Monday, December 08, 2008

Mengaji Thanta

Oleh : Rashid Satari

Tiga hari dua malam di Thantha. Ibu kota propinsi Gharbiyyah ini berjarak kurang lebih 120 km dari Kairo. Kota ini berada diantara Kairo dan Alexandria serta bertetanggaan dengan kota Kafrusyaikh. Thantha merupakan satu dari beberapa kota yang berada di kawasan Delta, yaitu daerah yang terletak di antara dua aliran sungai Nil.


Suatu sore di hari Selasa, 17 Januari 2006 M bertepatan dengan 17 Dzulhidjah 1426 H, saya bersama seorang kawan bernama Irfan memulai perjalanan menuju Thantha. Kami mulai perjalanan ini dari terminal Ramsis Kairo dengan menggunakan el-Tramco jurusan Ramsis - Gomlah. Pukul 15.05 waktu setempat, tramco mulai melaju. Dengan ongkos Le. 5,50 per orang, kami menikmati perjalanan selama kurang lebih satu jam dua puluh menitan. Sekitar pukul 16.30, kami sudah memasuki kota Thantha, hingga akhirnya kami turun di sebuah mahattah(stasiun) sebelum Gomlah, bernama mahattah Ma'rad. Dengan menggunakan taxi, kami menyambung perjalanan menuju apartemen di mana Irfan tinggal.

Dalam waktu 15 menit saya sudah sampai di sebuah flat berstyle tua. Dari warna catnya memang terlihat seperti bangunan baru, namun dari model arsitekturnya yang bergaya prancis, flat ini lebih serupa bangunan lama. Berbeda dengan keumuman flat-flat di Kairo, flat yang berada di lantai dasar apartemen ini memiliki ketinggian dinding yang relatif lebih tinggi, kira-kira empat meter jarak antara lantai dan langit-langitnya.

Thantha, 18 Januari 2006.
Karena harus menunggu Irfan mengikuti ujian mata kuliah terakhir semester ini, acara jalan-jalan yang saya rencanakan sebelumnya baru bisa dilakukan selepas maghrib.

Setelah menyusuri jalanan yang agak gelap diantara apartemen-apartemen tua, saya bersama Irfan memasuki kawasan yang dikenal dengan nama Maidan Sa'ah. Maidan Sa'ah adalah sebuah persimpangan jalan yang di tengahnya terdapat taman kecil berumput di mana sabuah tugu berdiri tegak. Itulah alasan mengapa persimpangan ini dinamakan Maidan Sa'ah, karena terdapat tugu dengan sebuah jam besar di bagian atasnya. Maidan Sa'ah juga merupakan titik pertemuan atau muara dari lima jalan beraspal. Pesona lain yang saya nikmati di kawasan ini juga adalah gedung-gedung tua yang tinggi mengelilingi persimpangan jalan ini. Jarum jam di tengah persimpangan malam itu menunjukan pukul 18.40 waktu setempat.


Dengan berjalan kaki, kami melanjutkan petualangan malam itu. Ternyata Maidan Sa'ah di kelilingi kawasan pasar yang ramai. Melewati kawasan ini, saya jadi teringat Pasar Baru Bandung yang memiliki suasana dan keramaian serupa. Di sini saya sempatkan mampir di sebuah maktabah (toko perlengkapan alat tulis), membeli sepasang batu baterai untuk Olympus Digital Camera yang saya bawa.


Berjalan ke utara, kami memasuki jalan Badawi. Jalan yang agak sedikit menanjak ini masih dikelilingi juga oleh bangunan-bangunan tua nan tinggi yang lantai dasar dan trotoarnya dipadati oleh deretan toko-toko. Menurut Irfan yang menjadi guide saya malam itu, toko-toko di jalan Badawi ini relatif lebih mahal dalam menawarkan dagangannya. Selanjutnya saya menjadi mengerti akan hal itu karena ternyata di ujung jalan ini terdapat sebuah masjid ternama; masjid Badawi. "Badawi" diambil dari nama seorang maha guru di kota ini bernama syaikh Muhammad Badawi, di mana makamnya terdapat di dalam masjid ini. Banyak masyarakat lokal maupun dari luar yang berziarah ke masjid dan makam ini sehingga kawasan ini ramai tak ubahnya seperti tempat pariwisata saja. Saya tak melewatkan kesempatan tersebut, beberapa jepretan kamera saya lakukan di halaman masjid ini. Beranjak dari masjid Badawi, kami melanjutkan ke arah timur menuju sebuah stasiun Qitar (kereta antar propinsi) kemudian berputar kembali menuju Maidan Sa'ah.


Penasaran dengan makanan yang diceritakan Irfan sepanjang jalan tadi, kami melintas ke sebelah barat Maidan Sa'ah. Deretan toko masih terus menjadi pemandangan kami. Kami sempat mampir di sebuah toko penjual coctail buah. Beberapa menit kami di sana, berbincang dengan 'ammu si penjual coctail yang dengan pedenya meminta sekali jepretan kamera dari kami. Ternyata coctail di sini agak sedikit lebih murah. Satu gelas coctail di sini bisa kami nikmati dengan harga Le. 1, 25, sedangkan di Kairo berkisar antara Le.2,00 hingga Le. 3,00. Jalan-jalan kami lanjutkan hingga tak lama akhirnya kami sampai di kedai yang tadi sempat diceritakan Irfan.


Qibdah bi Syurbah dilengkapi dengan Ruz Muammar adalah sasaran kami di kedai itu. Qibdah bi Syurbah terdiri dari roti 'isy hangat yang diisi goreng hati sapi, sedangkan Syurbah adalah kuah yang diambil dari kaldu kepala sapi. Adapun Ruz Muammar adalah nasi dicampur susu dan zubnah (keju), dikemas dalam mangkuk berukuran sedang kemudian dioven. Qibdah, Syurbah dan Ruz Muammar disajikan secara terpisah. Tiga sajian ini dilengkapi dengan Syalatah, yaitu lalab yang terdiri dari irisan tomat, lemon, daun kasybaroh, disiram dengan sedikit cuka. Satu porsi Qibdah bi Syurbah dijual dengan harga Le. 4,00 sedangkan Ruz Muammar Le.2,00. Adapun Syalathah, sesuai keumuman di kedai- kedai atau restoran-restoran lainnya, diberikan secara cuma-cuma. Kesan saya setelah mencicipinya adalah "ingin nambah".

Perjalanan malam kami lanjutkan. Sambil pulang, kami menelusuri sebuah jalan ke arah selatan yang ternyata bermuara di Maidan Sa'ah juga. Di ujung jalan ini terdapat toko es krim yang lumayan besar bernama Abdul Razak Ice Cream. Hmm.. melihat visualisasinya, lidah saya jadi tergoda juga. Kami memesan dua corong Chocolate Ice Cream yang berharga Le. 2,50 setiap satunya. Harga yang lumayan murah untuk ukuran toko sebesar ini saya pikir. Sayangnya seperti banyak orang bilang bahwa "harga memang tak berbohong", lidah kami tak merasa dimanjakan dengan rasanya.

Kami merasa cukup puas setelah hampir tiga jam setengah kami berjalan-jalan. Pukul 21.45 kami sudah sampai lagi di Maidan Sa'ah. Beberapa foto kami ambil di sini, kemudian kami pun berbalik pulang. Hari sudah larut dan semakin dingin saja malam itu.

Keesokan harinya, Kamis 19 Januari 2006, selepas salat Dhuhur kami melakukan perjalanan pulang ke Kairo. Perjalanan ini kami lakukan dengan menggunakan qitar darajah tsaniah (kereta lintas propinsi kelas II) dari mahattah Thantha. Tiket qitar seharga Le. 5,00 bisa kami dapatkan dengan Le.3,00 karena alasan status kami sebagai pelajar. Bila lancar, qitar akan memakan perjalanan selama satu jam setengah untuk sampai di mahattah Ramsis Kairo. Sebelum mencapai Kairo, qitar ini harus melewati beberapa mahattah untuk berhenti sejenak di sana sebelum melanjutkan perjalanan. Mahattah-mahattah itu antara lain Birkit Saba, Quesina, Banha, Tukh Station, Qahaa dan Shubra el-Kheima. Durasi waktu qitar ketika berhenti di setiap mahattah tersebut sekitar lima sampai sepuluh menit, namun ini bisa lebih singkat lagi bila nampak jarang penumpang yang ada di sana.

Qitar beranjak pelan selepas mahattah Shubra el-Kheima, karena jarak antara mahattah ini dengan mahattah akhir di Ramsis yang tidak terlalu jauh. Kira-kira pukul 15.00, kami sudah menginjakan kaki kembali di Ramsis Kairo.
Tiga hari dua malam bukanlah waktu yang cukup untuk mengungkap semua khazanah kota tua Thantha. Namun tiga hari dua malam bagi saya adalah waktu yang cukup untuk berkenalan dengan Thantha. Kunjungan pertama begitu menggoda. Kunjungan kedua, tunggu saja tanggal mainnya.


Bawabat II Nasr City Kairo, 22 Januari 2006

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)