit pemetaan antara tindak kekerasan dan pembelaan diri. Terorisme menjadi sedemikian subjektif dan seringkali diskriminatif. Akan tetapi bila dicoba sejenak berposisi moderat dengan menyepakati terorisme atau kekerasan sebagai segala tindakan mengancam dan menebar ketakutan kepada masyarakat maka benang kusut terorisme akan longgar terurai. Khususnya dalam rangka membersihkan Islam dari stigma buruk terorisme.

Terorisme tidak selalu identik dengan doktrin keagamaan, namun bisa juga latarbelakang kohesi sosial yang tak sehat. Tragedi organisasi Ku Klux Klan di Amerika Serikat bisa dijadikan sampel. Organisasi sentimentil ras ini berdiri di tahun 1860-an pasca kebijakan presiden Abraham Lincoln yang mengakhiri era perbudakan. Meski awalnya organisasi ini bertujuan membela supremasi warga kulit putih sebagai komunitas masyarakat kelas satu di tengah berkembangnya fenomena peningkatan taraf hidup warga kulit hitam, Ku Klux Klan akhirnya bermetamorfosa menjadi organisasi pembunuh. Diperkirakan, pada dekade 1980-an organisasi ini telah membantai puluhan ribu kulit hitam.

Andaipun agama diasumsikan sebagai latarbelakang kekerasan maka besar kemungkinan ada motif lain mendahuluinya. Kekerasan karena agama terjadi dalam persengketaan sengit Katholik dan Protestan yang menjadi cacat bangsa Eropa di abad ke-17. Adapun peperangan pasukan Salib dengan kaum muslimin akan bermuara pada latarbelakang sentimen politik ambisi Nashrani eropa menguasai Jarusalem. Sebagaimana ambisi Gold, Glory dan Gospel mereka dalam ekspedisi melintasi Tanjung Harapan di Afrika yang menjadi awal imperialisme di negara-negara dunia ketiga .

Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa banyak hal berpotensi menjadi latarbelakang kekerasan. Selain itu, ada penegasan eksplisit bahwa dibutuhkan objektifitas dalam menilai kekerasan. Pada poin ini ada perbedaan prinsipil antara tindak kekerasan (terorisme) dengan tindak pembelaan diri. Hal ini terkait langsung dengan stigmatisasi sistemik yang disematkan pada Islam sebagai agama kaku dan berhaluan kekerasan dalam ajarannya. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Qs. Al-Baqarah; 190].

Inilah yang terjadi pada tragedi pembunuhan Anwar Sadat. September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Gerakan Jamaat Jihad kemudian terbentuk di dalam penjara. 6 Oktober 1981, gerakan yang berpegang pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah” - nya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat. Tragedi ini membuktikan bahwa dalam berbagai kasus, keterlibatan pihak muslim lebih bermotif pembelaan diri dalam kondisi yang tertekan. Dan, ini bukanlah terorisme.

Bagi Persis sebagai gerakan tajdid, Islam yang lurus dan damai haruslah selalu dijaga dan direkonstruksi dari kontaminasi penafsiran miring tentang medium da’wah. Bahwa Islam memiliki kearifan dalam konsepsi Jihad yang tak hanya diartikulasikan sebagai gerakan kekerasan, emosional, intoleran bahkan anarkis. “Sesungguhnya tidaklah Kami mengutus kamu kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” [Qs. Al-Anbiyâ’; 107].

Sebagai catatan akhir, mengutip Gustav La Bon, “Islam tidak pernah menggunakan kekerasan sebagai medium syiar-nya karena memang Al Quran tidak pernah mengajarkannya kecuali kedamaian berda’wah. Dan kedamaian da’wah inilah yang berhasil memikat Turki dan Mongol untuk memeluk Islam” [1969].

*) Dimuat dalam buletin Al-Furqan milik Pwk. Persis Mesir, edisi Agustus 2008
**) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008 - 2009

Kanibalisme Fundamentalis dalam Perspektif*

Oleh : Rashid Satari**

Kanibalisme (kekerasan kemanusiaan) hampir saja mengalahkan menu sarapan pagi kita. Kanibalisme adalah satu potret hidup manusia yang unlimited atau madal hayah. Darah Ahlul Bait di Karbala Nainawa, puluhan ribu korban Richard the Lion di semenanjung Yarusalem Palestina, prahara Timur Lenk, korban-korban nyawa di Poso dan Legian Kuta Bali, hingga kisah Ryan sang penjagal di pertengahan 2008, cukup menjadi bukti tentang kanibalisme yang terus terjadi hingga hari ini.

Hal lain, Hamid Fahmi Zarkasyi dalam sebuah kolom pernah bercerita. Di pinggir jalan Manchester ada sebuah papan reklame besar bertuliskan "It's Like Religion". Kalimat ini rupanya menjadi iklan sebuah klub bola terkaya sejagad, Manchaster United (MU). Reklame dengan gambar seorang pemain bola berlatarbelakang ribuan supporter fanatiknya. Secara implisit reklame ini mengatakan bahwa MU is like religion.

Religion (agama) dalam terminologi barat mengalami reduksiasi. Sebagaimana absurdnya makna "Tuhan" dalam paradigma mereka. Yesus diklaim suci meski ia tidak pernah mendeklarasikan kesuciannya apalagi pendeklarasian sebagai Tuhan. Professor al-Attas menjelaskan bahwa konsepsi non-muslim barat tentang Tuhan sudah bermasalah sejak awal sehingga terus direkayasa agar bisa diterima akal manusia.

Kerancuan konsep Religion dan God hanya satu sampel tentang kerancuan persepsi barat dalam kajian transedental. Kerancuan ini memberikan efek yang elementer terhadap konsepsi lain yang muncul kemudian. Salah satunya adalah terma "fundamentalism".

Beberapa kasus kekerasan yang terjadi beberapa waktu terakhir ini banyak sekali dikaitkan dengan fundamentalisme terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai agama.

Kalau kita telusuri maka kita tak akan menemukan akar istilah fundamentalisme dalam khazanah dunia Islam, akan tetapi ini akan kita temui dalam terminologi Kristen. Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), M. Said al-Asymawi berpandangan bahwa fundamentalisme muncul sebagai resistensi atas modernisasi yang terjadi dalam ajaran Kristen. Purifikasi yang diupayakan beberapa kalangan kemudian digolongkan sebagai sikap fundamentalis. Sikap yang menghendaki konsistensi terhadap nilai-nilai transeden lama secara literal.

Agung Primamorista dalam makalahnya “Meluruskan Kerancuan Istilah Fundamentalisme Islam” menambahkan bahwa Fundamentalisme lahir pertama kali dari gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh di abad 19 M. Gerakan fundamentalisme Kristen ini akhirnya terlembagakan pada abad ke - 20. Lebih jauh, Agung memaparkan bahwa gerakan Kristen ini adalah bagian dari gerakan Gerakan Milenium. Sebuah gerakan yang memahami teks Injil secara literal dan meyakini kembalinya Al Masih secara fisik ke muka bumi.

Perkembangan terma ini akhirnya menyeret “fundamentalisme” pada semua kelompok gerakan yang berkarakter cenderung ekstrim, tegas dan keras dalam menginterpretasikan ideologinya. Kalangan muslim yang memiliki karakter berfikir dan bertindak seperti itupun terkena stigma ini. Maka, muncullah istilah baru, fundamentalime Islam. Namun, tetap harus digarisbawahi bahwa Islam tidak mengamini “fundamentalisme” sebagai produk khazanah pemikirannya. Maka tak heran ketika Abid Al Jabiri berpendapat Fundamentalisme sebagai padanan kata bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al Afghani. Istilah ini dicetuskan karena bahasa Eropa tidak memiliki perbendaharaan kata yang cukup untuk padanan “Salafiyyah”.

Dari dua paragraf terakhir kita bisa menyimpulkan bahwa penyematan fundamentalisme terhadap Islam tidaklah relevan. Bahkan secara historis, fundamentalisme dan Islam adalah dua hal yang berbeda secara diametral.

Sayang, media dunia seakan memperoleh kesempatan strategis pasca kekerasan-kekerasan beberapa tahun terakhir. Pengeboman di Legian Kuta Bali, tragedi 11 September atas World Trade Center (WTC), pengeboman Madrid dan lain sebagainya menjadi rekaman manis upaya stigmatisasi negatif. Apalagi ternyata eksekutor bebarapa peristiwa terbukti dari kalangan muslim. Maka, fundamentalisme Islam seakan muncul tanpa dipaksakan. Lebih parah lagi, wacana dunia kemudian mengalami penyempitan paradigma. Muslim dunia terkejut karena tiba-tiba “fundamentalisme” hanya ditohokkan pada umat Islam. Bahkan, istilah ini menjadi sangat defenitif dengan aksi-aksi terorisme. Akibatnya, dengan mudah aktifitas-aktifitas kaum muslimin dicurigai dan diintimidasi meski sekedar aktifitas-aktifitas kepesantrenan. Efek mikronya, jadilah “sarang teroris” seperti yang diucapkan Lee Kuan Yew, menjadi gelar baru bagi Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim.

Tentang kekerasan dan terorisme, seharusnya kedua hal ini dipahami secara objektif sembari mempertimbangkan aspek sosio - politik hitoris yang melatarbelakanginya. Pembunuhan Anwar Sadat misalnya. September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Gerakan Jamaat Jihad kemudian terbentuk di dalam penjara. 6 Oktober 1981, kelompok yang berpegangan pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah” karya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat. Beberapa sampel kasus lain menunjukan bahwa tidak kekerasan, terorisme hingga yang terkategori kanibalisme muncul dari kondisi tertekan. Lebih lanjut, tindakan-tindakan ini samasekali tidak bisa diidentikan secara buta dengan fundamentalisme.

Apalagi bila kita pinjam definisi Frans Magnis Suseno tentang Fundamentalisme sebagai sebuah pandangan teologis atau penghayatan keagamaan di mana seseorang mendasarkan seluruh pandangan-pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya, pada ajaran eksplisit agamanya. Maka, terorisme – kanibalisme bukanlah efek dari fundamentalisme. Seorang fundamentalis sejatinya memahami bahwa agama mengajarkan nilai-nilai kedamaian dan kemanusiaan. Bahwa agama tidak mengamini kekerasan, aksi terror, tindak kanibalisme.
*) Dimuat dalam buletin Al-Furqan milik Pwk. Persis Mesir edisi Agustus 2008
**) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008 - 2009

Paradoks Ramadhan*

Oleh : Rashid Satari**

“300”, sebuah film kolosal sekaligus kontrofersial yang sukses mendemonstrasikan eksotisme seni berperang. Anda yang pernah menikmati film ini tentu bisa melihat langsung bagaimana perisai menjadi senjata yang sangat efektif bagi pasukan kecil Sparta saat menghadapi kedigdayaan pasukan Persia dalam pertempuran di Thermopylae pada tahun 480 SM. Di tempat lain, nun jauh di angkasa sana Stratosfer menjadi bagian penting Atmosfer yang melindungi bumi dari bahaya ultraviolet (UV), sinar X dan sinar gamma. Atmosfer menjadi perisai untuk bumi. Dua ilustrasi tadi cukup memberikan gambaran buat kita tentang fungsi penting perisai sebagai self defence.
Maka, analogi puasa sebagai perisai yang disuguhkan Muhammad Saw dalam sebuah haditsnya sangatlah sarat makna. “Puasa adalah perisai dari api neraka seperti perisainya seseorang di antara kamu dalam perang” (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban). Bila diinterpretasikan, perisai ini bisa bermakna ganda baik itu hakiki maupun majazi. Konsekwensi logis dari puasa bagi pelaksananya adalah penghindaran diri dari tindakan dan ucapan dosa. Selain itu, di beberapa negara maju puasa juga terbukti ampuh sebagai metode pengobatan alternatif. Satu lagi, sejarah mencatat bahwa Ramadhan telah menjadi saksi untuk kemenangan umat Islam di Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi di abad ke-7 Hijriyah. Betapa hebat ibadah puasa di bulan Ramadhan hingga kemenangan-kemenangan tersebut Allah abadikan dalam salah satu ayat surah Al Anfâl.
Ada rahasia yang harus kita kuak terkait dengan kemenangan-kemenangan yang nyaris terkategori sebagai keajaiban di atas. Kemenangan umat Islam secara heroik hingga bisa menjadi satu peradaban tangguh tidak kita temukan lagi hari ini meski telah melalui beratus-ratus kali Ramadhan. Mari sejenak berkontemplasi, salah satu keistimewaan ramadhan adalah saat di mana Al Quran sebagai pegangan hidup manusia diturunkan. Dalam salah satu ayat-Nya Allah merekomendasikan ramadhan sebagai waktu yang tepat untuk akselerasi amal mencapai derajat Taqwa. Sebuah derajat yang dijanjikan berbuah kebahagiaan dan kemenangan. Maka, sangat mungkin kebahagian dan kemenangan itu semakin utopis saat Al Quran hanya menjadi bacaan tanpa implementasi.
Sejatinya puasa menjadi pendidikan dalam membangun kualitas SDM umat Islam. Shalat semestinya menjadi tiang penyangga keyakinan. Pun seharusnya zakat dan shodaqoh menjadi stimulan bagi kebangkitan ekonomi masyarakat. Semua ini akan tetap terjadi saat Al Quran benar-benar vital sebagai pegangan, bukan sekedar pajangan. Lebih mengerucut lagi, semua itu akan tetap berlangsung bila ramadhan benar-benar dihayati dengan kesungguhan, dalam arti ramadhan yang sarat pengamalan nilai-nilai Al Quran.
Ramadhan merupakan bulan yang padat aktifitas ibadat. Dan, di saat yang sama Allah menjanjikan balasan berkali lipat. Tak heran, kita bisa dengan mudah merasakan dan menyaksikan langsung adanya peningkatan yang tajam dalam aktifitas ibadah. Masjid-masjid menjadi sesak setiap subuh dan malam. Muzakki berdatangan, mustahiq pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Langit menjadi meriah dengan lantunan Al Quran. Takbir bergenta penuh selama satu bulan.
Namun, siapa sangka ternyata banyak fenomena kontraproduktif terjadi selama ramadhan. Sebagai sampel, ramadhan diproyeksikan sebagai waktu yang tepat melatih kepekaan sosial, kepedulian dan kesederhanaan. Aktifitas puasa memungkinkan penurunan anggaran belanja harian. Tapi, sosial empirik membuktikan yang terjadi adalah sebaliknya. Ada peningkatan aktifitas belanja masyarakat di bulan ramadhan. Dan, semakin melejit tajam menjelang akhir ramadhan. Seperti informasi dari Bank Mandiri Surabaya, ada peningkatan penggunaan kartu kredit sebesar 15 % di ramadhan 1428 H. Tak ayal, Iedul Fitri pun menjadi ajang show power kekuatan ekonomi. Baju, sepatu, kerudung, dan berbagai aksesori baru menjadi jauh lebih penting ketimbang apa yang ada dibaliknya. Setiap tahun ini berlangsung, maka setiap tahun ramadhan berakhir hampa. Terbukti, pasca ramadhan masjid-masjid hanya diisi beberapa shaf saja saat subuh dan isya. Tilawah Al Quran dan aktifitas berderma mendapat nasib tak jauh beda.
Paragraf di atas secara implisit menunjukan bahwa bila ramadhan berlangsung tanpa penghayatan maka rentan melahirkan manusia-manusia konsumtif dan materialis. Pelipatgandaan pahala menjadi motivasi utama ibadah. Maka, tak heran ramadhan tidak berbekas di bulan-bulan berikutnya. Mustahiq bermunculan tanpa mengindahkan pertimbangan bahwa Islam mengamini tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Peningkatan gairah belanja memperlebar peluang tindak kejahatan. Di penghujung ramadhan, perhatian masyarakat terkonsentrasi pada materiil dan lupa pada hikmah agung I’tikaf dan rahasia sepuluh hari terakhir.
Sejatinya, ramadhan adalah madrasah. Ramadhan menjadi arena pendidikan rohani (tarbiyah ruhiyah), pendidikan intelektual (tarbiyyah fikriyyah), pendidikan jiwa dan mental (tarbiyah nafsiyah), pendidikan jasmani (tarbiyah jasadiyah), pendidikan ekonomi (tarbiyah maaliyah), dan pendidikan sosial (tarbiyah ijtima’iyah). Kesemua ini ada dalam ramadhan seakan membentuk satu kurikulum pendidikan khusus program satu bulan. Seorang anak didik akan bisa lulus dari madrasahnya bila berhasil melalui program pendidikannya dengan baik. Seperti itu pula seorang pelaksana puasa. Terdapat relasi elementer di antara puasa ramadhan dengan peningkatan kualitas kemanusiaan seseorang. Relasi ini akan menjadi sangat diametral bahkan kontradiktif bila rentetan pendidikan ini tidak dilakoni dengan kesungguhan.
Seperti 300 pasukan Sparta atau seperti Stratosfer, dibutuhkan kesungguhan agar perisai itu berfungsi sebagaimana mestinya. Semoga!

*) Dimuat dalam majalah La Tansa milik IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor cabang Cairo, edisi XI / Ramadhan 1429 H.

**) Mahasiswa S1 Universitas Al Azhar Cairo. Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008-2009.



Roman Agustusan*

Oleh : Rashid Satari**
Merdeka! Merdeka? Agustusan selalu berlalu secara eksotis. Bagi Republik Indonesia, agustusan sudah menjadi pesta tahunan. Berlembar-lembar, berkarung-karung rupiah seakan tak jadi soal demi menutupi anggaran agustusan. Meski anggaran tersebut sekedar untuk membiayai pembuatan kain bendera, reklamasi upacara, batang pinang, karung, hingga membayar panggung dangdutan. Keceriaan-keceriaan simbolis sebagai bukti bahwa bangsa ini mensyukuri kemerdekaannya.
Merdeka! Merdeka? Agustusan memang selalu eksotis. Pemerintah tak pernah lupa selalu menghimbau masyarakat untuk sejenak mengheningkan cipta pada pukul 09.30 di tanggal 17 Agustus. Dimanapun dan apapun aktifitas masyarakat saat itu. Mengheningkan cipta sebagai kesetiaan yang (lagi-lagi) simbolis tentang ketertautan hati dengan jalan Pegangsaan Timur 56 pada jam yang sama puluhan tahun yang lalu.
Simbol-simbol. Ternyata kita memang selalu butuh simbolisasi. Simbol sebagai tugu. Simbol sebagai peringatan untuk manusia-manusia yang lemah yang mudah lupa. Lupa akan jadwal, janji bahkan sumpah. Berkali-kali terjadi, kitab suci tidak lagi dihargai pasca pengikraran sumpah dan janji-janji. Sumpah pada pertiwi, sumpah atas jabatan, sumpah atas kesetiaan.
Seperti sumpah setia yang disimbolisasi pada upacara-upacara bendera. Seperti sumpah setia yang disimbolisasikan dengan lantang syahdu Indonesia Raya, Padamu Negeri, Hari Merdeka atau Garuda Pancasila. Agustusan selalu eksotis. Setahun sekali, segenap penghuni republik ini serempak mengumandangkan sumpahnya perlambang janji dan sumpah setia pada bumi pertiwi.
Tak lama kemudian, eksotisme Agustusan akan berlanjut secara dramatis. Tidak semua mengerti akan simbol-simbol. Tidak semua bisa menghayati dan mengelaborasi janji-janji. Bahkan, tidak semua bisa konsisten dengan komitmen sumpah-sumpah. Seperti spontanitas yang tersurat dalam lemparan dua botol air mineral saat penampilan band dalam rangka peringatan kemerdekaan di City Gym Nasr City kemarin lalu. Lebih mengerikan lagi, banyak juga komponen bangsa ini yang tak menghargai simbol-simbol. Manipulasi para jaksa, korupsi para penguasa, jual beli hukum dan suap-menyuap antar pengusaha dengan aparat negara terus berulang pra dan pasca peringatan kemerdekaan. Penyakit kronis yang menahun terjangkit pada para pria tambun berdasi-berpeci yang setiap tahun, yang setiap minggu mengangkat tangan hormat pada bendera di lapangan upacara.
Agustusan selalu eksotis. Agustusan selalu dramatis. Sia-sialah segepok anggaran negara. Mubazirlah keringat para pasukan paskibraka. Tak berarti mengheningkan cipta. Menjadi pilu nada-nada Indonesia Raya. Semakin sepuh dan rapuh sang Garuda. Merdeka hanya jadi fatamorgana.
63 tahun yang lalu semua elemen bangsa punya motivasi yang satu saat melantangkan kata Merdeka. Namun tidak untuk hari ini. Saat kepala negara, jajaran menteri, abdi dalem istana, dan wakil-wakil rakyat berteriak “merdeka!”, di saat yang sama para jurnalis, mahasiswa, rakyat jelata, kaum miskin kota, generasi bangsa tanpa seragam sekolah bertanya-tanya; “Merdeka?”.
*) Dimuat dalam buletin Al-Furqan milik Pwk. Persis Mesir, edisi Agustus 2008.
**) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008-2009

PERPUSTAKAAN RUMAH DAERAH*

[Menggagas Paru-paru Dinamika Berbasis Pustaka]

Oleh : Rashid Satari**

Prolog
Rumah daerah adalah anugerah. Keberadaannya kini telah memenuhi separuh dari impian masisir yang sejak lama mendambakan arena privacy sebagai penunjang aktifitas studi. Adapun separuh impian lagi terletak pada bagaimana keberadaannya kini dikelola sehingga tetap berada dalam idealisme awal yaitu sebagai sarana penunjang studi.

Namun, apa yang dikhawatirkan berbagai kalangan atas dampak negatif rumah daerah sebagaimana tercantum dalam TOR Lokakarya beberapa waktu ke belakang, rupanya tidak bisa dinafikan. Rumah daerah terbukti belum benar-benar berfungsi optimal sebagai pendukung studi mahasiswa kita. Kekhawatiran yang terangkum dalam TOR itu memperoleh relefansinya ketika belum tersusunnya konsep yang jelas dan aplikatif guna optimalisasi kedelapan rumah daerah yang saat ini ada.

Tidak bisa dipungkiri memang bahwa rumah daerah juga menuntut konsekwensi ongkos perawatan yang tidak murah. Maka tak heran bila hampir dari seluruh rumah daerah yang ada difungsikan juga sebagai lahan perputaran ekonomi seperti penginapan dan jasa penyewaan aula. Sejatinya, fenomena ini semestinya tidak lantas membelokkan orientasi awal rumah daerah. Apalagi ketika efeknya juga berimbas pada aktifitas mahasiswa ketika mereka lebih terkonsentrasi pada pengelolaan rumah daerah ketimbang pemanfaatannya sebagai pendukung prestasi studi.

Kurang lebih hal ini pula yang menjadi latarbelakang menguapnya ide memfungsikan rumah daerah sebagai kelas-kelas kuliah. Seperti diketahui bersama bahwa ide ini sempat muncul langsung dari KBRI melalui Duta Besar RI untuk Mesir, Abdurrahman Muhammad Fachir. Namun, opsi ini relatif memicu munculnya riak-riak resistensi dari para pengelola rumah daerah karena tentunya pengalihfungsian ini menginvestasikan konsekwensi atau resiko-resiko lain. Salah satunya adalah bagaimana dengan resiko biaya perawatan, siapa yang akan menanggungnya? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lain yang tak kalah pelik. Walaupun sebenarnya hal ini masih sangat mungkin untuk dikompromikan tanpa harus memicu kontradiksi persepsi.

Untungnya, semua pihak termasuk para mahasiswa pengelola rumah daerah pada prinsipnya sepakat dengan sebuah semangat yang mengumandangkan optimalisasi atau peningkatan efektifitas rumah daerah sebagai penunjang studi. Namun, belum ada formula mujarab yang bisa diterapkan untuk membumikan idealisme itu. Perhatian penulis kemudian mengarah pada keberadaan perpustakaan yang ada hampir di setiap rumah daerah.

Perpustakaan adalah aset yang sangat potensial bagi peningkatan kualitas keilmuan mahasiswa. Indikasinya, kehadiran PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo) sangat membantu pemenuhan kebutuhan mahasiswa untuk menunjang aktifitas studinya. Akan tetapi, dengan persediaan buku yang melimpah, PMIK masih belum maksimal memenuhi kebutuhan mahasiswa yang demikian besar. Ini menunjukan betapa perputakaan sangat dibutuhkan. Maka dari itu, keberadaan berbagai perpustakaan di rumah-rumah daerah tentu saja akan menjadi hal yang sangat menguntungkan bagi aktifitas studi mahasiswa kita. Namun, sudahkah hal itu terwujud?

Oleh karenanya, untuk mengurai dan memetakan paparan di atas, kita bisa menstimulasinya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Bagaimanakah mengoptimalkan potensi edukatif yang dimiliki rumah daerah? Mengapa harus berawal dari perpustakaan? Sudahkah perpustakaan yang ada sementara ini, memenuhi kebutuhan masisir? Bagaimana efek yang muncul bila perpustakaan dikonsentrasikan juga di rumah-rumah daerah? Dan pertanyaan yang tak kalah penting adalah bagaimana selanjutnya pengelolaan perpustakaan rumah daerah sebagai aset potensial?

Potensi Umum Rumah Daerah
Penting untuk kita ketahui bagaimana seluk beluk rumah daerah yang ada sementara ini. Dari beberapa rumah daerah yang ada, kesemuanya mengamini bahwa keberadaaanya tidak lain adalah sebagai penunjang prestasi studi mahasiswa Indonesia di Mesir. Khususnya bagi para putera daerah terkait.

Sebagai sampel adalah apa yang tertulis dalam Rencana Umum Pengadaan fasilitas Pasangrahan Jawa Barat (KPMJB) di Mesir tahun 2007-2008 yang menyatakan bahwa rumah daerah tersebut memiliki tiga fungsi. Pertama, Fungsi Dasar yaitu sebagai pusat aktifitas organisasi mencakup aktifitas pendidikan, dakwah, sosial dan budaya. Kedua, Fungsi Sosial yaitu sebagai tempat berkumpul dan silaturahmi masyarakat Jawa Barat di Mesir khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum. Ketiga, Fungsi Ekonomi yaitu sebagai lahan penggalian dana dan usaha untuk menutupi biaya operasional dan perawatan bangunan. Khusus terkait fungsi pertama, sebagaimana diamini pengelolanya (direktur) Pasangrahan Jawa Barat juga memiliki sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang cukup banyak meski keberadaannya belum terkelola secara maksimal.

Senada dengan Pasangrahan Jawa Barat, demikian juga dengan Meuligoe (rumah daerah) KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh) di Cairo. Pengelolaan rumah daerah yang ditangani langsung oleh pengurus organisasi ini mennyetujui bahwa sarana yang mereka miliki adalah sebagai penunjang studi. Oleh karenanya, rumah daerah ini lebih difungsikan sebagai arena belajar dan peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) KMA. Sebagai contoh adalah dengan pengelolaan perpustakaan rumah daerah secara serius, penyelenggaraan acara-acara edukatif seperti bimbingan belajar bagi mahasiswa baru, try out, bedah buku, bedah tesis dan lain sebagainya. Upaya-upaya tersebut cukup membuahkan hasil yang diindikasikan dengan kelulusan hampir semua anggota KMA yang berdomisili di kawasan Mathariyyah (berjumlah mencapai 70 orang) tahun ini.

Dan, sebagai wujud keseriusan KMA menjadikan Meuligoe sebagai sentral edukasi anggota, KMA memaksimalkan fungsi edukatif dari Meuligoe ini dengan tanpa kebijakan penyewaan. KMA memprioritaskan keberadaanya sebagai sarana belajar, serta memberikan kemudahan bagi siapa saja yang berminat meminjam atau memanfaatkan aula sebagai lokasi aktifitas studi.

Seperti halnya yang terjadi di Pasangrahan Jawa Barat dan Meuligoe Aceh, demikian juga dengan Baruga Sulawesi. Baruga memiliki fungsi utama sebagai wahana pengembangan keilmuan dan prestasi akademik, serta pengembangan seni dan budaya. Untuk mengimplementasikan hal itu, KKS (Kerukunan Keluarga Sulawesi) sebagai pengelola Baruga, mengalokasikan sarana yang dimiliki ini untuk peningkatan kualitas SDM anggotanya seperti memberikan keleluasaan pemakaian kepada setiap almamater yang berada di dalam lingkup Sulawesi. Indikasi yang lain adalah adanya Fordis (Forum Studi Sulawesi) yang menjadikan Baruga sentral aktifitasnya. Aktifitas forum ini adalah diskusi materi-materi kuliah. Selain itu, sebagai implementasi dari idealisme Baruga, pengurus KKS periode saat ini (2007-2008) memberikan porsi yang sangat besar terhadap program kajian ilmiah dibandingkan program seni atau olahraga. Hal ini dilakukan mengingat bahwa dinamika Baruga sebagai penunjang studi, berbanding lurus dengan program-program yang dicanangkan dewan pengurus organisasi KKS.

Berawal dari Perpustakaan
“Perpustakaan adalah gudang ilmu, bukan gudang buku!” [Ander Gunawan:2008]. Sebuah pernyataan yang memberikan penegasan tentang peran dan fungsi perpustakaan sebenarnya.
Beberapa abad yang lampau, tepatnya di antara fatrah waktu tahun 750 hingga 1258, Dinasti Abbasiyyah yang tengah memimpin umat Islam dunia, dikaruniai para filusuf dan ilmuwan. Usut punya usut, ternyata kala itu khalifah seperti Al Mansyur (754-775) sangat peduli dengan keberadaan perpustakaan. Kepeduliannya yang tinggi ini ditunjukan dengan keterlibatan langsung dirinya dalam pengelolaan dan pengawasan perpustakaan. Aktifitas penulisan, pengoleksian dan penerjemahan berlangsung baik. Ia juga membangun gedung khusus yang kemudian menjadi cikal-bakal Baitul Hikmah yang dibangun oleh Al Ma’mun (813-833), putera Harun Al Rasyid. Baitul hikmah kemudian menjadi perpustakaan besar dengan segala aktivitas intelektualnya. Sebelum dibumihanguskan oleh pasukan Mongol (1258), koleksi buku-buku di perpustakaan Baghdad kala itu mencapai 400 hingga 500 ribu buku.

Penggalan sejarah di atas menjadi salah satu bukti adanya korelasi yang kuat antara keberadaan perpustakaan dengan kemajuan masyarakat. Tak terkecuali bagi komunitas mahasiswa seperti mahasiswa Indonesia di Mesir (masisir). Perpustakaan hadir sebagai penyedia bahan-bahan referensial bagi aktifitas-aktifitas akademis-intelektual. Oleh karenanya, perpustakaan menjadi keniscayaan bagi mahasiswa.

Sebuah motto berbunyi “perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan” masih diakui banyak orang. Namun mencari relefansinya secara empirik dengan kenyataan di tengah-tengah masyarakat kita bukanlah hal yang mudah. Apalagi hal ini disambut dengan laporan UNDP tahun 2003 tentang minat baca masyarakat Indonesia yang menyebutkan bahwa dari 41 negara yang diteliti ternyata Indonesia menempati peringkat ke-39. Kenyataan ini layak membuat kita mengelus dada karena rupanya walau laporan UNDP ini telah berusia lima tahun, masyarakat masih belum banyak berubah. Minat baca masyarakat kita masih rendah.

Bila dianalisa lebih lanjut maka masalah minat baca ini tentu dipengaruhi banyak faktor mulai dari ekonomi, kurikulum pendidikan dan lain sebagainya termasuk faktor perpustakaan. Sebagai contoh, dalam sebuah blog, seorang mahasiswa mengekspresikan keprihatinannya atas nasib perpustakaan Indonesia. Ibnu Adam Aviciena, sang pemilik blog menuliskan pengalamannya di tahun 2001 semasa masuk kuliah di IAIN Serang. Rasa haus akan buku-buku saat itu selalu saja terpenggal oleh ketidaktersediaan buku di perpustakaan kampusnya itu. Akhirnya, selama empat tahun kuliah di sana, hanya beberapa kali saja ia berkunjung ke perpustakaan. Dalam pengamatannya, selama empat tahun tidak ada perkembangan buku yang berarti berlangsung di sana.

Kondisi yang kontras ia rasakan saat ia akhirnya berkesempatan mengecap dunia kampus di Universitas Leiden Belanda. Universitas ini dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan yang tak hanya menyediakan buku-buku saja akan tetapi juga melengkapinya dengan layanan internet dan perpustakaan digital. Koleksi bukunya pun terdiri dari buku lama hingga buku baru. Lebih mengagumkan lagi ternyata itu baru perpustakaan universitas, artinya masih banyak perpustakaan-perpustakaan setingkat fakultas.

Sekali lagi, paparan di atas menegaskan kembali potensi perpustakaan sebagai parameter kemajuan masyarakat. Hal ini berlaku pula ketika dikontekstualisasikan ke dunia masisir. Seiring perkembangan kualitas maupun kuantitas masisir dari tahun ke tahun, keberadaan perpustakaan menjadi hal yang determinan. Hal ini sejatinya semakin bisa terpenuhi apalagi ketika kini hadir berbagai rumah daerah di tengah-tengah masisir. Karena bukankah latar belakang keberadaan rumah daerah ini adalah sebagai penunjang prestasi studi masisir.

Kampanye Perpustakaan Rumah Daerah
Sedikit mengulas pembukaan tulisan ini, bahwa perpustakaan adalah faktor determinan prestasi studi mahasiswa. Keberadaan Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo (PMIK) yang dilengkapi dengan 5500 koleksi buku (3500 buku berbahasa Arab, 1500 buku berbahasa Indonesia dan 500 buku berbahasa Inggris) ternyata masih belum cukup menutupi kebutuhan masisir yang jumlahnya mencapai 5083 orang akan bahan bacaan. Terlebih lagi bila disesuaikan dengan peningkatan kuantitas masisir setiap tahunnya. Atas dasar itulah, masisir masih membutuhkan wahana-wahana tambahan serupa PMIK. Wahana tersebut bisa diupayakan melalui keberadaan rumah daerah.
Walhasil, dari hasil survey ke beberapa rumah daerah yang ada ternyata semuanya sudah memiliki fasilitas perpustakaan meski dengan kondisi yang berbeda satu sama lain dan meski dengan pengelolaan yang masih jauh dibandingkan PMIK. Namun, setidaknya hal ini sudah menjadi modal awal bagi terbangunnya sebuah ‘batu lompatan’ menuju rumah daerah yang didominasi dengan ruh aktifitas studi di dalamnya.

Adalah Baruga KKS (Kerukunan Keluaga Sulawesi). Sebuah rumah daerah yang telah memiliki satu ruangan khusus sebagai wahana pustaka lengkap dengan beberapa rak buku. Kelebihan yang dimiliki perpustakaan Baruga Sulawesi ini adalah koleksi bukunya yang dilengkapi dengan puluhan bundel majalah lama di mana di sana terekam berbagai momen sejarah baik skala nasional maupun internasional. Pengelolaan perpustakaan ini ditangani langsung oleh sebuah badan otonom yang baru didirikan tahun ini. Koleksi buku yang adapun sudah ditata dengan pola katalog. Kebijakan pinjam-meminjam buku pun sudah berjalan. Dan, kegiatan yang berkaitan langsung dengan perpustakaan pun sudah digalakan seperti program telaah literatur turats. Lebih menarik lagi, perpustakaan Baruga yang didominasi dengan kitab-kitab tutrats ini seringkali dikunjungi oleh berbagai pihak dari luar dengan maksud mencari referensi turats. Berbeda dengan PMIK, perpustakaan Baruga memberikan leleluasaan waktu peminjaman buku mengingat misi perpustakaan dalam memberikan kemudahan kepada konsumen pembaca, khususnya dari kalangan anggota.

Ada hal menarik terungkap, bahwa ternyata buku-buku berbahasa Indonesia saat ini jauh lebih dibutuhkan daripada buku-buku berbahasa Arab. Hal ini disampaikan pengelola perpustakaan KMA. Seperti diketahui bersama bahwa Cairo merupakan negeri yang kaya dengan khazanah buku. Apalagi ditambah dengan harga buku yang rata-rata relatif murah sehingga memungkinkan setiap mahasiswa memiliki koleksi pribadi buku-buku berbahasa Arab. Buku berbahasa Indonesia sangat diperlukan mengingat jumlahnya yang minim saat ini, juga karena dari sana mahasiswa kita di sini memperkaya wawasan ke-Indonesiaan-nya. KMA menjawab hal ini dengan upaya pengajuan proposal bantuan buku kepada Pemda juga pemberlakuan kebijakan one man one book terhadap mahasiswa baru asal Aceh atau anggota yang pulang liburan ke Indonesia.

Selain itu, KMA juga mengungkapkan tentang perlunya mahasiswa kita terhadap literatur yang mengungkap kondisi daerah asal. Buku-buku seperti ini kemungkinan besar tak akan ditemui di perpustakaan yang sekupnya lebih besar seperti PMIK misalnya. Buku tersebut seperti buku kodifikasi keputusan Mahkamah Syariah di Aceh, kumpulan hasil seminar di Aceh dan lain-lain. Perpustakaan ini juga menjadi sarana pendokumentasian sekaligus publikasi hasil karya anggota, seperti yang telah dilakukan terhadap kumpulan cerpen anggota KMA yang diterbitkan baru-baru ini.

Namun, tentu saja dibalik peran perpustakaan rumah daerah yang sangat potensial ini, masih banyak kendala yang dihadapi. Perpustakaan Baruga masih menghadapi kendala SDM pengelola perpustakaan. Hal ini menimbulkan kendala lain seperti kurang tertatanya sirkulasi pinjam-meminjam dan perawatan. Perpustakaan KPMJB menambahkan masih adanya kendala koleksi buku yang saat ini masih sangat minim. Perpustakaan Meuligoe KMA mengamini kendala-kendala tersebut dan menambahkan lagi masih adanya kendala sarana perawatan seperti rak/lemari buku. Sebagai tambahan, PMIK pun hingga saat ini masih menghadapi kendala kekurangan koleksi buku yang berimbas langsung pada tidak optimalnya pelayanan yang bisa diberikan pada aktifitas studi mahasiswa.

Perpustakaan-perpustakaan di atas merupakan sampel dari keseluruhan potensi perpustakaan yang dimiliki semua rumah daerah. Dari sampel yang ada tersebut kita bisa menyimpulkan beberapa poin berikut ini,
1. Perpustakaan di rumah daerah memiliki urgensi yang sangat tinggi sebagai penunjang kegiatan-kegiatan studi mahasiswa.
2. Perpustakaan seperti ini sangat berpotensi menjadi stimulus bagi terbangunnya suasana adukatif di setiap rumah daerah yang ada.
3. Masih ada beberapa kendala yang dihadapi perpustakaan di rumah daerah yang bila diklasifikasikan kendala itu terbagi pada dua aspek yaitu aspek koleksi buku dan aspek pengelolaan.

Tahapan Penggagasan dan Pemberdayaan
Setelah kita mengetahui berbagai potensi positif yang dimiliki perpustakaan dalam rangka optimalisasi fungsi rumah daerah sebagai penunjang prestasi studi mahasiswa, maka ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan sebagai upaya akselerasi pencapaian target tersebut.
Pertama, pentingnya pembekalan melalui pelatihan kepustakaan. Hal ini bisa dilakukan oleh PMIK atau berbagai instansi lain yang berkompeten dalam pelatihan pengelolaan perpustakaan. Kedua, perlunya pembangunan link dengan berbagai lembaga donasi buku baik di Indonesia maupun di Mesir. Untuk di Indonesia ini bisa diupayakan dengan menjalin komunikasi dengan Pemda, Ikapi dan yang lainnya. Untuk di Mesir, bisa dilakukan kepada berbagai lembaga perpustakaan seperti IIIT (International Institute of Islamic Thought) yang pada tahun 2005 pernah menyumbang Pwk. PII Mesir dengan ratusan buku berbahasa Arab dan Inggris. Ketiga, sayembara perpustakaan sebagai stimulan. Sayembara ini dimaksudkan untuk menstimulasi bangkitnya perpustakaan-perpustakaan rumah daerah. Kriteria sayembara bisa diperluas mencakup koleksi buku hingga dinamika aktifitas kepustakaan di dalamnya. Sayembara seperti ini bisa dilakukan secara reguler seperti tahunan misalnya, sehingga progresifitas perkembangan setiap perpustakaan bisa tetap terpantau.

Langkah - langkah di atas diharapkan bisa menjadi langkah awal yang efektif dari terbangunnya budaya baca-tulis, budaya pendokumentasian, budaya telaah, dan budaya kajian. Semua itu dimaksudkan sebagai pelengkap kekayaan wawasan bagi mahasiswa yang juga memperoleh khazanah intelektual dari bangku kampusnya. Selain itu, hal ini juga bisa dijadikan arena alternatif bagi mahasiswa yang merasa bahwa aktifitas di kampus tidak memenuhi rasa hausnya akan studi.

Peningkatan fungsi perpustakaan di setiap rumah daerah seperti di atas secara langsung akan berefek pada peningkatan dinamika aktifitas studi keilmuan mahasiswa. Dan, kondisi tersebut akan terbangun tanpa harus mengganggu fungsi lain dari rumah daerah sebagaimana berlangsung selama ini seperti sewa-menyewa aula dan lain sebagainya.

Epilog
Bila dianalogikan, ekspektasi penulis atas perpustakaan rumah daerah ini seperti Kebun Raya yang menjadi paru-paru Bogor. Atau seperti Bogor dan hutan-hutan tanah air lainnya yang menjadi paru-paru Indonesia. Perpustakaan rumah daerah diharapkan bisa menjadi pensuplai tenaga untuk membangun atmosfer adukasi di tengah – tengah Masisir.
Berbagai ide optimalisasi rumah daerah dalam mendukung studi mahasiswa sangat diharapkan kemunculannya. Ide pemberdayaan perpustakaan rumah daerah adalah sebuah ide sederhana yang diharapkan bisa sangat aplikatif diimplementasikan dengan mudah dan biaya yang murah. Semoga menjadi masukan yang berarti untuk kita dalam rangka membangun dinamika mahasiswa yang lebih progresif dan edukatif.
Daftar Pustaka
1. Term Of Reference (TOR) LOKAKARYA Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir. Cairo : 2008.
2. Laporan Hasil Lokakarya “Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir”. Cairo : 2008
3. Karya tulis Iftitah Hidayati, “Urgensi Perpustakaan Berbasis Tekhnologi Informasi Dalam Pengembangan Keilmuan Siswa”. Probolinggo :
4. Makalah Hartati S.Pd, “Perpustakaan Sebagai Sarana Penunjang Tercapainya Tujuan Pendidikan”.
5. Makalah Sulistyo Basuki, “Perpustakaan dan Asosiasi Pustakawan di Indonesia dilihat dari Segi Sejarah”. Jakarta : 2004.
6. Makalah Wahyu Murtiningsih, “Menuju Perpustakaan Ideal”. Jogyakarta.
7. Slide Arlinah i.r, “Sejarah dan Pengertian Perpustakaan”.
8. Tata Tertib Pasangrahan KPMJB (Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat) Cairo.
9. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Perwakilan Pelajar Islam Indonesia (Pwk. PII) Mesir Periode 2004-2006. Cairo : 2006
10. Laporan Pertanggungjawaban Panitia Proyek Pengadaan Rumah Daerah Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat (KPMJB). Cairo : 2005 – 2006.
11. Wawancara dengan Pengelola Rumah Daerah Rumah Daerah KMA
12. Wawancara dengan Pengelola Rumah Daerah Rumah Daerah KKS
13. Wawancara dengan Pengelola Rumah Daerah Rumah Daerah KPMJB
14. Wawancara dengan Pengelola / Direktur PMIK
15. http://palembang-blogger.blogspot.com/2008/05/perpustakaan-adalah-gudang-ilmu-bukan.html
16. www.siaksoft.net/index.php
17. http://pustakakita.wordpress.com/2007/01/02/sejarah-perpustakaan-baghdad/
18. http://www.pnri.go.id/feedback/qs/idx_id.asp?box=dtl&id=223&from_box=lst&hlm=64&search_ruas=&search_keyword=&search_matchword=
19. http://badanperpusda-diy.go.id/v2/cetak.php?page=berita&id=32
20. http://www.lib.ui.ac.id/readarticle.php?article_id=10
21. http://www.ubaya.ac.id/?c=CQkGVB4HWQ4JUgA6NzNjYWJlMWE=
22. http://ibnuadamaviciena.wordpress.com/2007/07/31/kami-butuh-perpustakaan-bung/
23. http://buntomijanto.wordpress.com/2007/12/04/perpustakaan-sebagai-pusat-wisata-karya-peradaban-1/


*) Peserta Lomba Karya Tulis HUT RI ke-63 KBRI Cairo
**) Mahasiswa S1 Universitas Al Azhar Cairo Jurusan Da'wah wa Tsaqafah Islamiyyah

Bukan Mahasiswa Rekreatif*

~ Catatan Musim Panas Kelima ~


Oleh : Rashid Satari**


Liburan. Kata yang sangat definitif untuk masisir di tengah musim panas. Buat saya sendiri, kali ini adalah musim panas ke lima. Dan setiap tahun, aktifitas masisir hampir tak ada beda. Musim panas berarti liburan. Lebih detail lagi bisa diartikulasikan dengan pulang ke tanah kelahiran. Ada juga yang rihlah atau jalan-jalan. Ada yang memilih kursus, talaqi bahkan memilih kajian. Ada yang sibuk suksesi bahkan ‘belajar’ rebutan kursi kekuasaan. Ada yang setia dengan dagang. Dan yang tak kalah menarik baru muncul tahun ini adalah ada pula yang magang.

Panas. Masisir tentu merasakan hal itu di sekitar fatrah waktu bulan Juli hingga September. Bukan sekedar panas karena faktor geologis. Melainkan lebih karena atmosfer aktifitas masisir sendiri. Oleh karenanya ‘musim panas’ di sini bisa sangat ambivalen. Panas hingga menyebabkan mimisan. Panas hingga membuat riang atau pingsan di depan dinding pengumuman natijah ujian. Namun kesemua itu tentu tidak sepanas arena hajatan masisir yang dinamakan Pemiluwa. Ajang pergantian PPMI 01. Sebagian orang bilang sebagai sebuah pesta demokrasi tahunan. Selain itu, suksesi juga serempak di berbagai organisasi yang ada. ‘Panas’ benar terjadi di mana-mana. Apalagi ketika beragam suksesi itu selalu disulut oleh satu isue yang hampir setiap aktifis mahasiswa mengetahuinya.
Hingga musim panas ke lima, wajah masisir mungkin banyak sekali berubah. Ada yang pulang, ada yang datang. Bertambah bujang, berkurang lajang. Tapi tidak dalam hal aktifitas musim panasnya. Setiap tahun, corak musim panas mahasiswa kita kalau tidak bernuansa rekreatif maka edukatif. Atau sebaliknya. Yang mengherankan adalah terjadinya peningkatan yang tajam dalam hal aktifitas rekreatif setiap tahun. Tahun ini saja misalnya hampir setiap organisasi mengadakan acara rihlah. Dari organisasi sejenis afiliatif, kekeluargaan, marhalah, senat bahkan hingga mat’am. Salahkah? Tentu tidak, selama itu merupakan jawaban atas kebutuhan anggota-anggotanya. Apalagi semua dilakukan pasca ujian termin dua yang selalu dijadikan sandaran legislasi berbagai acara bersifat fun. Meski di pihak lain, kalau boleh mengutip celetukan beberapa kawan di pojok rumah makan, “bukankah selama ini pra ujian juga waktu liburan?!”.

Lain jalan-jalan, lain pula nasib aktifitas kajian keilmuan. Saat musim panas, kegiatan yang satu ini bisa dipastikan menjadi makhluk paling aneh bagi anda, bagi saya, bagi kita. Kajian di musim panas bagaikan secangkir jamu di tengah-tengah kumpulan gelas jangkung berisi softdrink. Kajian jadi sedemikan aneh karena ia dinilai sebagai objek yang tidak koheren dengan satu budaya lain mahasiswa yang semakin menggejala dan digandrungi yaitu budaya rekreasi. Pamflet jadwal Talaqqi yang disebar PPMI dengan mudah tenggelam begitu saja ditelan tumpukan pamflet reklame tour. Tunggu, mengapa tiba-tiba edukatif dan rekreatif seakan menjadi dua hal yang saling bertentangan?!

Mungkin fenomena di atas hanya terjadi di awal musim panas karena suasana pasca ujian yang harus dimaklumi. Lantas ada apa setelah itu? Waktu akan bergeser pada berbagai agenda suksesi di mana-mana. Macam-ragam namanya. Ada Pemiluwa, ada SPA, ada musyawarah anggota dan lainnya. Biasanya ini memakan area bulan tujuh dan delapan. Bulan sembilan masa transisi. Memasuki bulan sepuluh penuh agenda ijroat dan penyambutan mahasiswa baru. Setelah itu, masa kuliah dimulai. Tidak perlu ditanya apa aktifitas di masa kuliah karena jawabannya sudah dimaklumi bersama. Begitulah mainstream dinamika mahasiswa kita di musim panas. Tidak bisa digeneralisir memang. Sayangnya, sosiologi mengamini bahwa komunitas masyarakat didefinisikan oleh budaya mayoritas personalnya.

Namun meski demikian, generalisasi corak aktifitas musim panas harus selalu mempertimbangkan adanya unsur personal yang tak bisa diintervensi. Personalitas sangat mempengaruhi lahirnya aktifitas adukatif dan rekreatif. Terlebih untuk kalangan mahasiswa yang notebene adalah kelompok masyarakat mandiri dan berinisiatif, baik saat dia berposisi sebagai unsur organisasi maupun saat dirinya berperan sebagai pribadi.

Labih jauh lagi, dialektika efektifitas tentang aktifitas musim panas akhirnya jadi hal yang tidak perlu. Penghukuman agenda jalan-jalan sebagai agenda sia-sia tidak bisa dengan sedemikian mudah divoniskan. Pun demikian dengan aktifitas kajian keilmuan di musim panas, tidak lantas begitu saja dinobatkan sebagai aktifitas ideal bagi mahasiswa.

Semua ini, berkaitan erat dengan mindset. Sebagaimana hal serupa diterapkan Jalaluddin Rahmat ketika memetakan konsep ‘kebahagiaan’ dan ‘kesengsaraan’ dalam menyikapi bencana dan keberuntungan. Baginya, musibah adalah realita objektif dan penderitaan adalah realitas subjektif. Musibah adalah realitas di luar diri kita dan penderitaan adalah picture in our head. Lebih ekstrim lagi, musibah adalah kenyataan sedang penderitaan adalah pilihan. Begitu juga dengan keberuntungan, ia adalah objektif dan bahagia adalah subjektif. Rekreasi, jalan-jalan, kajian keilmuan adalah objektifitas, sedangkan edukatif dan rekreatif adalah subjektifitas dalam mindset manusia bertitel mahasiswa.

Rekreasi atau tour, kajian keilmuan atau pengajian adalah real yang objektif yang setiap kita bisa melihatnya secara kasat mata. Sedangkan edukatif atau rekreatif adalah mindset. Tinggal kita memilih mana yang akan kita jadikan paradigma atau cara pandang dalam beraktifitas di musim panas. Sederhananya, apapun aktitifas yang dilakukan, setiap mahasiswa dituntut bisa mengatur settingan cara pandangnya diantara dua pilihan; edukatif atau rekreatif. Bukankah selama ini banyak terjadi pengemasan nilai-nilai pendidikan dengan cangkang hiburan. Atau sebaliknya, tak jarang bagian dari kita yang turut dalam kegiatan-kegiatan sarat muatan pendidikan, namun dengan membawa motivasi sekedar ikut-ikutan atau mencari celah hiburan.

Segala aktifitas di musim panas dan bahkan musim dingin sejatinya tidak menyeret-nyeret identitas kita selaku mahasiswa ke tebing curam dimana di sana hanya ada komunitas manusia pecinta rekreasi dan hiburan. Terlebih lagi mahasiswa senantiasa identik dengan budaya hidup ilmiah.

Tak ada standar baku untuk mengukur efektifitas kegiatan mahasiswa di musim panas. Relatifitas berlaku pada titik ini. Sebagaimana tidak pernah bakunya standar kesuksesan mahasiswa di sini. Sesederhana dan sekecil apapun kegiatan, saat edukasi digunakan dalam mindset, atau saat edukasi dipasang dalam cara pandang, maka kemungkinan besar akan berimplikasi pada pencapaian kualitas kegiatan secara maksimal.

Ini sekedar catatan ringan dari musim panas kelima saya. Boleh jadi anda punya pandangan lain. Mungkin dari musim panas kedua anda. Atau barangkali ada yang punya catatan pinggir dari musim panas keduabelasnya. Semoga masisir tetap menjadi komunitas mahasiswa edukatif.


*) Dalam buletin Terobosan milik mahasiswa Indonesia di Mesir
**) Penggemar Napak Tilas di Musim Panas