Thursday, November 27, 2008

Roman Agustusan*

Oleh : Rashid Satari**
Merdeka! Merdeka? Agustusan selalu berlalu secara eksotis. Bagi Republik Indonesia, agustusan sudah menjadi pesta tahunan. Berlembar-lembar, berkarung-karung rupiah seakan tak jadi soal demi menutupi anggaran agustusan. Meski anggaran tersebut sekedar untuk membiayai pembuatan kain bendera, reklamasi upacara, batang pinang, karung, hingga membayar panggung dangdutan. Keceriaan-keceriaan simbolis sebagai bukti bahwa bangsa ini mensyukuri kemerdekaannya.
Merdeka! Merdeka? Agustusan memang selalu eksotis. Pemerintah tak pernah lupa selalu menghimbau masyarakat untuk sejenak mengheningkan cipta pada pukul 09.30 di tanggal 17 Agustus. Dimanapun dan apapun aktifitas masyarakat saat itu. Mengheningkan cipta sebagai kesetiaan yang (lagi-lagi) simbolis tentang ketertautan hati dengan jalan Pegangsaan Timur 56 pada jam yang sama puluhan tahun yang lalu.
Simbol-simbol. Ternyata kita memang selalu butuh simbolisasi. Simbol sebagai tugu. Simbol sebagai peringatan untuk manusia-manusia yang lemah yang mudah lupa. Lupa akan jadwal, janji bahkan sumpah. Berkali-kali terjadi, kitab suci tidak lagi dihargai pasca pengikraran sumpah dan janji-janji. Sumpah pada pertiwi, sumpah atas jabatan, sumpah atas kesetiaan.
Seperti sumpah setia yang disimbolisasi pada upacara-upacara bendera. Seperti sumpah setia yang disimbolisasikan dengan lantang syahdu Indonesia Raya, Padamu Negeri, Hari Merdeka atau Garuda Pancasila. Agustusan selalu eksotis. Setahun sekali, segenap penghuni republik ini serempak mengumandangkan sumpahnya perlambang janji dan sumpah setia pada bumi pertiwi.
Tak lama kemudian, eksotisme Agustusan akan berlanjut secara dramatis. Tidak semua mengerti akan simbol-simbol. Tidak semua bisa menghayati dan mengelaborasi janji-janji. Bahkan, tidak semua bisa konsisten dengan komitmen sumpah-sumpah. Seperti spontanitas yang tersurat dalam lemparan dua botol air mineral saat penampilan band dalam rangka peringatan kemerdekaan di City Gym Nasr City kemarin lalu. Lebih mengerikan lagi, banyak juga komponen bangsa ini yang tak menghargai simbol-simbol. Manipulasi para jaksa, korupsi para penguasa, jual beli hukum dan suap-menyuap antar pengusaha dengan aparat negara terus berulang pra dan pasca peringatan kemerdekaan. Penyakit kronis yang menahun terjangkit pada para pria tambun berdasi-berpeci yang setiap tahun, yang setiap minggu mengangkat tangan hormat pada bendera di lapangan upacara.
Agustusan selalu eksotis. Agustusan selalu dramatis. Sia-sialah segepok anggaran negara. Mubazirlah keringat para pasukan paskibraka. Tak berarti mengheningkan cipta. Menjadi pilu nada-nada Indonesia Raya. Semakin sepuh dan rapuh sang Garuda. Merdeka hanya jadi fatamorgana.
63 tahun yang lalu semua elemen bangsa punya motivasi yang satu saat melantangkan kata Merdeka. Namun tidak untuk hari ini. Saat kepala negara, jajaran menteri, abdi dalem istana, dan wakil-wakil rakyat berteriak “merdeka!”, di saat yang sama para jurnalis, mahasiswa, rakyat jelata, kaum miskin kota, generasi bangsa tanpa seragam sekolah bertanya-tanya; “Merdeka?”.
*) Dimuat dalam buletin Al-Furqan milik Pwk. Persis Mesir, edisi Agustus 2008.
**) Ketua Umum Pwk. Persis Mesir 2008-2009

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)