Thursday, November 27, 2008

Pendidikan, Bukan Pengajaran*

[Potret Dinamika Pesantren di Tengah Pusaran Globalisasi]Oleh : Rashid Satari**


Pesantren adalah identitas bangsa Indonesia. Kalimat pembuka tadi tidaklah berlebihan. Mengutip Dawam Raharjo, “pesantren adalah sejarah Indonesia”. Kemenangan NU dalam Pemilu 1955 sebagai partai politik terbesar ke-4 menunjukan pengaruh pesantren dalam dinamika Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa.

Dalam perkembangannya, pesantren terus mengalami proses adaptasi. Meski secara defenitif pesantren dimaknai sebagai wadah pendidikan dan penyiaran agama Islam, namun secara empirik pesantren tak berhenti berimprovisasi dengan konteks zaman yang terus berubah. Indikasinya adalah catatan historis yang membuktikan bahwa pesantren menjadi sebuah sub-kultur (meminjam istilah Abdurrahman Wahid) dan kelompok sosial yang melakukan resistensi pada kolonialisme dan imperialisme beberapa dekade ke belakang. Pada perkembangan selanjut pun pesantren menjadi kelompok sosial yang melakukan resistensi terhadap penjajahan model baru yang berkedok globalisasi. Sebuah tuntutan zaman yang akhirnya memicu berbagai ketimpangan sosial di berbagai belahan negara dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia.

Lantas, sudahkah pesantren menjadi “pagar betis” yang kokoh atas potensi negatif modernisasi dan globalisasi? Bagaimanakah seharusnya kiprah pesantren menjawab segala problematika kontemporer yang merongrong moralitas masyarakat Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita coba bedah pada pembahasan selanjutnya.

A. Mendefinisikan Pesantren

Dalam prolog di atas, tersirat pengertian dasar dari pesantren yaitu sebagai lembaga atau tempat pendidikan dan penyiaran agama Islam. Bila ita menerawang lebih jauh ke belakang, maka kita akan temui pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh I.J. Brugman dan K. Meys mengungkapkan pada kita bahwa pesantren lebih tua dari Indonesia, maupun dari Islam di Indonesia.

Menurut Uhar Suhasaputra, terdapat berbagai versi tentang sejarah munculnya pesantren di nusantara. Akan tetapi poin terpenting dari kontroversi proses kemunculannya adalah bahwa pesantren tidak bisa dinafikan sebagai pemegang peran penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Manuskrip-manuskrip Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16, di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang mengkaji berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawuf dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam [Uhar Suhasaputra, 2007]. Martin Van Bruinessen [1995:17] menambahkan bahwa tradisi pengajaran agama Islam seperti ini muncul di Jawa dan luar Jawa.

Sayangnya, lembaga-lembaga semacam ini - yang kemudian dikenal dengan nama “pesantren” - pada tiga sampai empat dasawarsa pertama dari berdirinya republik ini, tidak memperoleh porsi perhatian yang semestinya terutama dari pihak pemerintah Indonesia. Pesantren tereliminasi dari perhatian sistem pendidikan nasional. Baru pada awal dan pertengahan dasawarsa 70-an, pesantren mulai dilirik dan hangat diperbincangkan.

Karakteristik Pesantren

Dr. Soetomo, seorang cendekiawan pendidikan memaparkan bahwa ada beberapa aspek yang membuat pesantren sedemikian menarik. Pertama, sistem pondok. Keberadaan, fungsi dan peran pondok secara langsung menjadi bagian dari sistem yang melakukan pembinaan, tuntutan dan pengawasan langsung terhadap anak didik. Kedua, keakraban hubungan kyai-santri (guru-murid) sehingga ada transformasi ilmu dan nilai-nilai secara intensif. Ketiga, pesantren mampu mencetak orang-orang yang bisa memasuki semua lapangan pekerjaan yang bersifat merdeka. Keempat, adanya cara dan pola hidup sederhana tapi bahagia. Kelima, murah biaya penyelenggaraannya untuk menyebarkan kecerdasan bangsa. Beliau menambahkan bahwa pesantren berfungsi juga sebagai wadah integrasi kultural antara santri – kiayi dan antara santri dengan masyarakat sekitar.

Secara umum, pesantren di Indonesia memang memiliki keseragaman ciri. Menurut Zamakhsyari Dhofier [1982:44-45] pesantren memiliki lima ciri utama. Pertama, pondok atau asrama yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama sekaligus tempat belajar para santri di bawah bimbingan kyai. Kedua, masjid. Kedudukan masjid sebagai sentral / pusat pendidikan ini merupakan manifestasi universal dari sistem pendidikan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan orang-orang sesudahnya.Ketiga, Pengajian kitab-kitab kuning [klasik] Islam. Tujuan utama dari pengajian kitab-kitab kuning adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Keempat, Santri. Kelima, The kyai is the most essential element of a pesantren, because he, assisted by some ustadzs, leads and teaches Islam to the santris. In many cases, he is even the founder of the pesantren [Raihani, 2001:27].

Klasifikasi Pesantren

Ujang (bukan nama sebenarnya) adalah seorang santri berprestasi pada satu pesantren tsanawiyyah - hampir - modern di kota Garut, Jawa Barat. Hampir setiap tahun dia menduduki posisi perinkat I (satu) di kelasnya bahkan di sekolahnya. Spesifikasi prestasinya berfokus pada pelajaran-pelajaran agama seperti Nahwu Shorf. Lulus dengan predikat istimewa, ia memperdalam study ke sebuah pesantren salaf masih di kota yang sama. Empat tahun berlalu, masa studinya pun rampung. Sayang sekali, karena zaman menghendaki legalisasi prestasi, Ujang akhirnya terjebak di pusaran kehidupan metropolitan, menjadi buruh.

Rizal Mumazzik [Kontributor Jaringan Islam Kultural – JIK – alumni PP. Mabdaul Maarif, Jember] dalam tulisannya menyampaikan, ketika pesantren modern banyak berdiri, pesantren salaf masih lebih dominan. Dari 5.226 pesantren salaf di Jawa Timur, Depag baru bisa mengakses 22 pesantren dengan program kesetaraan. Lebih jauh lagi, tercatat 33.250 santri di Jawa Timur belum tersentuh pendidikan formal [Kompas Jatim edisi November 2005].

Dua paragraf di atas menjadi pengantar singkat pada klasifikasi pesantren, Salaf dan Modern. Pun sekaligus mengantarkan kita pada opini penting bahwa pesantren memerlukan modernisasi. Sesuai konteks, kualitas keilmuan perlu didukung dengan “kemasan” yang koheren dengan tuntutan kekinian.

B. Tantangan Pesantren

Dalam konteks era globalisasi di mana segala nilai bisa dengan leluasa keluar masuk framework masyarakat kita, pesantren terbebani tanggung jawab yang tak sederhana. Apa pasal? Globalisasi dan westrenisasi telah dan akan terus menerus menyisakan virus peradaban yang menjadi ‘bom waktu’ dalam tubuh umat Islam. Sebelum tahun 2000, ciuman adalah hal yang sangat tabu. Namun di 2008, adegan ciuman menjadi menu wajib dalam lifestyle masyarakat urban. Ini hanya satu sample kecil saja.

Lebih luas lagi, globalisasi pun tanpa kita sadari lebih awal, telah melegitimasi infiltrasi budaya. Westernisasi berlangsung di dalamnya. Salah satu indikasi adalah muncul fenomena negatif masyarakat dalam mempersepsi hidup yaitu orientasi hidup materialis. Aktifitas kehidupan dilakukan dengan satu tujuan yaitu pendapatan materi sebanyak-banyaknya. Lulusan-lulusan sekolah bahkan pesantren sekalipun tidak lagi memiliki orientasi bagaimana berkontribusi optimal terhadap peningkatan kualitas dan taraf hidup bangsanya. Akan tetapi hanya berorientasi kepada bagaimana mereka memperoleh pekerjaan yang layak sehingga cukup untuk menjamin kehidupan dan keturunannya. Tidak lebih. Perspesi ‘modal-kembali modal’ menjadi ada. Sungguh sebuah ironi.

Saat ini, pesantren juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Kondisi zaman menyeret pesantren pada sebuah pilihan; beradaptasi atau tidak dengan formalitas kelembagaan dunia pendidikan konvensional negara. Ketika pilihan idealis ditempuh seperti dengan pengafiliasian kurikulum kepada sistem kurikulum negara/umum maka di sana terdapat konsekwensi logis yang harus diterima. Seperti konsekwensi penyeragaman standar ujian dan kelulusan yang mana hal ini akan berimplikasi langsung terhadap kegiatan belajar-mengajar (KBM) di pesantren. Maka tak heran bila dalam banyak kasus kita temui terjadinya gesekan antara porsi mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum. Hal terakhir inilah yang berpotensi besar mengancam jati diri dan orisinalitas pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam.

Sementara di lain pihak, pesantren sangatlah diharapkan peran dan fungsinya sebagai pagar betis moralitas masyarakat. Harian Kompas edisi 24 Maret 2002 dan edisi 9 April 2002 membuktikan bahwa dekadensi moral dalam wajah perkelahian pelajar telah terjadi di segala penjuru nusantara. Bahkan, ada kasus yang membuktikan bahwa kalangan santri pun tak luput dari gejala remaja seperti ini. Lebih dari itu, pesantren pun dinilai belum mampu menjadi lokomotif pembersihan blue colar crime dan white colar crime.

Paparan di atas mengantarkan kita sebuah kesimpulan bahwa masyarakat terus bergesekan dengan arus perubahan zaman. Kenyataan ini bisa berimplikasi positif dan berimplikasi negatif dalam waktu yang bersamaan. Pada titik inilah pesantren dituntut untuk tetap bisa konsisten dengan misi utamanya sebagai penyampai risalah Islam sekaligus membumikannya.

C. Konsistensi Pesantren

Para pemerhati dunia pendidikan mengklasifikasikan pesantren kepada dua, yaitu Salaf dan Modern. Dalam konteks perubahan masyarakat saat ini, saya ingin menyoroti pesantren modern secara khusus. Ketika idealisme kebijakan improvisasi Pesantren dengan sistem konvensional negara dilakukan maka ada konsekwensi logis yang harus ditempuh. Diantaranya adalah tuntutan penyesuaian muatan dan porsi jam pelajaran dalam aktifitas belajar mengajar. Hal ini akan berimplikasi langsung terhadap kebijakan ujian tahunan serta kelanjutan karir akademis santri pasca nyatri. Bila kenyataan ini tidak disiasati dengan baik maka akan menimbulkan efek negatif bagi pesantren secara fungsional. Beberapa alternatif langkah yang bisa dilakukan dalam melakukan pembenahan internal diantaranya;

Pertama, Revitalisasi peran masjid dan pondok/asrama. Masjid dimaksudkan sebagai sentral segala aktifitas santri selama study. Adapun pondok atau asrama selain sebagai penginapan santri juga berpotensi menjadi wahana peningkatan kualitas keilmuan. Apalagi bila kita lihat ternyata persentase aktifitas harian santri lebih besar terkonsentrasi pada kegiatan luar kelas (ekstrakurikuler). Maka, optimalisasi pembinaan informal bisa dijadikan alternatif yang baik untuk melengkapi keterbatasan kegiatan belajar - mengajar di kelas (kurikuler). Revitalisasi pondok dan masjid ini ditawarkan mengingat adanya beberapa kasus yang menunjukan gejala penurunan fungsi kedua tempat tersebut.

Terkait poin pertama ini, dalam “Faedahnya Sistem Pondok” [Yogyakarta : Taman Siswa, 1962] Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara pernah memberikan testimony bahwa sistem pondok selain murah biaya operasionalnya, juga interaksi edukatif antara guru dan murid terjadi selama 24 jam terus menerus.

Kedua, Pola kepemimpinan kolektif dalam pesantren. Berangkat dari pentingnya kesinambungan pesantren, tawaran kepemimpinan kolektif dipandang perlu. Karena – seperti yang diungkap Abdurrahman Wahid – kepemimpinan yang ada seringkali tak mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren yang dikelolanya. Banyak pesantren yang berkembang pesat fungsi, peran dan aktifitasnya. Pesantren tidak lagi berkonsentrasi pada aktifitas pengajaran klasik tapi meluas pada peran kemasyarakatan, aktifitas ekonomi dan pendidikan formal.

Ketiga, Prinsip keseimbangan dalam penerapan kurikulum. Harus diakui bahwa tak jarang pesantren yang memiliki orientasi pada skill atau bidang kajian tertentu. Namun ketika kebijakan adaptasi dengan kurikulum konvensional negara diterapkan maka keseimbangan harus dijaga. Prinsip keseimbangan misalnya bisa diterapkan dengan pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mulai diterapkan tahun 2004.

Sistem yang diberlakukan sebelumnya yaitu kurikulum 1994, menerapkan caturwulan (cawu) sebagai periodisasi kegiatan belajar-mengajar (KBM). Kurikulum ini juga menghendaki pola hubungan memberi – menerima antara guru pada murid, serta KBM terkonsentrasi pada isi materi. Berbeda dengan kurikulum 2004 (KBK) yang menerapkan sistem semester dan mengedepankan pola siswa sebagai subjek dalam KBM. Dalam KBK, setiap aktifitas siswa ada nilainya. Siswa aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTEK tanpa meninggalkan kerjasama dan solidaritas, meski mereka sebenarnya berkompetisi. Kurikulum 2004 (KBK) ini kemudian disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang mulai diberlakukan pada tahun 2006/2007.

Keempat, Spesialisasi keilmuan santri. Dalam makalahnya, M.M. Billah (Staf peneliti Litbang. Depag.) menyampaikan bahwa perubahan yang terjadi di dalam masyarakat menimbulkan berbagai efek diantaranya tampak dari semakin berkembanganya diferensiasi dan spesialisasi dalam masyarakat. Keahlian atau skill semakin menjadi tuntutan. Oleh karenanya pesantren dituntut cepat tanggap merespon kenyataan ini. Spesialisasi keilmuan santri bisa diberlakukan sesuai dengan kecenderungan setiap pesantren. Spesialisasi seperti ini dimaksudkan juga sebagai jalan untuk menghindari lahirnya generasi atau lulusan pesantren yang gamang.

Dalam menghadapi arus jeram dunia baru yang bersembunyi di balik topeng globalisasi, pesantren dituntut untuk konsisten mencatak kader umat yang kompetitif. Oleh karenanya, kegiatan di dalam pesantren sejatinya mencakup tiga potensi santri yaitu kognitif, afektif dan prikomotor. Pengajaran saja tidak cukup untuk memenuhi itu semua. Perlu aktifitas pendidikan dalam pesantren di mana sinergi aktifitas dibangun berpadu secara holistik dan integral.
Wallahua’lambishawab.
*) Dipresentasikan dalam Dialog Umum HAKPW, dalam rangka Ulang Tahun Pondok Pesantren Wali Songo ke-47, Cairo - 04 April 2008
**) Mahasiswa program Licence Universitas Al Azhar Cairo, Jurusan Da'wah wa Tsaqafah Islamiyyah.


Daftar Pustaka

1. M. Dawam Rahardjo dkk., Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, Cet. I, Jakarta:P3M, 1985
2. Hasballah M. Saad, Perkelahian Pelajar, Potret Siswa SMU di DKI Jakarta, Cet. I, Yogyakarta:Galang Press, 2003
3. Uhar Suhasaputra (web)
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Berbasis_Kompetensi
5. Swara Ditpertais Cybermedia
6. www.persistarogong.com
7. www.kompas.com
8. www.republika.com

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)