Sunday, January 13, 2013

[#Egyptology] Jus Lemon di Tepi Batalyon

Sore itu kira-kira pukul 17.00, sepulang dari Abu Simbel Temple, saya berangkat dengan taksi menuju The Philae Temple. Ongkos taksi tidak sempat saya tawar semurah mungkin. Jadilah harga EGP. 50 saya sepakati dengan sang sopir untuk mengantar pulang pergi dan menunggu beberapa saat di tempat tujuan.

Dengan perasaan ketar-ketir saya duduk di taksi yang menelusuri jalan aspal di pinggiran sungai Nil. Rute jalan itu mengular dan agak menanjak.

“Berapa menit kita sampai ke kuil Philae?” Tanya saya penuh khawatir kepada Husein sang sopir.

“Hawalay khomasta’asyar dai’ah. Kira-kira lima belas menitan.”, jawab Husein. Husen sang sopir taksi yang seorang Nubian tulen. 

Sepanjang perjalanan saya mencoba menyulam komunikasi dengannya. Namun, dialek Nubian-nya sangat kental mendominasi bahasa Arab ‘Ammiyyah-nya. Sehingga, sebagai orang yang pertama kali mendengarnya, saya sulit sekali memahaminya. Saya hanya bisa menangkapnya sepenggal-sepenggal saja, sehingga saya berkali-kali memintanya mengulang ucapannya.

Maklum, saya banyak sekali bertanya kepadanya karena khawatir telat sampai lokasi tujuan. Karena, jika merujuk pada buku panduan terbitan The National Gheographic, tertulis di sana bahwa kuil ini sebenarnya tutup pada pukul 16.00. Saya nekat tetap berangkat setelah melihat tahun terbit buku itu adalah 2002. Saya harap-harap cemas, mudah-mudahan saja ada kebijakan baru tahun ini yang menambah waktu buka kuil ini.

Tak lama, taksi yang kami tumpangi sampai di gerbang pertama kuil Philae.

“Intu ruh fein? Kalian mau pergi kemana?” Seorang polisi berseragam hitam-hitam dengan senapan pendek di punggungnya mendekat sembari bertanya.

“Kami akan pergi ke kuil Philae. Orang ini adalah mahasiswa Al Azhar dari Kairo yang ingin berkunjung”. Husen menjelaskan.

Saya memperlihatkan karneh (kartu mahasiswa) Universitas Al Azhar Kairo kepada polisi tersebut. Polisi itu mengangguk-angguk.

Namun, kekhawatiran saya ternyata berusia pendek. Polisi itu menjelaskan bahwa jam kunjungan sudah ditutup pukul 16.00 tadi. Ia menyarankan saya untuk berkunjung esok pagi. Seketika itu juga saya lemas karena esok hari sudah ada agenda lain.

Taksi pun mundur teratur. Kemudian menepi. Namun, bukan orang Nubian jika Husen tidak bermurah hati. Ia lantas menawarkan kepada saya untuk mengantar berkeliling mendekati kuil Philae. Ia tahu sudut di mana Philai bisa terlihat indah saat senja. Philae di senja hari, memang itu yang saya kejar.

Taksi pun berputar arah. Gesit mengejar matahari menguning yang nampak sedang turun perlahan menuju garis cakrawala. Taksi menyusuri jalan aspal kecil di atas bukit berbatu. Sampailah kami di sebuah perkampungan kecil tepat di tepian bendungan Aswan.

“Mari ikuti saya!” Husen bergegas melepas sabuk pengaman dan turun dari taksi. Saya mengikutinya tergesa.

Jalan setapak menurun kami susuri. Rumah-rumah sederhana berbentuk persegi di kanan kiri seolah mengucapkan, ”Selamat datang di negeri kami”. Pasir dan kerikil-kerikil mengantarkan kami ke tepian bendungan Nil yang hampir serupa dermaga. Memang ada dermaga kecil di sana. Sangat indah! Dari arah atas, mata saya tertuju pada kapal-kapal kecil, perahu-perahu kayu, felluca dan sampan yang berderet rapi. Dari kejauhan, seorang pria nampak tengah sibuk menurunkan jangkar.

“Lihatlah itu!” sembari terus berjalan, Husen menunjukan telunjuknya ke arah selatan. Mata saya mengikuti arah itu. Menakjubkan! Kuil Philae nampak berada di tengah pulau berbatu dengan di kelilingi sudut-sudut hijau yang sepertinya itu adalah kumpulan pohon kurma dan Akasia. Pulau itu bertetanggaan dengan pulau-pulau batu lainnya yang lebih besar. Salah satunya adalah yang sedang saya pijak ini. Saya berdiri di tepian bendungan.

Dalam pandangan mata saya, pulau dan kuil itu satu arah dengan deretan perahu yang tertambat, dikelilingi air Nil yang sangat tenang. Di sebelah timur, tembok yang sekaligus berfungsi sebagai jembatan bendungan, nampak berdiri kokoh menahan air yang mengalir dari selatan menuju utara Mesir.

“Indah sekali. Apa nama tempat ini, Husen?” Mata saya masih tertambat pada pulau dan kuil di kejauhan itu. Husen tak sempat menjawab saat sebuah suara datang dari arah belakang kami,

“Batalyon! Tempat ini bernama Batalyon.”

Seketika itu juga saya dan Husen membalikkan badan mencari sumber suara. Tidak jauh dari tempat kami berdiri, seorang pria tua tengah duduk di teras rumahnya yang sederhana. Ia bersurban putih yang hampir kelabu. Baju gamis biru pucat menyelubungi tubuh rentanya yang agak tambun. Rambut berubannya menyembul dari balik sorbannya. Sebelah matanya nampak sudah tak bisa lagi melihat dengan normal. Ia tersenyum bersahabat kepada kami.

“Batalyon? Mengapa namanya seperti sekelompok tentara?!” Saya menghampirinya sambil bertanya dengan suara sedikit keras karena khawatir ia tak mampu mendengar dengan jelas. Husen mengikuti saya.

“Assalamu’alaikum!” Saya mengulurkan tangan.

“Wa’alaikumsalam warrahmatullah, fadlal! Silakan!” Pria tua itu menjabat erat. Telapak tangannya kasar dan padat. Saya duga dahulunya ia adalah pekerja keras.

“Dari dahulu namanya sudah Batalyon. Saya juga kurang begitu tahu mengapa namanya seperti itu. Mungkin dahulu di sini tempat tentara”. Ujar pria yang belakangan saya ketahui namanya adalah Daktur.

Putra Daktur yang bernama Hasan datang dari dalam rumah, menghampiri kami bertiga yang duduk di teras menghadap ke arah dermaga. Ia membawakan baki kecil dengan tiga gelas lemon dingin segar di dalamnya.

“Sejak kecil saya tinggal di sini. Rumah ini adalah rumah saya dan keluarga anak-anak saya.” Daktur memperkenalkan keluarganya yang ternyata tengah memperhatikan gerak-gerik kami dari dalam rumah. 

Hasan pun memperkenalkan istrinya yang saya lupa namanya, dan Muhammad anaknya yang masih berusia dua tahun. Nama anak itu semakin memperkuat hipotesa saya bahwa kebanyakan laki-laki di Mesir bernama Muhammad.

Saat melihat ke arah cakrawala, saya terkesiap karena ingat belum shalat Ashar dan Dhuhur. Di jalan tadi saya berencana untuk menjama’ qasharnya di tempat ini.

“Bolehkah saya ikut shalat di rumah anda?” tanya saya kepada Daktur.

“O ya, silakan-silakan. Maaf rumah saya berantakan!” Ujarnya.

Hasan menunjukkan tempat wudlu di dalam rumahnya. Benar-benar rumah yang unik dan sangat khas. Tidak begitu besar namun melambangkan suasana kekeluargaan yang hangat. Saat berjalan ke dalam, Muhammad kecil yang nampaknya belum lama bisa berjalan itu berlari-lari kecil mengikuti saya. Rambut pendeknya sedikit pirang dan ikal. Bulu matanya lentik menghiasai matanya yang bulat, hidungnya mancung. Di depan pintu kamar mandi saya membungkukkan badan dan mencubit lesung pipitnya. Lucu dan menggemaskan.

“Nampaknya perahu anda banyak sekali.” Ucap saya kepada Daktur. Saya duduk kembali di sampingnya di teras rumah setelah selesai shalat.

“Saya hanya punya beberapa saja. Semua dikelola anak saya, Hasan. Kami menyewakannya untuk transportasi turis asing menuju kuil Philae. Sebagian yang lain kami pakai untuk menangkap ikan.” Tutur Daktur sembari mempersilakan saya untuk menikmati lemon segar yang dari tadi menanti.

“Anda menangkap ikan untuk dijual?” susul saya.

“Kami menjualnya ke Aswan. Sayang sekali hari ini kami tidak punya stok ikan untuk dihidangkan.” Daktur menatap saya sambil tersenyum.

“Oh.. tidak apa-apa, lemon segar ini sudah lebih dari cukup.” Pungkas saya sambil membalas senyumnya.

Saya ingin sekali mengajaknya berpose di depan kamera yang saya bawa. Tapi, keraguan menyelimuti saya setelah tadi ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini ada seorang laki-laki pribumi yang marah ketika hendak saya jepret.

“Bapak, apakah di sini berfoto tidak diperbolehkan?” tanya saya sembari menjaga nada pertanyaan, khawatir pertanyaan saya ini menimbulkan ketidakenakkan baginya.

“Oh tidak! Silakan saja kalau mau berfoto”, sambutnya.

Saya menceritakan pengalaman dimarahi oleh seorang laki-laki pribumi tadi kepadanya. Daktur bercerita bahwa masyarakat di Batalyon memang agak trauma dengan kamera. Dahulu pernah ada turis Eropa yang mengambil foto-foto di Batalyon dan memuat foto-foto itu dalam sebuah majalah dengan narasi yang tidak mengenakkan hati mereka sebagai penduduk pribumi.

Di teras rumah Daktur. Berpose bersamanya dan istrinya.

“Anda seorang muslim. Saya juga muslim. Kita bersaudara. Saya tidak boleh berprasangka buruk pada anda, Nak. Silakan kalau mau mengambil foto”. Ucapannya amat menenangkan saya. Beberapa momen berhasil diabadikan.

Siluet senja, deretan perahu, felucca dan sampan. Juga, The Philae Tample yang bermandikan cahaya matahari senja dan sorotan lampu. Dan tentu saja yang tak kalah penting bagi saya adalah, berpose bersama keluarga Daktur.

Kami pun berpamitan setelah saling bertukar nomor ponsel dan menuntaskan regukkan terakhir dari segelas lemon segar di beranda rumahnya. Saat itu, langit di cakrawala merah merona.[]



Masih banyak cerita lainnya. Nantikan #egyptology di awal Februari.

Salam hangat, 
Rashid Satari

Comments
4 Comments

4 komentar:

  1. Terima kasih, Mas Najib. Sepertinya kita sepakat : Betapa Mesir itu ngangenin! ;)

    ReplyDelete
  2. Deskripsinya menarik, jadi ikut merasa ada di sana.

    Penasaran dgn kuil Philae di senja harinya :)

    Btw, felucca itu apa?

    Oh ya semoga sukses dan berkah dengan bukunya .

    ReplyDelete
  3. Mbak Yuni.. Makasih apresiasinya. Nantikan postingan selanjutnya ya. Felluca itu perahu layar berukuran kecil dan sedang. Banyak bertebaran khususnya di sungai Nil bagian selatan. Penasaran fotonya? :P

    Amiin. Mohon doanya selalu ya. :)

    ReplyDelete

Silakan tulis kesan anda di sini. :)