Thursday, November 27, 2008

Desentralisasi PPMI*


- Sinergi Organisasi Menuju Peningkatan Kualitas Akademik Mahasiswa -
Oleh : Rashid Satari**

"Wadah berhimpunnya pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir untuk mencapai cita-cita pembinaan pribadi, pendalaman ilmu dan pengembangan potensi, peningkatan iman dan amal shalih, serta penyaluran partisipasi dan pengabdian sosial." [AD-PPMI Bab I Pasal 7 Ayat 1 tentang Fungsi PPMI].

Penggalan undang-undang PPMI di atas secara tersirat menunjukan bahwa PPMI merupakan sebuah organisasi integral. Soerjono Soekanto – sosiolog – mengatakan, "organisasi merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan kesatuan fungsional". Integritas PPMI ini kemudian dipertegas dalam AD [Anggaran Dasar] bab III tentang susunan organisasi, dan pada ART [Anggaran Rumah Tangga] Bab I sampai bab VIII. PPMI adalah sebuah organisasi yang berdiri dengan sokongan besar berbagai organisasi lain di bawah naungannya.

Sebagaimana ditegaskan dalam AD-ART, PPMI sebagai perkumpulan pelajar dan mahasiswa memiliki garapan khusus yang utama yaitu pengelolaan dan pembinaan mahasiswa sebagai insan akademik. Segala aktifitas kegiatan harus berorientasi ke arah peningkatan kualitas akademik mahasiswa.

Akan tetapi pada prakteknya idealisme tersebut belum juga terimplementasikan dengan baik. PPMI yang integral belum tampak dalam tataran praktis di lapangan. Seringkali tidak ada sinkronisasi program PPMI [DPP] dengan organisasi-organisasi di bawahnya. Konsekwensinya, sedikit banyak hal ini berpengaruh pada dinamika akademis mahasiswa. Sebagai study kasus, tahun 2005 misalnya, sebuah organisasi Marhalah Mardhati (angkatan kedatangan 2003) menyelenggarakan acara Malam Karya Anak Bangsa (MKAB) yang melibatkan berbagai ikatan pelajar-mahasiswa se-Asia Tenggara di Cairo. Acara yang patut diapresiasi. Namun pertanyaannya adalah mengapa organisatornya bukan PPMI (DPP), organisasi yang lebih representatif?! Seperti Wihdah 2006-2008 yang sukses meramu Asian Culture. Sementara di pihak lain, DPP PPMI tak jarang mengadakan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya lebih representatif diadakan oleh organisasi - organisasi di bawahnya.

Lantas, ada apa sebenarnya di tubuh PPMI? Bagaimana fenomena seperti tersebut di atas bisa terjadi? Juga yang tak kalah penting adalah bagaimana dampak dari fenomena di atas terhadap mahasiswa dan masa depannya? Apa dan bagaimana membenahinya?

A. DINAMIKA PPMI

Sebelum melangkah lebih jauh, pertama-tama mari kita simak terlebih dahulu apa itu PPMI juga apa itu SGS [Student Government System].

A.1 Sekilas PPMI

Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga [AD-ART] PPMI dinyatakan bahwa PPMI merupakan sebuah organisasi yang menaungi seluruh siswa dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir. Sebagai organisasi induk, PPMI menaungi berbagai organisasi lain di bawahnya. Baik itu organisasi-organisasi yang berkaitan langsung secara stuktural ataupun berkaitan secara tidak langsung.

Tentang hal terakhir tadi, Term of Reference [TOR] Lokakarya Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir menyampaikan bahwa di Mesir terdapat berbagai organisasi pelajar Indonesia dengan PPMI sebagai Induknya. Sementara pelajar putri dinaungi oleh sebuah organisasi otonom PPMI bernama Wihdah. Di samping itu ada 16 organisasi kekeluargaan berdasarkan wilayah geografis di Indonesia. Juga terdapat berbagai organisasi lain seperti organisasi berdasarkan bidang study [senat mahasiswa], almamater, kelompok kaijan, pers, LSM, perwakilan parpol, ormas dan lain sebagainya.

Bila disimpulkan, dari AD-ART ini kita bisa ketahui bersama bahwa sebenarnya PPMI secara defenitif di dalamnya terklasifikasikan kepada dua. Pertama, Lembaga Tinggi [MPA, BPA, DPP, BPD, DPD] dan kedua, Lembaga Otonom [Wihdah, Kesenatan dan Kekeluargaan].

Adapun OK [Organisasi Khusus] seperti organisasi Afiliatif [ormas dan orpol], organisasi independen, dan organisasi almamater lebih sebagai organisasi mitra bagi PPMI yang mana diantara keduanya tidak memiliki garis hubungan keorganisasian atau kelembagaan secara langsung.

PPMI pusat berkedudukan di Cairo sekaligus menaungi langsung mayoritas mahasiswa Indonesia di Mesir. Jumlah mahasiswa Indonesia yang tinggal di kota Cairo memang jauh lebih banyak dibandingkan kota-kota lain. Adapun untuk menaungi para mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar Cairo, seperti di Zagazig, Thantha, Manshura, ada cabang PPMI yang dikenal dengan nama DPD [Dewan Pengurus Daerah] PPMI.

Menurut Cecep Taufiqurrahman, S.Ag [ketua MPA-PPMI 2004-2005] dalam makalahnya Anatomi Organisasi di Lingkungan Masisir, PPMI menjadi organisasi induk karena hanya PPMI-lah yang diakui keabsahannya oleh pemerintah Republik Arab Mesir.

B.2. Sekilas SGS (Student Government System)

Pasca Musyawarah Besar [Mubes] PPMI tahun 2003, PPMI mengambil sistem pemerintahan mahasiswa atau yang dikenal dengan SGS [Student Government System] sebagai pola pergerakannya. Dari sinilah PPMI mulai dilengkapi dengan berbagai unsur pendukung seperti kehadiran lembaga tinggi yang terdiri dari lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif. Hal ini mengadopsi sistem pemerintahan mahasiswa yang banyak diterapkan di kampus-kampus tanah air juga mengadopsi trias politica yang ada dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Dalam Modul Orientasi Mahasiswa Baru 2004, Cecep Taufiqurrahman, S.Ag menyampaikan bahwa untuk konteks PPMI, fungsi legislatif dan yudikatif dipegang langsung oleh sebuah lembaga bernama BPA [Badan Perwakilan Anggota] PPMI. Beberapa fungsinya adalah menyelesaikan berbagai problem konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya serta mengawasi kekuasaan lembaga eksekutif. Selain itu, lembaga ini juga bertugas mengatur dan menyelesaikan persoalan hukum.

Adapun lembaga eksekutif merupakan lembaga tinggi yang bertugas sebagai pelaksana seluruh kebijakan lembaga legislatif. Oleh karena itu, seluruh program yang dibuatnya harus mengacu pada kebijakan perundang-undangan yang disahkan oleh lembaga legislatif. Lembaga eksekutif ini direpresentasikan dengan Dewan Pengurus Pusat [DPP] PPMI.

Masih dalam sumber yang sama, ketiga lembaga ini adalah lembaga tinggi sehingga tidak boleh saling menjatuhkan satu sama lain.

Di atas ketiga lembaga tinggi ini terdapat lembaga tertinggi yang direpresentasikan dengan MPA [Majelis Permusyawaratan Anggota] PPMI. Lembaga ini adalah wadah berkumpulnya seluruh perwakilan seluruh elemen organisasi yang berada di dalam PPMI. Wewenang MPA PPMI ini diantaranya adalah menyelenggarakan sidang umum, mengamandemen AD-ART PPMI, mengimpeach presiden PPMI jika terbukti melanggar AD-ART atau GBHO PPMI dan mengangkat presiden yang baru.

Dalam kacamata sejarah, masisir membutuhkan SGS ini untuk menata dinamika mahasiswa. Tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah mahasiswa yang banyak membutuhkan wadah-wadah yang banyak pula. Karena wadah-wadah [organisasi] inilah yang selanjutnya menjadi penampung segala kreatifitas, inovasi, ide, bahkan keluh dan kesah. Dari sini kita bisa memaklumi bersama ketika akhirnya bermunculan beragam organisasi secara heterogen. SGS diharapkan mampu menjadi formula yang baik dalam menjaga efektifitas dan sinergitas dari dinamika organisasi-organisasi yang ada.

B. KONDISI EMPIRIK CIVITAS AKADEMIKA DAN PERMASALAHANNYA

Dunia mahasiswa adalah dunia akademik. Apa itu akademik? Kamus Ilmiah Populer (Surabaya, 1994) susunan Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry menyebutkan bahwa akademik adalah "keilmuan; tentang pengajaran di perguruan tinggi; bersifat ilmu pengetahuan; berteori; tidak praktis". Demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, 1976), adalah "mengenai akademi; bersifat ilmu pengetahuan". Sumber-sumber ini menunjukan bahwa dunia mahasiswa tidak melulu berkutat di kampus. Bagi mahasiswa, aktifitas keilmuan [akademik] bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa merupakan kalangan muda yang memiliki potensi besar dalam memainkan peran sebagai Agent of Change. Sebagai kalangan muda, mahasiswa selalu memiliki kecenderungan untuk selalu bergerak, berubah, berinovasi dan berimprovisasi. Itulah mengapa mahasiswa selalu membutuhkan wahana-wahana pemberdayaan dan eksplorasi diri dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya.

Dalam konteks masisir, kecenderungan itu bisa kita lihat dalam geliat dinamika berorganisasi. Ada banyak organisasi di bawah naungan payung PPMI. Kenyataan ini menjadi indikasi positif. Karena terdapat beragam dimensi penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pemuda mahasiswa. Di samping kualitas keimanan dan ketaqwaannya, juga terdapat kualitas kesadaran, kematangan emosional, ketahanan mental serta solidaritas sosial. Organisasi sebagai kelompok belajar sosial bersama amat penting dilakukan oleh pemuda mahasiswa. Yaitu ketika sesama mahasiswa saling bekerja sama, memberi, menerima dan bertukar pikiran dalam sebuah teamwork sehingga terjadi transformasi belajar bahkan apa yang disebut "lesson learned" , kalau mungkin "insight" yang membuat para mahasiswa menjadi lebih arif (Darmanto Jatman, 2004). Akhirnya, kita bisa memahami betapa besar arti berorganisasi bagi mahasiswa.

Adapun aktifitas akademik di tengah Masisir bisa dikategorikan kepada dua, yaitu aktifitas di kampus dan di luar kampus. Aktifitas di kampus umumnya berbentuk pertemuan kelas [muhadlarah]. Adapun aktifitas luar kampus beragam bentuknya. Ada talaqi, kajian, bimbingan belajar, bimbingan muqarrar, seminar, try-out dan lain sebagainya. Dalam aktifitas luar kampus inilah organisasi sangat berperan besar.

B.1. Mahasiswa dan Kampus

Sudah menjadi rahasia umum bahwa mahasiswa Indonesia tidak memperoleh porsi kegiatan akademik yang besar di kampusnya [Universitas Al Azhar]. Apalagi hal ini didukung dengan ketiadaan sistem absensi baku yang diterapkan pihak universitas. Kalaupun ada, lebih bersifat musiman seperti ketika mendekati masa ujian semester. Itupun hanya diberlakukan oleh beberapa dosen saja. Kenyataan ini mendorong mahasiswa kita untuk tidak disiplin mendatangi kegiatan belajar-mengajar di kampusnya.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di Cairo, melainkan juga terjadi di daerah / kota-kota lain seperti Zagazig, Thantha dan Manshura. Sehingga tak aneh bila banyak mahasiswa daerah yang berdomisili di Cairo dan hanya kembali ke tempat kuliahnya ketika musim ujian semester tiba. Oleh karena itu, kenyataan yang menunjukan prestasi akademik mahasiswa di daerah lebih baik ketimbang mahasiswa Cairo itu bukanlah karena dukungan kegiatan di kampus. Akantetapi lebih karena lingkungan yang lebih kondusif bagi mahasiswa di sana untuk hanya memusatkan konsentrasi kepada diktat kuliah.

Sebagaimana kita tahu, kondisi lingkungan di daerah berbeda dengan Cairo. Mahasiswa kita di daerah tidak terlalu dipusingkan dengan lalu lintas organisasi kemahasiswaan yang rumit. Selain itu, interaksi dengan masyarakat pribumi relatif lebih baik, tindak kejahatan minim, harga sewa flat [saqah] relatif lebih murah, banyaknya celah suplay bantuan seperti bantuan sembako. Selain itu, lokasi tempat tinggal mahasiswa umumnya berdekatan dengan kampus bahkan dengan kediaman para pengajar [dosen, duktur]. Kondisi yang sulit ditemukan di Cairo.

B.2. Mahasiswa dan Organisasi

Tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa memerlukan wahana yang bisa memfasilitasi segala potensi mudanya yang penuh dengan semangat inovasi dan kreasi. Ketika wahana yang dimaksud tidak ditemui di lingkungan kampus sebagaimana lazimnya terjadi di universitas-universtas di tanah air [BEM, Senat dll] maka mereka secara kreatif membangun sendiri atau bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada. Mengingat beragamnya organisasi yang ada, maka tidak aneh bila banyak kita temui mahasiswa yang aktif di beberapa organisasi dalam waktu yang sama. Kondisi ini terjadi khususnya pada mahasiswa Indonesia yang berdomisili di Cairo.

Sebagai gambaran, seorang mahasiswa rata-rata memiliki latar belakang identitas [backround identity] yang tidak satu. Minimal ia aktif di tiga organisasi yaitu sesuai dengan almamaternya, ormasnya dan kekeluargaannya. Kemungkinan besar ini akan ditambah dengan keaktifan dia di organisasi senat, pers, dan PPMI [kepanitiaan atau kepengurusan]. Keaktifan seperti ini sebenarnya positif. Namun, akan menjadi sebaliknya ketika aktifitas mondar-mandir di berbagai kepanitiaan lebih banyak menyita waktu dan konsentrasi ketimbang dimanfaatkan dengan kegiatan edukatif yang memenuhi kelengkapan wawasan intelektual akademik seperti kajian ilmiah, daurah bahasa asing [arab/inggris], bedah diktat kuliah [Muqarrar] dan wawasan keilmuan lainnya.

Sementara itu, di sisi lain ternyata perbandingan jumlah mahasiswa yang aktif di kegiatan organisasi ini hampir seimbang persentasenya dengan mereka yang lebih memilih tidak ikut menyibukkan diri. Bisa kita lihat, dari keseluruhan jumlah mahasiswa, berapa persen yang aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi? Bahkan, persentase mahasiswa yang lebih memilih tidak aktif cenderung lebih besar jumlahnya. Mahasiswa aktif tersebut umumnya mereka yang statusnya masih tahun kedua atau ketiga di sini. Sehingga tak heran, banyak mahasiswa seperti ini yang dalam waktu bersamaan aktif di beberapa organisasi.

Persoalan tidak berhenti di sana. Aktifitas keorganisasian di tengah Masisir memiliki limit waktu tertentu dalam agenda tahunan mahasiswa. Rata-rata enam bulan dalam satu tahun [dua bulan musim dingin, empat bulan musim panas]. Aktifitas keorganisasian ini umumnya berlangsung di sela-sela liburan semester pasca ujian [imtihan]. Namun rupanya tidak hanya cukup di sana. Aktifitas keorganisasian terus bergerak ketika masa-masa kuliah telah berlangsung.

Persoalan akan semakin rumit ketika kondisi seperti di atas diperparah dengan ketiadaan sinkronisasi atau sinergitas antara satu kegiatan dengan kegiatan lain. Setiap kegiatan bergerak sendiri dengan arahnya masing-masing. Pada titik yang paling ekstrim, tanpa disadari terjadi kompetisi kegiatan secara kultural. Parameter kesuksesan acara menjadi tidak sehat. Kemeriahan, hingar-bingar, auditorium Shaleh Kamil dan Kuliyyah Tibb menjadi standarisasi kesuksesan acara.
Bila kita menoleh ke belakang, betapa banyak kegiatan yang diselenggarakan secara massif, besar, menghabiskan banyak dana, namun kemudian menguap begitu saja. Hanya berakhir di pembagian sertifikat penghargaan. Sebagai sampel adalah Pelatihan Trustco (2005) dan Pelatihan Manajemen Zakat bersama Didin Hafidzudzin dan Syafii Antunio (2005). Ketiadaan tindak lanjut [follow-up] pasca acara tersebut menjadikannya tidak efektif.

Semuanya terus berlangsung ketika pada waktu yang sama banyak kasus membuktikan bahwa kemampuan dasar [basic skill] seperti bahasa Arab sebagai penunjang kuliah mahasiswa di Mesir masih minim. Buletin Informatika ICMI orsat Cairo edisi 131 Maret 2008 mengangkat isu ini.

Apa yang diperoleh mahasiswa setelah itu semua? Mahasiswa akan kembali ke wilayah privacy yaitu ke hadapan diktat-diktat [muqarrar]nya menjelang masa ujian tiba. Untuk kemudian menanti hasil ujian [natijah] dengan penuh kecemasan.

D. ALTERNATIF SOLUSI

PPMI dengan bentuknya yang sekarang adalah anugerah yang harus disyukuri. PPMI merupakan buah perjalanan panjang yang disemai dengan akumulasi ide, pikiran, keringat mahasiswa kita dari tahun-tahun ke belakang hingga hari ini. Sembari menghargai pengorbanan para pendahulu mahasiswa tersebut, ada beberapa tawaran solusi yang ingin saya sampaikan di sini.

C.1 Membangun kesepahaman paradigmatik tentang dinamika yang sehat
Ada sebuah cara pandang yang harus dibangun bersama di antara sesama organisasi bahkan di antara Masisir secara keseluruhan. Parameter sukses tidaknya kepenguruan sebuah organisasi hendaknya tidak diukur pada banyak-sedikitnya kegiatan atau meriah-tidaknya acara yang digelar. Tapi parameternya adalah efektifitas dan efisiensi kegiatan organisasi sebagai penunjang prestasi akademik anggota-anggotanya. Harus ditegaskan bahwa saat ini kita merupakan bagian atau anggota dari sebuah komunitas intelektual [mahasiswa]. Peran dan aktifitas kita harus dikontekstualisasikan sesuai identitas dengan penuh totalitas.


C.2. Revitalisasi Keanggotaan PPMI
Berdasarkan pengalaman, seringkali mahasiswa merasa tidak memiliki kepentingan dengan PPMI. Dampaknya, tidak ada rasa memiliki [sense of belonging]. Hal ini terjadi terutama karena mahasiswa ketika pertama kali sampai di Mesir lebih dahulu mengenal organisasi di bawah PPMI. Hal ini sebenarnya bisa dihindari.

Ketika mahasiswa baru tiba di Mesir, pihak P3MB bisa bekerjasama dengan setiap pihak yang berkepentingan [mediator, broker, almamater, kekeluargaan dlsb] untuk mengimplementasikan kewajiban pembuatan Kartu PPMI. Ini menjadi langkah awal pembangunan citra PPMI di mata mahasiswa baru. Setiap individu mahasiswa baru akan merasakan kesan pertama secara langsung bahwa dirinya adalah anggota dan bagian dari PPMI.

Meminjam konsep Anis Matta dalam bukunya Model Manusia Muslim; Pesona Abad ke-21, tentang tangga-tangga kualifikasi manusia muslim, "Afiliasi, Partisipasi dan Kontribusi" . Afiliasi adalah mahasiswa baru memahami dengan baik PPMI. Mereka mengerti betul urgensi keanggotaannya di PPMI. Dari sini pemahaman ke-PPMI-an ini akan melahirkan komitmen diri sebagai anggota.

Setelah afiliasi, tahap selanjutnya adalah Partisipasi. Pada tahap ini, mahasiswa baru mulai terlibat dalam aktifitas sosial. Mereka sadar sebagai bagian dari komunitas akademik PPMI [Masisir] dan secara proaktif melibatkan diri dalam dinamikanya. Setidaknya akan lahir 4 [empat] hal dari tahap partisipasi ini. Pertama, rasa keterlibatan sebagai bagian [Sense in-group] dari PPMI. Kedua, memiliki sejumlah pengetahuan sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, mengetahui dan menguasai peta dan medan lingkungan Masisir baik itu dalam hubungannya antar sesama mahasiswa ataupun hubungannya dengan lingkungan/masyarakat negara setempat.

Tahap terakhir adalah Kontribusi. Kontribusi adalah bahwa mahasiswa harus memilih salah satu organisasi yang diyakini cocok dengan potensi diri [internal] dan peluang [external] dia. Sebagai manusia, kemampuan mahasiswa terbatas. Mahasiswa tidak mungkin bisa melakukan segalanya. Oleh karena itu, dalam kontribusi, mahasiswa haruslah tahu titik kekuatan dan kelemahannya. Untuk kemudian beramal dan berkarya sebaik-baiknya pada organisasi yang dipilih.

C. 3 Desentralisasi PPMI

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, PPMI adalah organisasi induk yang membawahi dan menaungi berbagai organisasi lain di dalamnya. Oleh karena itu, PPMI merupakan organisasi yang memiliki posisi strategis. Maka, wilayah kerjanya pun hendaknya lebih terkonsentrasi pada wilayah strategis saja tanpa turun langsung ke wilayah praktis dan teknis. Ketika PPMI menangani langsung tataran teknis-praktis, ini akan menjadi kesulitan tersendiri, apalagi bila mengingat besarnya volume anggota PPMI.

Mari kita soroti kenyataan yang terjadi di lapangan. Dalam Laporan Kerja Semester [LKS] DPP PPMI 2007-2008 ada yang menarik untuk dikaji, yaitu pada laporan Bidang Keilmuan yang berada di bawah Menteri Koordinasi [Menko] I. Tentang program Try-Out. Dalam laporan itu disampaikan, bahwa dari try-out yang dilaksanakan pada 15 Desember 2007 ini terdapat 82 orang saja dari jumlah keseluruhan Mahasiswa Baru. Jumlah ini terbagi pada 47 orang Ushuluddin, 30 orang Syariah Islamiyyah dan 5 orang Bahasa Arab. Secara akumulatif dari 82 peserta, lulus 47 orang [1 Mumtaz, 10 Jayyid Jiddan, 21 Jayyid, 15 Maqbul, 13 Dhaif, 22 Dhaif Jiddan]. Adapun peserta yang tidak lulus berjumlah 35 orang.

Di pihak lain, menurut P3MB [Panitia Pelaksana Pendaftaran Mahasiswa Baru] 2007-2008 jumlah mahasiswa baru tahun kedatangan 2007 mencapai jumlah 469 orang dengan rincian 83 orang berbeasiswa Al Azhar, 263 orang biaya mandiri, 120 orang non-muqayyad [kedatangan tahun kemarin, muqayyad tahun ini] dan 3 orang tedaftar di luar Universitas Al Azhar. Ini belum ditambah dengan kenyataan pahit yang menunjukan angka ketidaklulusan mahasiswa tingkat I tahun akademik 2006/2007 sebesar 52% (TOR Lokakarya Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir).

Dari gambaran di atas ada beberapa pertanyaan yang muncul. Pertama, bila try-out ini dimaksudkan sebagai pembinaan bagi mahasiswa baru, maka bagaimana dengan pembinaan mahasiswa baru yang tidak sempat ikut try-out? Kedua, bagaimana pola tindak lanjut [follow-up] program ini mengingat tidak sedikitnya jumlah peserta yang sangat membutuhkan pembinaan? Ketiga, apakah hanya mahasiswa baru yang membutuhkan try-out, mengingat tingkat kegagalan [rasib] yang tinggi di tahun-tahun terakhir?

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah persoalan yang membutuhan jawaban secara praktis di lapangan, tidak hanya di atas kertas. Dan jawaban ini akan menjadi sangat sulit direalisasikan bila tanggung jawab hanya tertumpu pada kepanitiaan try-out DPP PPMI saja atau Bidang Keilmuan-nya. Lain halnya ketika penanggulangan dilakukan pula oleh keterlibatan langsung pihak yang lebih memiliki akses langsung kepada mahasiswa di grass root yaitu organisasi kekeluargaan. Adalah hal yang tidak mustahil bila upaya positif seperti try-out dilakukan oleh setiap organisasi kekeluargaan dengan soal-soal dan metode evaluasi / penilaian yang menginduk di bawah pengelolaan DPP PPMI. Langkah ini lebih memungkinkan perangkulan peserta lebih besar, penghematan biaya karena lokasi bisa di sekretariat masing-masing, dan follow-up yang lebih mudah karena kemampuan kekeluargaan yang lebih besar dan leluasa dalam mengakses anggotanya.

Seperti itu juga dengan kegiatan Ormaba [Orientasi Mahasiswa Baru]. Pada tahun 2006-2007, mahasiswa baru yang terdaftar di P3MB sebesar 647 orang. Adapun mereka yang mengikuti kegiatan Ormaba PPMI hari pertama sebesar 435 orang [307 putera dan 128 puteri] dan hari kedua sebesar 326 orang [203 putera dan 123 puteri] (LKS I DPP PPMI 2006-2007). Data ini menunjukan 200-an orang mahasiswa baru tidak mengikuti Ormaba. Ada hal menarik terjadi satu tahun berikutnya. Dalam LKS DPP PPMI 2007-2008 tertulis jumlah peserta Ormaba dengan rincian angka yang sama persis dengan tahun sebelumnya. Kejanggalan yang terjadi pada angka jumlah peserta Ormaba di LKS 2007-2008 menimbulkan dua asumsi. Pertama, adanya kesalahan teknis di luar kesengajaan dalam penulisannya. Kedua, ada kesulitan pendataan yang dialami panitia penyelenggara.

Hal seperti di atas sebenarnya bisa diminimalisir bila penyelenggara [DPP PPMI] mencoba terobosan baru dalam pelaksanaan Ormaba. Langkah ini bisa ditempuh dengan jalan desentralisasi Ormaba. Maksudnya, teknis Ormaba dilaksanakan di setiap kekeluargaan yang ada dengan penyeragaman materi dan silabus yang menginduk pada DPP PPMI.

Langkah tersebut berinvestasi positif. Selain penghematan biaya, setiap mahasiswa baru berpeluang besar bisa mengikuti Ormaba. DPP PPMI tak perlu lagi keluar dana untuk penyewaan aula Shaleh Kamil misalkan. Juga, pihak kekeluargaan bisa menyisipkan materi-materi muatan lokalnya dalam Ormaba. Karena yang terjadi selama ini, setiap kekeluargaan mengadakan pula Ormaba secara mandiri.

Penyelenggaraan Try Out dan Ormaba hanyalah sampel kecil. Kebijakan serupa bisa juga diterapkan dalam berbagai hal positif lainnya. Seperti kegiatan bimbingan belajar, bimbingan muqarrar atau kajian-kajian ilmiah. Hingga saat ini kita tidak tahu, pun tidak bisa mengontrol apakah perkembangan kegiatan berwawasan intelektual-keilmuan di kantung-kantung massa mahasiswa [organisasi kekeluargaan] ini merata atau tidak. Bagaimana intensitasnya, bagaimana problematikanya. Bila DPP PPMI bisa menerbitkan Jurnal Himmah, Gamajatim [organisasi kekeluargaan Jawa Timur] menerbitkan Islam Adaptif, Fosgama [Forum Study Keluarga Madura] punya Jurnal Bindhara. Maka, organisasi kekeluargaan lainpun punya kesempatan dan potensi yang sama. DPP PPMI selaku organisasi induk hanya perlu menginventarisir untuk kemudian duduk bersama melakukan subsidi silang baik dalam hal materiil maupun moriil [sharring kendala, kebutuhan dan pengalaman dalam pengelolaan].

C.4 Optimalisasi Peran dan Fungsi Kekeluargaan
Desentralisasi PPMI yang disinggung di atas berkaitan langsung dengan keberadaan organisasi kekeluargaan. Bila kita cermati, diantara LO yang dimiliki PPMI, kekeluargaan adalah organisasi yang paling menarik untuk dicermati. Mengapa? Pertama, untuk konteks Masisir, kekeluargaan sebagai basis massa-mahasiswa terbesar dan mengakar. Kedua, kekeluargaan sebagai organisasi kultural mahasiswa yang paling berpotensi mandiri dan bonafit. Ketiga, kekeluargaan memiliki peluang jangka panjang karena punya hubungan langsung dan erat dengan Pemda [Pemerintah Daerah] dan masyarakatnya masing-masing di tanah air. Keempat, masih terdapat ketimpangan relasi diantara kekeluargaan dengan PPMI [DPP].

Tiga poin pertama lebih sebagai kelebihan organisasi kekeluargaan dibanding organisasi lain. Adapun poin keempat adalah realita kontraproduktif yang selama ini terjadi. Mari kita cermati. Dalam Anggaran Rumah Tangga [ART] PPMI disebutkan bahwa kepengurusan kekeluargaan [LO] dilantik dan atau dikukuhkan oleh presiden PPMI. Juga, LO memberikan hasil laporan pertanggungjawaban di akhir kepengurusan kepada DPP PPMI [bab V pasal 39 tentang hak dan kewajiban LO]. Berlangsungkah hal tersebut selama ini? Yang terjadi adalah bahwa umumnya pengurus baru kekeluargaan dilantik oleh MPA-nya sendiri. Begitupun dengan LPJ, berakhir dalam lemari arsip masing-masing. Ini hanyalah sebagai sampel indikasi sederhana.

Dalam dokumentasi PPMI Academic Award 2007 terungkap bahwa dari sekian organisasi yang merupakan bagian PPMI, organisasi kekeluargaan adalah organisasi yang lebih memiliki akses kepada anggotanya dibanding organisasi lain.
Data jumlah anggota dan persentase kelulusan-ketidaklulusan yang dimiliki kekeluargan nampak lebih terkoordinir dan terkontrol daripada organisasi lain. Dari 16 organisasi kekeluargaan yang ada, semua memiliki pendataan yang baik. Lain halnya dengan apa yang terjadi di organisasi kesenatan. Dari 5 organisasi senat, hanya tiga senat [Syariah Qanun, Dirasat dan Bahasa Arab] yang tampak memiliki pendataan.

Senat Ushuluddin dan Syariah Islamiyyah tidak tercantum di sana, padahal bukankah kita tahu bersama bahwa mayoritas mahasiswa kita di sini kuliah di dua fakultas tersebut. Dalam Buku Induk III DPP PPMI [data per 16 Juli 2006] terungkap bahwa jumlah mahasiswa yang menjadi anggota SEMA-FSI [Senat Mahasiswa Fakutas Syariah Islamiyyah] sejumlah 1258 orang. Jumlah lebih besar lagi tedapat di senat Ushuluddin yang mencapai angka 1723 orang anggota. Artinya, bila dilihat dari sudut pandang ke-senat-an, dokumentasi PPMI Academic Award tersebut menunjukan adanya kesulitan dalam pengelolaan mayoritas mahasiswa kita. Kenyataan berkata sebaliknya ketika hal ini disorot dari kacamata organisasi kekeluargaan.

Beranjak dari sana, mari sejenak kita sowan ke KKS [Kerukunan Keluarga Sulawesi]. Meski KKS adalah organisasi kekeluargaan [kedaerahan] tapi di sana ada CEMC [Celebes English Meeting Club]. Sebuah perkumpulan pengkaji bahasa asing [English] yang memiliki agenda tahunan berupa English Camp, juga kegiatan mingguan berbahasa Inggris sebagai follow-upnya. Ini menjadi bukti bahwa organisasi kekeluargaan manapun bisa menjadi komunitas yang "Think Globally Act Locally". Meski namanya "organisasi kekeluargaan", bukan berarti nama ini mengalienasinya dari aktifitas-aktifitas lain seperti aktifitas study akademik misalkan.

Pulang dari KKS, mari mampir sebentar ke KPMJB [Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat]. Saat ini, di KPMJB tengah mewacana pemberdayaan lembaga Kabupaten secara kultural. Adanya pengkoordiniran anggota berdasarkan asal kota mulai berjalan. Di sana sudah ada Fosmagati [Cirebon dan sekitarnya] dan Sawarga [Garut dan sekitarnya] yang sudah memiliki koordinasi internal dalam pembinaan SDM anggota dilengkapi seorang Bupati sebagai koordinator dan mailing-list sebagai media kontrol. Adapun untuk kota-kota lain tengah dalam proses penataan. Lembaga kabupaten ini langsung berada di bawah kontrol dan koordinasi Gubernur KPMJB. Hal ini mempermudah pembinaan anggota hingga tingkat paling bawah.

Ada juga yang menarik di KPTS [Keluarga Pelajar Tapanuli dan Sekitarnya]. Baru-baru ini [09 Maret 2007] KPTS mengadakan acara internal berupa Daurah Bahasa Arab yang bersifat "dari, oleh, dan untuk mahasiswa". Pada acara ini ada moderator, pemakalah sekaligus presentator juga peserta. Acara dari awal hingga akhir disetting dengan bahasa Arab secara penuh.

Tentunya organisasi kekeluargaan lain memiliki acara yang mungkin sejenis atau lebih canggih lagi. Ini semua mengindikasikan bahwa organisasi kekeluargaan berpotensi besar menjadi gerbong pembangunan mental pembelajar secara massif di tengah-tengah Masisir. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya prestasi akademik kembali pada faktor personal [privacy project], sedangkan organisasi [Amal Jama'i] lebih sebagai perantara [wahsilah] saja. Fungsi "perantara" inilah yang berpotensi diperankan secara maksimal oleh organisasi kekeluargaan.

Ketika kegiatan akademik menjadi tema dan orientasi sentral segala aktifitas organisasi di tubuh PPMI dan di lingkungan Masisir secara serempak, maka dengan sendirinya akan terbangun budaya skala prioritas dalam beraktifitas. Mana yang primer mana yang sekunder. Mana yang penting diangkat ke ranah publik dan mana yang cukup menjadi konsumsi skala lokal.

Bagaikan jalan pintas [by-pass], pembenahan kualitas keilmuan berbasiskan organisasi kekeluargan akan lebih cepat, mudah dan murah dilakukan. Selain itu, pembenahan berbasiskan organisasi kekeluargaan juga akan sekaligus mengikis fenomena semakin mengkristalnya primordialisme dan sektarianisme di tengah Masisir sebagai civitas akademika.

Sebelum menutup tulisan ini, ada beberapa kesimpulan yang ingin saya sampaikan. Diantaranya adalah;
- Desentralisasi PPMI akan menjadi faktor determinan bagi akselerasi peningkatan kualitas intelektual-akademik mahasiswa.
- Organisasi PPMI adalah sebuah kesatuan yang integral.
- Untuk konteks Masisir, kekeluargaan merupakan organisasi paling potensial. Peran dan fungsinya sebagai basis massa terbesar juga sebagai basis sosial dan intelektual-akademik bisa dioptimalkan. Meski berlatarbelakang kedaerahan, organisasi kekeluargaan tetap bisa berperan sebagai komunitas akademik berwawasan global.
- Parameter kesuksesan sebuah organisasi terletak pada efektifitas dan efisiensi kegiatan yang diselenggarakan.
- Kegiatan intelektual-akademik dan kegiatan sosial bukan dua hal yang berseberangan. Perubahan dan perbaikan sosial berkaitan dengan perkembangan intelektual individunya.

Terakhir, perubahan, dalam hal apapun, cenderung berat dilakukan. Akan tetapi bila perubahan tersebut berangkat dari kesepahaman paradigmatik yang objektif tentang masa depan yang lebih baik, tentu tidak mustahil. Dalam dinamika berorganisasi, kembang-kempisnya, terang-redupnya adalah bagian dari fase pembelajaran bagi mahasiswa. Fenomena kehidupan yang lumrah dan manusiawi. Upaya menuju format dinamika PPMI yang tepat guna harus terus dilakoni. Sebagai kesempatan kita belajar dan beramal membangun maslahah dalam rangka ibadah. Wallahu a'lam bishawab.
*) Nominator Lomba Menulis Essai PPMI - KBRI Cairo 2008
**) Mahasiswa S1 Universitas Al Azhar Cairo Jurusan Da'wah wa Tsaqafah Islamiyyah
Daftar Pustaka :
1. Ahmad Aqil Ya'cub dkk, Islam Adaptif, Cet. I, Cairo:Gamajatim, 2005
2. Album Kenangan Marhalah Mardhati (Angkatan Kedatangan 2003), Cet. I, Cairo:Keluarga Besar Mardhati, 2007
3. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) PPMI
4. Buku Induk III DPP PPMI 2005-2006
5. Dialog Jumat Harian Umum (HU) Republika edisi Jumat 08 Februari 2008
6. Dokumentasi Laporan Takrimun Najihin dan PPMI Academic Award. Cairo:DPP PPMI, 2007
7. H.M. Anis Matta, Model Manusia Muslim; Pesona Abad ke-21, Cet. I, Bandung:Syaamil Citra Media, 2002
8. Komaruddin Hidayat dkk, Mempertimbangkan Masa Depan Indonesia (Dari Dialog Dengan Pemuda), Cet. I, Jakarta:Pusat Pemberdayaan Sumber Daya Pemuda (PPSDP), 2003
9. Laporan Kerja Semester (LKS) DPP PPMI 2007-2008
10. Laporan Kerja Semester I (LKS) DPP PPMI 2006-2007
11. Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) DPP PPMI 2006-2007
12. Meniti Tangga-tangga Prestasi. ICMI orsat Cairo. 2006
13. Modul Orientasi Mahasiswa Baru Angkatan 2004, Cet. I, Cairo:DPP PPMI, 2004
14. Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:Arkola, 1994
15. Ridwan Arsyad dkk, Pemberdayaan Pemuda; dalam dialog dan wacana, Cet. I, Jakarta:Pusat Pengembangan Sumber Daya Pemuda (PPSDP), 2004
16. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XXIII, Jakarta:Rajawali Pers, 1997,
17. Term of Reference (TOR) Lokakarya Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir. Cairo, 2008
18. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. V, Jakarta:Balai Pustaka, 1976

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)