Monday, December 08, 2008

Pers; Antara Otoritas dan Distorsi Opini*


(Secarik refleksi atas fenomena Jyllands Posten dan Playboy)
Oleh : Rashid Satari*

"Satu ujung pena lebih kutakuti daripada seribu bayonet" (Napoleon Bonaparte)

Khusus untuk Indonesia, kran liberalisasi jurnalistik belum lama dibuka. Reformasi 1998 menjadi gerbang utama multi kebebasan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Amien Rais dalam sebuah antologi berjudul "Reformasi Dalam Stagnasi" mengatakan bahwa dari enam agenda reformasi, salah satunya berbunyi tentang kebebasan warga negara (dalam hal pers, bicara, ekspresi, religi dan lain sebagainya). Artinya harus diakui bahwa atmosfer bangsa kita pada pra-reformasi memang memandulkan sebagian segmentasi potensi anak bangsa. Hegemoni Orde Baru telah menginvestasikan “bom waktu” yang akhirnya meledak pada titik kulminasi tertinggi dengan kemasan reformasi.

Untung tak dapat diraih, reformasi pun mengalami stagnasi. Menurut Amien Rais, juga dalam antologi yang sama, stagnasi ini terjadi karena penyakit mental yang masih menggerogoti bangsa kita. Penyakit mental tersebut diantaranya adalah mental attitude bangsa. Mental Attitude ini berdampak pada terciptanya budaya Public Dishonesty (ketidakjujuran publik) dan Publiclies (kebohongan publik). Akhirnya bisa kita lihat bersama, kran kebebasan berekspresi yang dibuka ternyata malah mereduksi, mengalami ambivalensi dan absurditas arti. Kebebasan diartikulasikan sebagai era kebebasan yang membabi buta.


Pers atau dunia jurnalistik sejatinya adalah media informasi yang berposisi sebagai abdi publik. Menyajikan hidangan informasi yang objektif dan transparan merupakan lambang tanggung jawab moral pers terhadap publik. Mengutip Jalaluddin Rakhmat, The American Society of Newspaper Editors tahun 1923 meresmikan kode etik Jurnalistik yang kemudian terkenal sebagai Canons of Journalism. Kode etik itu diantaranya adalah (1) Tanggungjawab (2) Kebebasan Pers; kebebasan pers harus selalu dijaga sebagai hak vital manusia dan pers bebas membicarakan apa saja yang tidak dilarang hukum atau perundang-undangan. (3) Independensi; pers harus membebaskan diri dari segala kewajiban kecuali kepada kepentingan umum. (4) Ketulusan; kesetiaan kepada kebenaran, dan akurasi (sincerity, truthfulness, and accuracy). (5) Kejujuran dalam menyampaikan informasi (impartiality). (6) Berlaku adil (fair play); pers harus memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan penjelasan bandingan dari apa yang disampaikan. (7) Kesopanan (decency); pers harus menyampaikan informasi, betapa pun terperincinya, sesuai dengan standar moral dan kesusilaan masyarakat.

Selanjutnya, idealisme pers melalui kode etiknya ini harus tersandung oleh realita aktual yang menunjukan bahwa kebebasan bersuara melalui media pers telah menjadi hak milik setiap lapisan komunitas dan individu mana saja dari masyarakat kita, mulai dari kalangan akademisi hingga politisi. Akhirnya tak jarang penerbitan pers kental dengan unsur subyektifitas kelompok yang melatarbelakanginya.


Atas nama kebabasan pers, subyektifitas dalam penerbitan sebuah media menjadi hal yang tak bisa dipungkiri. Dalam Pemilu Indonesia 1999 saja misalnya, setiap partai politik diberi kewenangan lebar untuk menerbitkan media, apapun bentuknya, sebagai wasilah kampanye mereka. Dari sini bisa kita lihat, perang opini menjadi fungsi lain yang diperankan pers. Atas dasar fenomena seperti inilah akhirnya keberadaan dan peran pers dipertanyakan kembali.


Awal 2006 Denmark mengejutkan dunia dengan Jyllands Posten-nya. Indonesia pun tak ingin ketinggalan, melakukan manuver baru di tahun yang baru dengan rencana penerbitan PlayBoy versi dalam negeri. Apa yang terjadi diantara keduanya tak lebih sebagai puncak gunung es saja. Bila kita tilik lebih jauh, dua belas karikatur baginda Nabi Saw. di Jyllands Posten sebenarnya telah terbit sejak September tahun lalu. Begitu pula dengan fenomena Playboy, majalah atau media-media dengan menu hidangan serupa telah banyak menjamur di Indonesia jauh sebelumnya.

Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia pers sudah jauh dari idealisme dan kode etiknya sebagai transformator kebenaran faktual dan kontekstual yang mengedepankan nilai-nilai universal. Hal ini diasumsikan terjadi karena euforia jurnalistik yang terjadi secara global sehingga merangsang dunia pers untuk semakin berani mengekspresikan kemerdekaannya. Walaupun, sejatinya, kebebasan ini banyak dilatarbelakangi keberpihakan, tetapi keberpihakan itu harus dilimpahkan kepada kemashlahatan publik dan konsensus universal.


Ambiguisitas pers memberikan dampak yang cukup berarti pada berbagai sisi kehidupan kita. Dari Jyllands Posten misalnya, tidak hanya hubungan diplomatik antarbangsa saja yang rusak, krisis perekonomian dan patologi sosial turut menjadi ancaman. Demonstrasi radikal terjadi seperti di Libanon, Suriah dan Indonesia; ribuan karyawan perusahaan Denmark di beberapa negara mayoritas muslim harus mengalami PHK Ini akan berdampak langsung kepada stabilitas sosial ekonomi negara bersangkutan. Begitupun Playboy yang mempertaruhkan perhatian, tenaga bahkan nilai-nilai moralitas bangsa kita. Keduanya belum ditambah lagi dengan sebuah kemungkinan lain yang tak kalah mengerikan, ketika toleransi mencapai titik jenuhnya sehingga memancing petaka global berlatarbelakang akidah dan ideologi.


Perkembangan dunia dan euforia jurnalistik telah mengantarkan pers pada perannya yang paradoks. Atmosfer kebebasan telah menghembuskan nuansa tidak sehat diantara pers dan konsumennya. Di sisi lain para pakar komunikasi kontemporer berpendapat bahwa informasi tak bisa lagi dianggap sebagai alat semata bagi sebuah kekuasaan. Sebab, informasi itu sendiri adalah kekuasaan. Di sini, pers adalah penguasa informasi dan opini sepenuhnya.


Tulisan ini tidak bermaksud menggugat kemerdekaan pers, karena kemerdekaan bagi pers adalah nafas hidup. Semoga pers menemukan kembali jati dirinya sebagai abdi publik yang independen dan bertanggungjawab; penyampai berita dan penebar makna. Wallahu 'alam bishawab.


*) Dalam buletin Al Furqan milik Pwk. PP. Persis Mesir

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)