Monday, December 08, 2008

Ahsannas


Oleh : Rashid Satari

Siang hari di mahattah (stasiun/terminal) Darâsah Kairo, sepulang ujian dari kampus Universitas Al - Azhar. Setelah menunggu hampir satu jam lamanya, bis bernomor 24 J datang juga. Bis ini sudah penuh rupanya, sehingga saya hanya mendapat jatah berdiri di tengah sesaknya penumpang. Seperti biasanya.

Terbayang sudah kepenatan yang akan saya rasakan. Setelah berjemur sekian lama di bawah terik matahari, saya harus berdiri di tengah sesak penumpang dan panasnya udara Kairo siang itu, kemungkinan besar hingga sampai stasiun terakhir nanti di kawasan Nasr City.

"Anda orang Malaysia?" seorang pria Mesir bertanya pada saya dengan logatnya yang khas. "Lâ.. Andunisia (bukan.. Indonesia)" jawab saya. "Ahsannâs! (manusia paling baik)", sahutnya menyusul jawaban yang saya berikan.

Orang Indonesia memang sering digelari sebagai Ahsannâs (manusia terbaik) oleh masyarakat Mesir. Konon, gelar ini ada sejak 1956-an, ketika Soekarno menjalin hubungan baik dengan Mesir yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Naseer. Gelar itu memasyarakat hingga kini.

Saya tersenyum bangga mendengar sanjungan pria itu. Sementara, di tengah sesaknya penumpang, uang recehan sebesar LE. 0,50 diestafetkan dari tangan ke tangan oleh para penumpang, dari depan sampai belakang bis tempat di mana kondektur bis duduk. Ada seorang ibu yang naik lewat pintu depan rupanya. Tak lama kemudian, sang kondektur memberikan karcis bis yang juga sampai kepada si ibu dengan cara estafet pula. Sebuah pemandangan yang tak pernah saya lihat di negerinya Ahsannâs, Indonesia.

Saya kemudian mengarahkan mata kembali pada pria tadi dan berkata, "Tidak, kalian (orang Mesir) justru lebih baik". Dia tetap bersikukuh, "Lâ, Andunisia ahsannâs! (Tidak, orang Indonesia-lah yang terbaik)". Pria itu tersenyum simpul. Sambil tersenyum, saya memilih diam.

Mata saya kembali tertuju pada Ibu tadi. Seorang pria separuh baya yang duduk di dekatnya spontan berdiri memberikan kursinya pada sang Ibu. Wanita berpostur tambun itu mencoba menolak, namun tidak bisa mengelak. Karena rupanya hal seperti itu, menghormati wanita tua ataupun muda, sudah menjadi budaya mereka. Lagi, sebuah pemandangan yang sangat langka di Indonesia.

Awalnya, saya memang merasa tersanjung dengan pujian pria tadi. Namun, perasaan itu kemudian berubah menjadi rasa malu. Dua peristiwa yang dialami si Ibu tadi menjadi renungan singkat saya waktu itu.

Indonesia, sebagai bagian dari bangsa timur yang terkenal sebagai bangsa berperangai baik dengan ketinggian akhlaq-nya, tengah ditimbang-timbang. Seharusnya, peristiwa yang dialami si ibu tadi lebih banyak kita saksikan di Indonesia. Bukan di Mesir, bagian dari daratan Arab-Afrika yang justru dikenal dengan budaya padang pasirnya yang keras.

Saya terus menerawang pada bayangan-bayangan kelam seputar tragedi kekerasan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, semakin hari kekerasan semakin identik dengan kita, masyarakat Indonesia. Berbagai liputan pemberitaan yang merekam beragam kekerasan datang hampir setiap jam. Sehingga wajar bila semakin hari, kecamasan akan tindak kejahatan semakin menghantui masyarakat kita. Hasil survey Litbang Media Group terhadap 477 responden di enam kota besar di Indonesia pada akhir 2006 lalu, menunjukan bahwa 61% cemas akan pemerasan, 63% akan perampokan, 69% terhadap pencopetan dan 72% terhadap pencurian.

Rasa malu itu kian bertambah bila teringat kembali tragedi pembunuhan sadis yang dilakukan seorang warga Indonesia terhadap sebuah keluarga Malaysia di Kairo tahun 2004 silam. Anehnya, peristiwa seperti itu tak membuat kita kehilangan gelar sebagai Ahsannâs di hadapan masyarakat Mesir.

Mereka bukan tidak tahu dengan peristiwa kelam Mei 1998 di Jakarta. Pun mereka tahu lebih jauh tentang tragedi Poso di 2003. Layanan TV kabel, internet yang mudah dan murah, memberikan mereka informasi yang detail tentang bagaimana sebagian masyarakat kita kala itu saling menyerang, memanah dan memenggal di pelosok Maluku sana.

Separuh perjalanan telah dilalui bis. Laki-laki yang berdiri di samping saya tadi menyapa kembali, "Semoga selamat di perjalanan. Anda...!" walau kalimatnya tidak diteruskan, tapi saya bisa mengerti karena dia berbicara sambil menyunggingkan senyum dan mengacungkan jempol tangannya. "Indonesia Ahsannâs" terus terngiang di benak saya, namun saya belum bisa kembali tersenyum bangga mengingatnya.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)