Monday, December 08, 2008

Happy Birthday Reformasi

[sebuah kado air mata iba ; refleksi 7’th anniversary]

Oleh : Rashid Satari*

Berdetak menit menjadi jam, hari berganti minggu, bulan menjelma tahun dan tahun pun bertemu windu. Indonesia, sebuah negara-bangsa yang semakin hari semakin memperlihatkan eksistensinya secara nasional maupun internasional. Belum lama ini Indonesia terlibat dalam penandatanganan solidaritas kepedulian Al Aqsa-Palestina. Sedikit banyak sebuah manuver ini membuat mata dunia kembali melirik kita sebagai sebuah bangsa yang mempunyai martabat dan pendirian. Belum lagi prestasi Indonesia sebelum itu, yakni kesuksesan menggelar Pemilu Presiden secara langsung. Sebagai negara yang mengklaim diri “tanah kelahiran” Demokrasi, Amerika boleh iri dengan prestasi tersebut. Sekali lagi, mata dunia tak hanya sekali melirik Indonesia.

Sebelum itu semua, Merah putih memang pernah tercoreng-moreng dengan luka-luka. Luka Priok, luka Timor, luka Poso, luka Aceh, luka Semanggi, luka Trisakti, luka 27 Juli dan luka-luka lain sebagainya, baik yang terobati ataupun yang sampai kini terpeti es-kan mengering dan membeku karena terlupakan -mungkin-. Itu belum di tambah dengan luka harga diri – sebuah luka lama - ketika Indonesia terpuruk dalam katagori negara tak berdaya dan meroket rangking-nya sebagai bangsa terkorup di dunia.

Kemudian hal lain lagi, Reformasi datang sebagai sebuah babak pendewasaan bangsa. Reformasi telah beberapa tahun lalu dicetuskan. Wujud dari kekecewaan yang sempat terkekang. Mei enam tahun silam, genderang Reformasi bergema di seantero Ibu kota yang vibrasinya turut pula sampai ke desa-desa. Imbasnya, perubahan radikal maupun perlahan terjadi di sana sini, terus bergulir bergiliran hampir serempak. Di berbagai sendi kahidupan mulai dari politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Dari politik tingkat tinggi hingga politik kelas teri.

Enam tahun sudah Reformasi merayakan kemenangannya. Usia yang cukup sebenarnya untuk masa perbaikan bangsa ini karena bukankah Reformasi adalah tonggak awal dari cita-cita rehabilitasi Indonesia(?). Enam tahun sudah Reformasi merayakan kemenangannya. Dari sanalah harapan rakyat bermula. Syair indah tentang kesejahteraan pasca tumbangnya pohon Orde baru, lagu syahdu mendayu tentang kemerdekaan Hak Asasi turut menjadi bumbu. Jelas, bangsa ini telah lama amat rindu dengan itu semua. Dan Reformasi adalah pintunya.

Kemudian Reformasi pun berlalu. Seiring membasinya lagu dan syair semu dahulu. Reformasi menjadi bisu. Ditelan hegemoni perkembangan kebijakan-kebijakan politik baru. Para pahlawan sejati telah berganti dengan pahlawan-pahlawan baru. Begitupun para ksatria, para jenderal dan para pion pun “berganti baju” sampai-sampai “bergerak” kaku. Karena katanya kini adalah era baru(?). Dan aduh..! dasar bangsa kita, Reformasi yang diperjuangkan bertaruhkan darah dan air mata pun tega diperkosa juga. Dinodai dengan budaya korupsi yang semakin membumi. Ba’da reformasi, korupsi seperti terlegitimasi. Menjadi prasyarat para politisi dan birokrat dari pusat hingga daerah. Dari pejabat-pejabat teras hingga raja-raja kerdil di level grass root. Reformasi mereduksi.(!)

Sedangkan rakyat..

Harapan tinggal harapan ketika realita yang berbicara. Sungguh menyedihkan ketika belum genap seratus hari rampung pasca pelantikan eksekutif baru, tarif primer keseharian mereka harus naik kembali. Gas elpiji yang sejatinya telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat harus dinaikan harganya alih-alih menutupi kerugian yang saat ini dialami. Padahal sebenarnya di tempat lain sumur-sumur gas baru banyak digali. Yang jelas masyarakat hanya tahu bahwa mereka tak bisa lagi beli baju baru karena jangankan untuk itu, bahkan untuk beli “Tahu” pun mesti itung-itungan dulu. Karena memang sebenarnya sejak dulu masyarakat tak pernah berwenang menentukan masa depan dan nasib hidupnya sendiri ke mana mereka mau.

Lalu -sekali lagi- di Mei 2005 Reformasi akan genap berulang tahun lagi.

Ada yang patut disyukuri dari Reformasi. Karena dari sana ternyata masyarakat kita secara terpaksa telah banyak belajar dan membaca. Masyarakat Indonesia sekarang bukan lagi masyarakat Indonesia zaman dulu yang hanya tahu diam dengan cukup makan saja. Setelah menyaksikan dan merasakan luka-luka bangsa sendiri, dengan sendirinya masyarakat tertuntut untuk membuka mata setelah sekian lama tertidur buta. Kini masyarakat kita tak mudah lagi dibohongi, karena janji-janji sakti dari para pendekar politik yang dulu pernah didendangkan tak pernah terbukti.

Terbuktilah sudah bahwa memang akselerasi kesadaran masyakarat kita terhadap kondisi bangsanya sangatlah lamban. Mengapa? karena - warisan orde baru - terlalu lama masyarakat dibodohi. Pendidikannya direndahkan. Sejarah kehidupannya digelapkan. Sehingga masyarakat sulit untuk belajar bahkan untuk sekedar tahu jati dirinya sendiri.

Dan, kemudian jelaslah pula apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat kita. Masyarakat Indonesia butuh kader-kader/anak bangsa yang benar-benar mempedulikan Pendidikan-nya. Bukan tayangan-tayangan mistis, bukan goyangan-goyangan erotis, bukan lomba-lomba jadi artis, bukan kebohongan kuis-kuis, dan bukan janji-janji politis-simbolis-formalistis. Tapi masyarakat butuh hak pendidikannya yang - seharusnya – gratis!

Terakhir, demi kesejahteraan bangsa, semoga kau tak cepat basi lalu kemudian mati. Selamat ulang tahun Reformasi!


Cairo, Awal Mei 2005


*) Mahasiswa S1 Ushuluddin “ Universitas Kehidupan” Al-Azhar Kairo. Sekretaris Umum PII Mesir 2004-2006

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)