Thursday, November 27, 2008

The Return of Culture Heroes*

Oleh : Rashid Satari**

Ini bukan kelanjutan kisah dari film "The Return of Condor Heroes". Ini bukan pula kisah kecantikan bibi Lung dan kehebatan Yoko, keponakannya. Tapi ini adalah kisah kehebatan mahasiswa Indonesia yang tengah bertarung dengan pernik kehidupan di negeri 'Anbiya.

Dunia wirausaha menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika mahasiswa kita, di sini. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, muncul fenomena wirausahawan dari kalangan mahasiswa. Bentuknya bisa berbagai macam. Sewa menyewa kendaraan mobil yang kemudian disusul dengan kemunculan penyewaan kendaraan bermotor, vacum cleaner, digital camera, laundry, transfer uang, jual beli kartu/pulsa telefon, makanan khas Indonesia (tahu, tempe dkk), serta bergeliatnya bisnis rumah makan/restoran. Semua menjadi sisi lain dari potret pergerakan mahasiswa Indonesia di Mesir.

Sejenak, saya ingin mengajak anda jalan-jalan sore ke kawasan Swessry B. Dalam satu bulan terakhir, kawasan ini semakin dibanjiri oleh restoran Indonesia. Sepanjang yang saya lihat, kini tak kurang dari delapan restoran terdapat di sana. Mulai dari restoran yang disajikan secara terbuka hingga yang tertutup. Dan semua restoran ini sama, rata-rata dikelola oleh tangan-tangan kreatif mahasiswa.

Dalam kurun waktu yang sama, di sini kita semua terpukau dengan launching album perdana sebuah grup nashed Indonesia. Tak tanggung-tanggung, album ini diluncurkan di tengah komunitas masyarakat timur-tengah, bahkan konon kabarnya mulai diterima pula di telinga masyarakat Eropa. Lagi-lagi, gebrakan ini melibatkan langsung tangan-tangan dingin mahasiswa kita.

Wirausaha atau kerja sambilan adalah hal biasa dalam dinamika kehidupan mahasiswa di Indonesia. Tapi, bagi mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), fenomena tersebut bisa menjadi hal yang luar biasa.

Kecenderungan sebagian masisir kepada wirausaha seperti ini sebenarnya menjadi peluang dan potensi besar. Bayangkan, dengan kreativitas ini, mahasiswa kita berpeluang untuk menjadi agen promotor budaya Indonesia kepada khalayak Mesir khususnya dan masyarakat Timur Tengah juga dunia internasional secara umum. Indikasinya adalah jawaban atas pertanyaan "siapa saja konsumen restoran-restoran Indonesia di sini?" atau jawaban atas pertanyaan "siapa saja listener dari album perdana grup nashed kita di atas?".

Kairo terkatagori sebagai bagian dari lalu lintas masyarakat global. Ini berarti, pada tahap selanjutnya setiap wirausahawan mahasiswa kita berpeluang untuk banyak berinteraksi langsung dengan masyarakat global.

Melalui aktivitas berwirausaha, mahasiswa berpotensi memperkenalkan budaya Indonesia. Secara langsung, ini menjadi keuntungan besar bagi bangsa kita sebagai negara berkembang yang tengah membangun citra di hadapan dunia internasional. Hanya saja, potensi ini (mungkin) belum kita sadari dan sikapi sepenuhnya. Padahal, bukankah gelar "ahsannâs" yang disematkan masyarakat Mesir terhadap orang-orang Indonesia merupakan buah dari pengenalan budaya yang gradual dan tidak singkat.

Proses akulturasi dalam sejarah kebudayaan manusia telah terjadi sejak masa-masa silam. Biasanya, suatu masyarakat hidup bertetangga dengan masyarakat lain dan diantara mereka terjadi hubungan-hubungan, mungkin dalam lapangan perdagangan, pemerintahan dan lain sebagainya. (Soerjono Soekanto)

Akulturasi seringkali terjadi bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaannya dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaannya sendiri.

Semestinya, fenomena mahasiswa di atas disikapi secara cerdas oleh pemerintah Indonesia. Misalnya, pemerintah bisa menjadikan restoran-restoran kita sebagai kantung-kantung kecil yang menjadi basis Indonesian Culture di sini, dengan cara mensuplay beragam produk Indonesia ke sana. Atau, pemerintah bisa menghargai (baca : mengandalkan) kreativitas grup nashed tersebut di atas untuk membawa pesan ke-Indonesia-an kepada masyarakat internasional, misalnya.

Pengenalan budaya kita bisa dilakukan tidak melulu hanya dengan acara-acara formal-multilateral / bilateral an sich berupa pertunjukan pentas budaya atau simbolis pertukaran kebudayaan. Akan tetapi, sebagaimana kajian empiris membuktikan, bahwa akulturasi budaya terjadi lebih dikarenakan faktor tingginya intensitas kontak kultural dan tidak disadari. Mari kita sedikit mendelik ke belakang. Budaya Indonesia banyak dipengaruhi asimilasi berbagai budaya pendatang. Mulai dari budaya masyarakat Gujarat-Hindu, Arab-Islam, kemudian Eropa yang datang kemudian. Dan proses pertukaran budaya tersebut terjadi melalui interaksi panjang pada hal-hal kecil dalam kehidupan keseharian kala itu.

Catatan empiris pun menunjukan bahwa akulturasi budaya seringkali terjadi secara asimilatif. Bermula dari pertemuan antar budaya masyarakat kemudian berlanjut pada saling berkesesuaian ataupun bergesekan. Menurut catatan sosiologis, proses asimilasi ini tidak pernah terjadi kecuali melewati sikap saling toleran dan simpati diantara kebudayaan yang saling bertemu.

Salah satu sampel itu adalah bagaimana interaksi antara masyarakat Indonesia pribumi dengan masyarakat Tionghoa yang mengalami kesulitan berintegrasi. Ini disebabkan karena hubungan diantara keduanya diawali dengan sikap saling tidak toleran. Sejarah awalnya adalah ketika politik Hindia Belanda memilah masyarakat Indonesia kepada tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera (Indonesia). Dasar hukum diskriminasi tersebut tercantum dalam pasal 163 Indische Staatsregeling (IS). Hak-hak orang Tionghoa (Timur Asing) lebih diuntungkan ketimbang golongan Bumiputera.

Di dalam memperkenalkan unsur kebudayaan yang relatif baru, senantiasa harus ditonjolkan manfaat atau kegunaan riil yang ternyata lebih besar dibandingkan dengan unsur kebudayaan lama (Koentjaraningrat). Dalam hal terakhir ini, menjamurnya restoran Indonesia dan terbitnya album perdana dari sebuah grup nashed kita membuktikan bahwa kreativitas mahasiswa Indonesia mulai diterima oleh masyarakat setempat.

Kehadiran restoran Indonesia dan grup nashed kita bisa menjadi media karnaval budaya Indonesia. Mahasiswa kita ternyata mampu merangkum dan menghidangkan keindahan budaya Indonesia dalam citarasa masakan, keramahan pelayanan, kesopanan berinteraksi, ataupun kemerduan lantunan suara, kepada masyarakat yang lebih luas.

Keindahan Indonesia telah dipublikasikan oleh tangan mahasiswa. Oleh karenanya, pantaslah bila pada suatu saat nanti pemerintah dan masyarakat Indonesia berdecak salut lalu sambil meneteskan air mata, dengan bangga mereka berkata "terima kasih mahasiswa!"

* Dimuat dalam buletin Informatika milik ICMI Orsat Cairo
** Ketua Umum PII Mesir 2006-2008





0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)