Thursday, January 10, 2013

[Mulang ka Garut 2] Saat 'Indonesia' Masuk Desa

"Holleee.. naek mobil lagi..!" 

Seorang balita bersorak pada ibunya saat baru saja naik di dalam angkot berwarna coklat jurusan Cipanas-Alun-Alun. Saya yang sudah lebih dulu duduk di sana asyik mengikuti kejadian sore itu.

Dari paras muka dan penampilannya saya langsung bisa menebak bahwa mereka adalah penduduk di sekitar sini. Tidak jauh dari Garut kota. Apalagi mendengar logat atau dialek bicaranya, sangat kentara sekali bahwa mereka orang Garut asli. 

Angkot mulai berjalan pelan. Sang sopir sembari terus berteriak-teriak memanggil orang yang lewat barangkali mau naik angkotnya. 

"Mama.. mama.. nanti maen lagi ke toko Jokja ya..!" 

Sang mama nampak tersenyum mengiyakan, "Iya..iyya..".

Kejadian ini bagi saya sangat menarik. Bukan karena si anak yang sedang lucu-lucunya. Bukan pula karena mamanya yang masih terlihat muda dan cantik. Melainkan karena bahasa yang dipakai oleh mereka untuk berkomunikasi.

Beberapa kali saya menyaksikan beragam orang di kota kecil ini baik anak-anak, remaja maupun dewasa yang berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Beberapa kali pula saya merasa ingin tertawa karena dialek mereka yang masih sangat kentara dengan warna sundanya. Apalagi di banyak daerah di kabupaten Garut, terdapat beragam irama dan lagu dalam berbahasa lisan. 

Seperti anak di dalam angkot tadi misalnya. Betapa bahasa Idonesia sudah sedemikian memasyarakat, tak lagi hanya milik penduduk ibu kota. Juga tak lagi hanya berada di area-area pendidikan dan pemerintahan saja. Di dalam angkot pun, dan untuk balita pun bahasa Indonesia seakan sudah menjadi atribut wajib warga negara. 

Sayangnya, dari beberapa pengalaman yang sangat kasuistis, penerimaan bahasa Indonesia tidak seirama dengan penghayatan terhadap 'bahasa indung' yaitu bahasa Sunda. Sebagai sampel adalah anak-anak kecil yang sempat saya temui tak lagi mampu membedakan mana bahasa untuk teman sepadan dengan untuk orang tua. Mereka spontanitas berbicara kasar atau menggunakan bahasa Sunda Loma (pergaulan) terhadap orang yang lebih tua baik itu kakaknya, orang tuanya, pamannya atau neneknya. Anak-anak ini hampir bahkan tidak lagi mengenal jati dirinya sendiri. 

Gambar diambil dari sini. 


Padahal saya masih ingat pada sebuah sumber yang menyebutkan bahwa di negeri kita ini sudah sekian ratus bahasa daerah punah. Hal itu disebabkan berbagai hal salah satunya adalah efek globalisasi. Dan menurut saya juga karena efek nasionalisasi, yang salah kaprah. 

Saya sebut salah kaprah karena bagaimanapun nasionalisasi bukan berarti menyeragamkan segalanya seperti anak-anak SD yang harus berputih merah tanpa terkecuali. Seperti juga globalisasi yang bukan berarti 'membaratkan' ujung utara hingga selatan, timur hingga barat. 

Kegelisahan saya ini semakin bertambah saat menyaksikan munculnya berbagai macam lembaga pendidikan yang dengan bangga mempromosikan berbagai macam program yang sarat dengan berbagai macam program bahasa asing. Sementara dalam waktu yang sama tak ada sama sekali muatan lokal yang mendidikkan kekayaan budaya lokal, salah satunya adalah bahasa. 

Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa bagaimanapun sakralnya bahasa nasional, ia tak lebih sebagai sebuah produk yang lahir dari bersatunya kepentingan politik kolektif beberapa pemilik kebudayaan di gugusan kepulauan nusantara. Bahasa Indonesia lahir karena latarbelakang politik seiring dengan berdirinya republik ini. Berbeda dengan bahasa Sunda atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang jelas-jelas lahir dari keluhuran budaya masyarakat. 

Negara, akan dengan mudah runtuh. Bisa karena separatisme, disintegrasi, mosi tak percaya terhadap pusat atau lain sebagainya. Namun, seperti kebudayaan Indian yang punah seiring wafatnya penutur bahasa Eyak yang dipakai sebuah suku di Alaska Selatan, kekayaan budaya seperti bahasa Sunda akan tetap ada hingga penutur terakhirnya tiada.

"Kiri!" 

Saya spontan sedikit berteriak guna memberi tanda pada sopir ketika angkot sampai di tempat tujuan saya. Hmm.. mengapa saya tidak katakan "Kenca!" ("Kiri" dalam bahasa Sunda) saja ya?!:D []


23 Juni 2010
Rashid Satari,

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)