Thursday, November 27, 2008

Membela Hak Pendidikan

[Belajar dari Kasus Penyelundupan 39 Santri ke Mesir]
Oleh : Rashid Satari*

Lagi, wajah pendidikan Islam Indonesia kembali tercoreng. Satu kasus mengatasnamakan pendidikan, yang kemudian digolongkan sebagai kasus penyelundupan manusia terjadi. Heboh! Beritanya dimuat di berbagai media tanah air seperti dalam koran Republika edisi Selasa 17 Juni dan Jumat 20 Juni 2008. 39 orang terdiri dari 22 wanita dan 17 pria usia belasan tahun diberangkatkan secara ilegal ke Mesir untuk tujuan pendidikan. Dalih kuliah tanpa test di Universitas Al Azhar dan kemudahan beasiswa menjadi iming-iming yang kemudian terbukti sebagai penipuan.

Menurut informasi dari Bagian Penerangan KBRI Cairo, bahwa pihak pemberangkat telah diperingatkan sebelumnya oleh berbagai elemen di KBRI supaya menempuh jalur sesuai aturan yang dalam hal ini aturan Departemen Agama (Depag) RI tentang mahasiswa baru (baca:maba) Universitas Al Azhar. Namun pihak pemberangkat bersikeras memberangkatkan. Terlepas dari alasan bisnis dan materi, alasan tentang hak pendidikan sempat terdengar. Bahwa pendidikan adalah hak siapa saja.

Pada prinsipnya, sekolah atau menuntut ilmu memang hak siapa saja, dimana saja, kemana saja, tak terkecuali ke Universitas Al Azhar Mesir. Namun, tentunya hak pendidikan tidak bisa dipaksakan, akan tetapi harus ditempuh sesuai ketentuan yang berlaku.

Kondisi Empirik Delapan Tahun Terakhir

Prosedur menembus universitas Al Azhar untuk maba sudah beberapa kali mengalami perubahan. Kebijakan ini selalu disesuaikan dengan keadaan dan juga (tentu saja dengan) kebutuhan.

Tahun 2000 calon maba harus sedikit berspekulasi. Datang dulu ke Mesir lalu mendaftarkan diri. Syukur-syukur bila lulus dan diterima. Bila tidak lulus atau ditolak maka konsekwensinya adalah kembali ke tanah air. Setahun berikutnya, 2001 ada kebijakan metode perwakilan (taukil). Berkas-berkas calon mahasiswa dikirimkan ke Mesir dan didaftarkan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sudah kuliah di Al Azhar. Dan tentu saja, untuk ijazah-ijazah yang telah terakreditasi Al Azhar akan sedemikian mudah diterima. Maka calon mahasiswa tersebut bisa dengan tenang berpamitan pada sanak saudara, handai tolan untuk belajar di kampus yang telah melahirkan Sayyid Qutb, Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, Yusuf Qaradlawi, hingga Quraisy Syihab dan Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) ini.

Sedemikan mudah memasuki Al Azhar hingga tak heran bila data statistik KBRI Cairo menunjukan jumlah maba asal Indonesia yang datang tahun 2004 mencapai 1050 orang. Mereka datang dalam tenggat waktu yang berdekatan. Padahal tahun sebelumnya jumlah maba hanya 300-an. Lebih dahsyat lagi di tahun 2005, maba yang datang mencapai 1.300-an orang. Cairo pun sesak.

Bak jamur di musim hujan, beragam masalah bermunculan. Ada selisih biaya pemberangkatan yang terlampau kontras antara sesama maba. Ini berkaitan erat dengan ulah para calo / broker.

Ada juga masalah tempat tinggal. Karena mayoritas mahasiswa Indonesia berdomisili di Cairo dan terkonsentrasi di satu kawasan yang tak terlalu luas yaitu kawasan Hay Asyir di Nasr City. Maka, rumah pun menjadi masalah yang pelik. Permintaan pasar yang tinggi untuk flat sewaan menjadikan para pemilik flat memasang harga sewa yang jauh lebih mahal dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lebih parah lagi, ada beberapa kasus maba yang terkatung-katung, tak punya kepastian tempat bermalam dan bernaung.

Masalah lain adalah beasiswa. Rata-rata mahasiswa Indonesia yang datang ke Mesir berasal dari kalangan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Seperti kasus terbaru, sebelum berangkat ke Mesir hampir bisa dipastikan setiap maba diiming-imingi kemudahan beasiswa di Al Azhar khususnya dan di Mesir umumnya. Beasiswa di sini memang mudah. Namun, lain halnya bila kondisi pengaju beasiswa mencapai ribuan. Apalagi ternyata Universitas Al Azhar hanya memberikan beasiswa tidak lebih untuk 150 mahasiswa baru asal Indonesia setiap tahunnya. Lantas bagaimana dengan 2000-an mahasiswa lainnya dalam fatrah waktu 2004 dan 2005?

Masalah-masalah lain yang terangkum dalam dua kata "patologi sosial" terjadi di kalangan mahasiswa Indonesia kala itu. Masalah pergaulan, kohesi sosial yang kurang sehat, problem ekonomi dan lain sebagainya.

Upaya Menata Hak Pendidikan

Para stakeholders memutar otak mencari ramuan antisipatif untuk tahun-tahun berikutnya. Pencarian jalan keluar ini kemudian bermuara di kebijakan Depag yang merevitalisasi test masuk ke Al-Azhar. Secara gamblang, test ini bisa kita lihat memiliki dua target. Pertama, menekan jumlah maba. Kedua, menjaring maba berkualitas tak hanya di atas kertas. Yang bila disimpulkan, sistem test ini punya harapan bahwa maba yang datang kemudian berhasil disaring dan ditekan kuantitasnya dengan jaminan kualitas.

Mengapa kualitas? Karena sudah menjadi rahasia bersama, ternyata pada tahun-tahun sebelumnya, tak semua maba yang datang dalam keadaan siap "tempur" dengan diktat-diktat Universitas Al Azhar. Terbukti misalnya, pada tahun akademik 2006/2007, tingkat ketidaklulusan yang dialami mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar pada tingkat pertama sebesar 52%.

Tentang hak pendidikan, pihak Universitas Al Azhar sendiri memang sangat membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mengikuti kegiatan perkuliahan di sana. Hal ini terutama karena alasan bahwa Al Azhar adalah aset wakaf umat Islam sedunia yang mana dana pengelolaannya pun bersumber dari dukungan umat Islam dunia seperti dari negara-negara yang tergabung dalam OKI misalnya. Dan dari intensitas dialog dan hubungan yang baik, Al Azhar memaklumi kebijakan test yang diberlakukan Depag RI.

Salah satu dampak positif test ini adalah menghindari penyalahgunaan kesempatan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab. Kasus penipuan yang akhirnya digolongkan sebagai penyelundupan manusia atau trafficking atas 39 orang kemarin bisa dijadikan sampel kasus. Dana sebesar 17 juta rupiah perkepala yang sebenarnya cukup untuk membiayai keberangkatan dua orang, sia-sia melayang.

Kebijakan Depag tentang test masuk Universitas Al Azhar sendiri sebenarnya telah mengalami perkembangan yang signifikan. Ini ditunjukan dengan adanya penambahan kuota calon mahasiswa dalam bentuk seleksi non-beasiswa yang mulai diberlakukan sejak tahun 2006. Kebijakan sebelumnya, kuota terbatas hanya untuk 100 orang dengan nilai tertinggi dari seleksi beasiswa. Seleksi non-beasiswa memungkinkan adanya kesempatan yang lebih terbuka bagi peminat Al Azhar. Dan, sebenarnya bagi mahasiswa seperti ini masih tetap memiliki kesempatan yang lebar untuk memperoleh beasiswa setelah tiba di Mesir mengingat banyak lembaga lain di luar Al Azhar yang memberikan beasiswa. Dari sini kita bisa melihat bahwa Depag mempermudah kesempatan bagi anak bangsa untuk mengecap bangku Universitas Al Azhar.

Diperlukan penindakan secara tegas terhadap kasus-kasus penipuan dan penyelundupan yang mengatasnamakan pendidikan seperti terjadi kemarin. Selain itu, frekuensi sosialisasi prosedur yang legal pada masyarakat tentang jalan masuk universitas luar negeri khususnya Al Azhar perlu ditingkatkan. Kedua hal ini guna menghindari terulangnya kasus-kasus serupa, juga agar masyarakat kita memiliki gambaran yang jelas tentang masa depan pendidikan putra-puterinya di Al Azhar. Dan, yang tak kalah penting adalah bahwa langkah-langkah ini sebagai bentuk pembelaan kita atas hak-hak pendidikan mereka yang menjadi korban penipuan.

*) Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo, Jurusan Da'wah dan Tsaqafah Islamiyyah.
Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Mesir 2006-2008.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)