Tuesday, January 29, 2013

[#Egyptology] Tsunami Aceh dan Klakson Bis

Saat itu sedang musim dingin. Saya tengah bercengkrama dengan teman-teman satu flat saya selepas Maghrib. Salah satu dari teman saya itu adalah Aulia Ulhaq Marzuki. Usianya satu tahun di atas saya. Dia berasal dari Aceh. Kami saling kenal baik karena sama-sama aktifis organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) perwakilan Mesir. Saat itu rumah yang kami tinggali
adalah sekaligus menjadi sekretariat.

Sore itu, Aulia nampak sumringah karena akan menelfon keluarganya di Aceh yang sudah lama tak ia sapa. Ia masih menggenggam gagang telefon, nampaknya sedang menunggu nada sambung dan menunggu seseorang mengangkat telefonnya di seberang sana.

“Halloo.. Haloo..Assalamu’alaikuumm!” Aulia nampak gembira setelah mendengar suara.

Sore itu Aulia menelefon cukup lama. Saya mendengar langsung dia sedang berbicara dengan ayahnya, kemudian berbicara pada ibunya dan dilanjutkan dengan adik-adiknya. Banyak hal dia ceritakan, mulai dari kabarnya di Kairo hingga keinginannya untuk pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.

Aulia pun tak lupa menanyakan kabar anggota keluarganya, kemudian meminta doa untuk ujian semester ganjil di kampus yang akan digelar tak lama lagi. Aulia adalah teman satu angkatan juga satu kelas saya di kampus. Ujian semester ganjil akan dimulai kurang lebih satu bulanan lagi. Malam itu seisi rumah memang sudah mulai fokus ke persiapan ujian. Sudah menjadi pola bersama bahwa bila sudah memasuki waktu satu bulanan menjelang ujian, segala kegiatan hanya difokuskan untuk persiapan ujian.

Namun, suasana seketika berubah di keesokan harinya. 26 Desember 2004. Televisi-televisi di Kairo menyiarkan sebuah musibah besar yaitu gempa bumi berkekuatan sekitar 9 skala richter di Samudera Hindia. Musibah itu lebih menggemparkan karena dampak gelombang tsunami yang ditimbulkannya. Berita yang paling menggemparkan kami adalah saat mendengar bahwa gelombang Tsunami itu menyapu beberapa wilayah pesisir pantai dari Asia hingga Afrika, salah satunya adalah Aceh!

Warga negara Indonesia di Mesir seketika itu diselimuti tanda tanya. Terutama mereka yang berasal dari Aceh. Berbagai informasi dicari dan dikumpulkan sebisa mungkin. Maklum, pada hari itu informasi belum dapat diakses langsung dari Aceh. Apalagi oleh kami yang berada ribuan mil dari sana.

Saya menangkap kegelisahan di dalam diri Aulia. Hari itu juga dia mencoba untuk menelefon kembali kepada keluarganya di Aceh. Namun, hasilnya nihil. Sambungan telefon terputus ketika itu, bahkan hingga beberapa hari berikutnya. Duh, padahal baru saja malam hari sebelumnya dia ngobrol dengan keluarganya via telefon.

Kurang lebih lima hari kemudian, barulah informasi bisa kami peroleh. Meski belum ada angka pasti, namun kami mendengar bahwa Aceh luluh lantah. Tsunami itu diperkirakan menelan ratusan ribu korban jiwa dan hilang. Stasiun-stasiun televisi yang kami akses dari internet pun memperlihatkan bagaimana bencana itu terjadi. Sungguh mengerikan! Sontak duka mendalam pun menyelubungi kami.

Beberapa teman asal Aceh mulai memperoleh informasi tentang keluarganya. Banyak keluarga mereka yang selamat. Namun, tak sedikit juga yang tak tertolong. Khususnya keluarga dari teman-teman yang berasal dari Meulaboh, daerah pesisir yang paling besar dihantam tsunami.

“Ol, dah ada kabar dari Aceh?” Saya mencoba bertanya dengan hati-hati tentang kabar keluarganya.

“Habis sudah, Chid. Ayahku, mamaku, adikku, nenekku..” Ucapnya dengan mata yang memerah. Total ada 13 orang keluarga dekatnya yang menjadi korban. Selain yang ia sebutkan tadi, di antaranya masih ditambah kakak dari ibunya beserta kedua anaknya, juga pamannya sekeluarga (istrinya dan empat anak mereka). Tapi, sekalipun saya tidak melihat dia menangis karena musibah itu.

Saya menangkap kesedihannya yang sangat mendalam dari sinar matanya dan suaranya yang parau. Mendengar itu, saya tak kuasa lagi bertanya. Saya lebih memilih diam untuk menghormati sikapnya yang sangat tegar. Sejak saat itulah, kami menyibukkan diri dalam kepanitian yang dibentuk untuk menggalang gerakan sosial, meski harus mengorbankan persiapan ujian kami. Saat itu, kepedulian terhadap para korban jauh lebih besar daripada ujian. Setidaknya begitulah bagi saya, apalagi salah satu dari mereka adalah Aulia, teman satu flat bahkan satu kamar saya.

Suatu malam, saya lupa tanggal berapa saat itu, saya dan Aulia pulang dari Wisma Nusantara di kawasan Rab’ah, Nasr City, setelah menghadiri acara kepedulian terhadap korban tsunami Aceh. Kami menumpang sebuah bus yang sudah cukup penuh dengan penumpang, sehingga kami berdua pun berdiri. Posisi kami di bagian depan bis, tepat di samping sopir bis itu.

“Andunisi? Orang Indonesia?” Sang sopir bertanya ramah kepada kami. Aulia yang berdiri lebih dekat dengannya menjawab, “Aiwah! Ya!”

Sopir itu kemudian bertanya dengan penuh minat, “Bagaimana kabar Aceh? Aku melihat di televisi tentang berita tsunami. Hey, apakah kamu dari Aceh?” susulnya.

Aulia pun mengiyakan pertanyaannya itu. Mulailah perbincangan hangat di antara mereka. Sementara saya hanya menyimaknya saja dari jarak yang sangat dekat. Memang tak banyak yang sempat dibicarakan, namun dari cerita Aulia sopir itupun tahu bahwa Aulia adalah salah satu mahasiswa yang keluarga terdekatnya menjadi korban musibah itu. Sang sopir menyampaikan rasa belasungkawanya kepada Aulia.

“Bisakah kamu beritahu alamat rumahmu?” Tanya sang sopir. Saat itu kami tidak mengerti apa maksudnya meminta alamat kami. Bahkan kami sempat mengira ia hanya berbasa-basi saja.

Tapi rupanya tidak. Suatu siang, saat itu hari Jumat, kami baru saja sampai ke flat setelah menunaikan shalat Jumat di masjid As Salam yang letaknya dari flat kami hanya dipisahkan jalan yang cukup besar.

Sesampainya di flat, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara klakson yang cukup keras dari arah luar. Entah dari mobil siapa. Namun, suara klakson itu lumayan kencang dan tidak berhenti melainkan terus berulang-ulang. Sangat membuat kami terganggu. Kami pun berinisiatif melihat keluar jendela. Flat kami saat itu ada di lantai tiga gedung apartemen.

Betapa terkejutnya kami saat melihat dari jendela. Ternyata suara klakson itu berasal dari sebuah bis yang diparkir tepat di samping flat kami. Bis itu nampak kosong dari penumpang, hanya ada sang sopir seorang diri. Dia melambaikan tangannya kepada kami, nampaknya ia ingin agar kami menghampirinya. Lalu, Aulia turun dari flat menuju bis itu. Sementara saya hanya memperhatikannya dari jendela.


Gambar diambil dari sini.

Tak lama kemudian, Aulia datang dengan senyum yang mengembang. Tangannya membawa banyak bungkusan.

“Apa itu, Ol?” tanya saya penasaran.

Bukannya menjawab, Aulia malah bertanya penuh semangat, “Chid, ente inget gak sopir bis yang waktu itu ngobrol ama kita waktu balik dari Wisma?”

“Hah? Jadi dia sopir bis yang waktu itu?” Sambut saya cukup kaget. Aulia mengangguk mantap sambil meletakkan bungkusan-bungkusan di atas karpet.

“Jadi waktu itu dia minta alamat kita itu karena dia pengen ngasih ini.” Aulia menjelaskan. 

“Tadi tuh kenapa dia bunyiin klakson soalnya dia lupa kita di apartemen dan flat nomor berapa. Dia cuma inget kita tinggal di seberang masjid As Salam. Tadi dia jumatan di sana.” Aulia menambahkan.

“Jadi dia bunyiin klaksonnya itu biar kita nongol dari jendela ya?” tanya saya.

“Hu uh, padahal dia nggak tau rumah kita yang mana hahahaa..! Jadi dia mikir orang-orang pasti bakal nongol dari jendela karena kesel sama suara klakson bisnya!” ucap Aulia disusul dengan tawanya.

Di bungkusan-bungkusan itu ada buah-buahan, minyak Samnah, gula, dan makanan lainnya. Akhirnya kami mengerti, sopir itu sangat berempati pada Aulia yang kehilangan keluarganya karena musibah Tsunami.

Dan, di Jumat-Jumat berikutnya, sopir itu selalu datang dengan bisnya dan membunyikan klaksonnya. Hanya saja klaksonnya tidak lagi ia tekan berkali-kali. Ia hanya membunyikannya satu kali, dan kami pun langsung mengerti.[]



Masih banyak cerita lainnya. Nantikan #egyptology di awal Februari.


Salam Hangat, 
Rashid Satari



Friday, January 18, 2013

[#Egyptology] Jumatan di Kampung Nubian

Elephantine Island, satu lokasi yang direkomendasikan untuk disinggahi bila kita mampir di kota Aswan, Mesir Selatan. Pagi itu, sekitar pukul 11.00 siang waktu Aswan, perahu yang saya tumpangi merapat di bibir pulau Elephantine. Perahu ini mengantarkan kami para penumpang menyebrangi Nil hanya dengan ongkos EGP 1.50 per orang.

Saat sampai ke seberang, saya langsung disuguhi pemandangan rumah-rumah penduduk yang amat unik. Meski hanya berbahan tanah liat dan batu bata, berbentuk kubus-kubus, dinding rumah-rumah ini dicat dengan warna-warni yang kontras. Ada yang berwarna biru langit, kuning, hijau muda, oranye, dengan ornamen-ornamen gambar bintang atau garis memanjang. Segar sekali kelihatannya.

Saya sempatkan diri berkeliling sebentar di kampung itu. Pepohonan yang rimbun, binatang-binatang ternak yang tenang memamah biak di bawah pepohonan. Benar-benar kampung yang nyaman.

Tempat selanjutnya yang saya cari adalah masjid, karena jarum jam sudah hampir masuk waktu shalat Jumat. Pulau ini memang tidak begitu besar yaitu 1200 x 400-an meter saja menurut seorang penduduk, sehinga masjid pun tak sulit saya temui. Sebuah masjid yang tidak punya nama, tidak seperti kebanyakan masjid-masjid di Aswan, Luxor atau Kairo.



Mungkin karena ini adalah pulau yang masih dihuni oleh 100% penduduk asli, banyak sekali mata yang menatap heran atau aneh saat saya memasuki masjid. Demikian juga ketika saya mengambil air wudlu, duduk mendengar khutbah lalu shalat berjamaah. Agak risih memang saat jadi pusat perhatian seperti itu. Tapi, saya berusaha menikmati saja.

Ternyata benar apa yang dibilang buku terbitan National Georghapic dan Lonely Planet, penduduk pulau ini sangatlah ramah. Khusus bagi saya pribadi sebagai seorang muslim, keramahan dan ketulusan mereka lebih kental lagi setelah saya shalat Jumat bersama mereka. Selepas shalat, ucapan dan huluran salam saya disambut dengan antusias dan bersahabat. Tentu saja selalu disusul dengan pertanyaan, “Inta minnain? Kamu dari mana?”. Dan, ketika saya jawab, “Andunisya”, refleks mereka akan berkata, “Ahsannâs! Manusia terbaik!”.

Adalah ‘Abbas. Seorang pria asli Nubian yang sempat berbincang beberapa menit dengan saya di dalam masjid setelah shalat Jumat. Saya taksir usianya sudah di atas 65 tahun. Ia seorang arsitek yang sudah pensiun dari pekerjaannya dan menikmati sisa usia di tanah kelahirannya, pulau Elephantine.

Sungguh saya tak menyangka perbincangan singkat itu memberi saya informasi yang sangat berharga. Rupanya masyarakat Nubian (sebutan untuk penduduk suku Nubia) bukan hanya 5000-an orang yang tinggal di pulau Elephantine saja. Populasi Nubian juga tersebar di berbagai pulau kecil lain di sepanjang Nil bagian selatan dan di sekitar bendungan Aswan. Bahkan, Nubian juga menghuni beberapa kawasan di Sudan utara. Saya pikir ini sangat masuk akal mengingat Aswan memang wilayah paling selatan dari Mesir yang berbatasan langsung dengan Sudan.


‘Ammu (paman) ‘Abbas juga menjelaskan bahwa dahulu kawasan yang ditinggali oleh suku Nubia jauh lebih luas lagi. Namun kawasan itu ikut terendam seiring dengan pembangunan bendungan Aswan. Ada puluhan desa yang direlokasi dari kawasan yang kini menjadi genangan besar sungai Nil.

Saya sungguh terpukau dengan cerita ‘Ammu ‘Abbas ini. Ia tertawa saat saya bertanya kepadanya mengapa ketika mereka ngobrol satu sama lain, saya sama sekali tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Menurutnya, Nubian (orang-orang Nubia) memang punya budaya yang berbeda dengan Egyptian (orang-orang Mesir). 

Dahulu ketika masih era Pharaoh, Nubian adalah komunitas masyarakat yang tersendiri dan terpisah dengan Mesir. Nubian memiliki kerajaan sendiri, budaya, seni dan bahasa sendiri. Dan, meski saat ini Nubian sudah menjadi bagian penting dari Mesir, sisa-sisa budaya dan bahasa itu masih melekat kuat.

“Wajar saja bila kamu tidak memahami bahasa kami, karena ini memang bukan bahasa Arab.” ujar ‘Ammu Abbas.

Ia menerangkan bahwa bahasa Nubian sulit sekali dipelajari. Bahasa Nubian hanya dipakai oleh orang-orang Nubian. Bahasa Nubian adalah bahasa yang tidak punya simbol-simbol huruf. Dia hanya bahasa verbal atau lisan dan tidak memiliki huruf-huruf tertentu sebagai bahasa tulisan sebagaimana Latin dan Arab.

Rumitnya lagi, bahasa Nubian pun banyak macamnya. Menurut ‘Ammu ‘Abbas, ada dua yang paling besar yaitu Fajikiy dan Motokiy. Fajikiyy dipakai oleh penduduk pulau Elephantine dan pulau-pulau sebelah utara bendungan Aswan juga Nubian di kawasan Edfu dan Kom Ombo. Sedangkan Motokiyy dipakai oleh Nubian di sebelah selatan bendungan Aswan hingga Nubian yang berdomisili di beberapa kawasan Sudan Utara.

Masya Allah, luar biasa sekali informasi dari Ammu Abbas ini. Saya semakin penasaran dibuatnya. Rupanya ‘Ammu Abbas menangkap rasa penasaran yang saya rasakan. Dia bercerita kembali bahwa Nefertary, salah seorang ratu Mesir kuno, adalah penduduk asli Nubian. “Nefertary” sendiri adalah nama yang diambil dari bahasa Nubian yang artinya “Nefer” berarti “cantik”, dan “Tary” berarti “datang”.

“Lalu bagaimana dengan Nefertiti, apakah ia bersaudara dengan Nefertary?” tanya saya.

‘Ammu ‘Abbas tertawa hingga nampak deretan giginya yang kemuning alami karena pengaruh Syai (teh khas Mesir). Menurutnya, mereka berdua sama sekali tidak bersaudara. Nefertary adalah asli Nubian, sedangkan Nefertiti berasal dari kawasan Syria yang kemudian menjadi penghuni Mesir di masa lampau.


“O ya, mengapa pulau ini dinamai Elephantine, apakah itu dari bahasa Inggris yang berarti ‘gajah’?” Saya seperti tak ingin hilang kesempatan bertanya.


Gambar diambil dari sini 

‘Ammu ‘Abbas bilang, “Nama itu dari bahasa Yunani yang maknanya memang ‘gajah’. Dinamai begitu karena pulau ini jika dilihat dari udara ia berbentuk seperti gajah”.

“Rashid, menurutmu apa bedanya sungai Nil di sini dengan sungai Nil di utara (Mesir)?” Ia bertanya dan pertanyaannya membuat saya bingung.

“Kamu lihat batu-batu di tengah Nil?” susulnya.

“Ooo.. iya iya. Lalu kenapa?”

“Dahulu, batu-batu dari daerah sini, termasuk dari pulau ini, diangkut ke berbagai tempat di Mesir sebagai bahan bangunan kuil, istana dan monumen-monumen.” Jelasnya.

Saya jadi teringat pada piramida-piramida raksasa di Giza. Konon, bebatuan yang menjadi susunannya itu diangkut dari Mesir selatan dengan menggunakan perahu-perahu melintasi sungai Nil.

Sayang sekali, saya tidak bisa berlama-lama di pulau Elephantine ini. Saat berpamitan, sambil berjabat tangan, ‘Ammu ‘Abbas sempat berpesan kepada saya, “Selamat datang di tanah Nubian, Nak. Berkunjung ke Aswan tak sempurna bila tak datang ke pulau Nubian.”[]



*) Nubian berarti orang suku Nubia. Nubia adalah wilayah di kawasan Mesir Selatan dan Sudan Utara. Menurut orang-orang Nubia, mereka adalah bangsa asli Mesir. Pada zaman kuno, Nubia merupakan kerajaan independen yang tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kerajaan para Firaun. Uniknya, bangsa Nubian tidak punya bahasa tulisan, mereka hanya memiliki bahasa lisan atau verbal.

Masih banyak cerita lainnya. Nantikan #egyptology di awal Februari.


Salam Hangat, 
Rashid Satari






Monday, January 14, 2013

[#Egyptology] Ketika Osama Menikah

Apa kata Amerika bila Osama menikah? Mungkin negara adidaya itu akan segera mengirimkan sniper-nya untuk “meramaikan” pesta pernikahan tersebut. Tapi, syukurlah hal itu tak terjadi, karena memang pengantin kali ini bukanlah orang nomor wahid dalam deretan buronan Amerika itu. Dia hanya Osama, mahasiswa tingkat tiga fakultas Dakwah Islamiyyah Universitas Al Azhar Kairo.

Kafrusyaikh. Sebuah kota kecil, kurang lebih 200 km dari Kairo, sebelah timur Alexandria. Sungguh suatu keberuntungan bagi saya dapat mengenal kota tersebut. Seorang teman di kampus berasal dari sana, Osama namanya. Kafrusyaikh tidaklah seeksotis tetangganya, Alexandria, dan tidak pula sebesar saudara tuanya, Kairo. Dikelilingi pesawahan dan perkebunan subur menghijau sejauh mata memandang. Gemericik sungai irigasi mengiringi perjalanan sepanjang jalan beraspal menuju desa Ishaqah, kampung halaman Osama.


Kota ini memang sangat layak di sebut kawasan agraris. Setelah dua kali mengunjunginya, kesan yang hadir adalah serasa berpijak di kampung halaman sendiri. Anak-anak yang asyik berkecipak dengan air sungai sembari memandikan kerbaunya. Ini pemandangan yang mengasyikan di sore hari. Ibu-ibu dan para bapak yang berangkat ke ladang, berkendara pedati keladai atau bertelanjang kaki, menjadi sarapan mata setiap pagi hari. Ah.. saya kira yang seperti ini hanya saya lihat di Garut saja, kampung halaman saya. Saya tidak pernah menyangka di negeri padang pasir pun akan saya jumpai.


Osama dan istrinya.
Keramahan penduduknya yang menjadikan saya ketagihan untuk kembali berkunjung ke tempat ini. Bagi masyarakat Ishaqah, adalah sebuah kehormatan ketika bisa menjamu tamu yang datang dari jauh. Apalagi tamu dari bangsa yang berbeda. Begitulah yang terjadi dengan keluarga Osama. Sambutan hangat, jamuan memuaskan, serta penerimaan layaknya keluarga sendiri adalah kesan kunjungan pertama saya di desa tersebut.

Pada kali kedua kunjungan ke sana, adalah dalam rangka menghadiri undangan Osama. Osama bermaksud berbagi kebahagiaan dalam resepsi akad nikah dengan seorang gadis pujaannya. Adapun khitbah, telah dilakukan ketika Osama duduk di bangku kuliah tingkat dua.

Osama, tidak seperti perawakannya yang tinggi besar, usianya baru genap 20 tahun ketika itu. Sedangkan calon istrinya adalah gadis sekampungnya, gadis manis bernama Nourah kelahiran 1986. Keduanya memang masih belia. Bagi mereka, pernikahan adalah babak hidup yang tak ada alasan untuk ditunda-tunda apabila keduanya memang sudah siap dalam setiap aspek.


Dalam adat kebiasaan masyarakatnya, pesta pernikahan biasa diadakan malam hari, tak terkecuali pesta akad nikah Osama ini. Hari itu, selepas shalat Dhuhur, Osama dan calon mempelai wanita berangkat menuju pusat kota Kafrusyaikh untuk membeli seperangkat perhiasan yang akan dijadikan mas kawin. 

Kedua calon pengantin diiringi oleh keluarganya masing-masing, menggunakan kendaraan-kendaraan seukuran minibus sehingga perjalanan menuju pusat kota Kafrusyaikh kala itu hampir mirip arak-arakan kampanye partai politik di negeri kita, Indonesia. Bunyi klakson kendaraan bersahutan. Rengrengan keluarga inipun menjadi pusat perhatian ratusan pasang mata di sepanjang jalan.


Saat tiba di kawasan perbelanjaan di pusat kota, calon mempelai wanita dipersilahkan memilih mas kawin yang diinginkannya. Pencarian perhiasan pun memakan waktu yang cukup lama. Maklum, pasangan mempelai juga keluarganya berharap sekali bisa menemukan perhiasan yang benar-benar bisa melambangkan kebahagiaan mereka.

Perhiasan yang dimaksudpun didapatkan. Sepasang cincin, kalung, gelang dan giwang, diboyong kembali ke desanya. Tak disangka, perjalanan pulang ternyata jauh lebih semarak ketimbang pemberangkatan siang tadi. Lengkingan suara kaum hawa yang dikenal dengan istilah Zarghati* mewarnai iring-iringan kendaraan. 


Upacara akad nikah langsung dilaksanakan ba’da shalat Ashar berjama’ah di masjid setempat. Upacara ini dihadiri oleh Osama yang didampingi keluarganya, juga wali dari mempelai wanita dan tak ketinggalan masyarakat setempat yang didominasi oleh kaum pria. Proses ijab qabul berlangsung singkat, sederhana dan bersahaja. Prosesi akad nikah selesai sebelum tibanya waktu Maghrib. Suasana haru menaungi masjid sore itu.


Suasana akad nikah. Perhatikan jempo mereka. Saat akad diucapkan, jempol calon mempelai pria dan wali dari mempelai wanita, berdiri. Setelah dinyatakan, jempol mereka terpaut erat.

Sepulang dari masjid, kami langsung diajak Osama ke rumahnya untuk menghadiri jamuan makan. Ternyata, berbagai makanan hingga kue-kue dan manisan sudah dipersiapkan di sana. Meskipun rumah Osama memang belum rempung benar, dindingnya masih plester kasar tanpa cat, lantainya pun belum terpasang, namun tidak mengurangi kemeriahan.

Rupanya iring-iringan kedua belah pihak keluarga mempelai terulang kembali ba’da Maghrib. Ramainya tidak kalah dengan iring-iringan waktu siang. Hanya saja kali ini bertujuan mendandani pengantin wanita di sebuah Bridal Salon di tengah kota. Pemolesan pengantin inipun menghabiskan waktu yang tak singkat.


Tepat waktu Isya tiba, pengantin wanita dengan segala tata riasnya siap diboyong kembali ke lokasi resepsi. Rombongan inipun kembali pulang. Riuh suara dan lengkingan suara wanita lambang kegembiraan terdengar semakin ramai, dibalas dengan tepukan tangan bersahutan di sepanjang jalan.

Malam itu adalah resepsi akad nikah. Sebelum nantinya menyusul satu resepsi lagi; resepsi terakhir pernikahan atau Osama istilahkan dengan Haflah Dukhul. Sang suami baru bisa berada satu kamar dengan isterinya setelah seremoni yang terakhir ini, kendati keabsahannya sebagai seorang suami telah terlegalisasi secara syar’i sejak ijab qabul diucapkan. Khusus untuk Osama, tenggang waktu antara resepsi akad nikah ke resepsi dukhul ini adalah lima bulan. Ini adalah produk adat bukan bagian dari syariat. Dalam tenggang waktu tersebut, Osama belum diperbolehkan untuk duduk satu ranjang dengan isterinya, kecuali telah melewati resepsi terakhir tersebut.

Resepsi akad nikah berlokasi tepat di depan rumah Osama. Sebuah panggung pengantin sederhana dengan aneka pernak pernik yang menghiasinya telah dipersiapkan. Lampu-lampu warna warni menghiasi jalanan desa dari ujung ke ujung. Hentakan musik dari tabuhan rebana khas Mesir turut meramaikan suasana malam itu.

Menurut Osama, pernikahannya harus melalui tiga resepsi yang dipisahkan oleh waktu yang cukup renggang, diantaranya khitbah, akad nikah dan resepsi Dukhul. Mungkin, bisa jadi ini menjadi salah satu sebab sangat mahalnya biaya pernikahan di sini, selain ketentuan bahwa mempelai pria harus terlebih dahulu memiliki rumah beserta isinya.

Selama jeda waktu menuju resepsi terakhir nanti, mempelai pria yaitu Osama terus mempersiapkan rumah dan segala isinya untuk berumahtangga nanti. Karena resepsi terakhir baru bisa dilaksanakan bila rumah dan isinya selesai dipersiapkan. Rumah mempelai laki-laki ini berlokasi di tingkat atas kediaman orang tuanya.

Setelah resepsi terakhir nanti, mempelai istri langsung diboyong ke rumah baru yang sedang dipersiapkan tersebut. Nah.. di sinilah akhirnya sepasang pengantin baru ini memadu rindu.

Kafrusyaikh, Ishaqah dan Osama, adalah pengalaman yang sangat langka dan berharga. Untuk resepsi terakhir nanti, semoga saya bisa ke sana lagi. Berminat ikut? Hehe..[]




*) Lengkingan ini adalah bagian dari adat yang biasa dilakukan untuk mengekspresikan kebahagiaan. Dilakukan dengan cara mengarahkan lidah ke rongga mulut bagian atas atau di belakang deretan gigi atas sembari mengeluarkan suara melengking.



Masih banyak cerita lainnya. Nantikan #egyptology di awal Februari.

Salam Hangat, 
Rashid Satari









Sunday, January 13, 2013

[#Egyptology] Jus Lemon di Tepi Batalyon

Sore itu kira-kira pukul 17.00, sepulang dari Abu Simbel Temple, saya berangkat dengan taksi menuju The Philae Temple. Ongkos taksi tidak sempat saya tawar semurah mungkin. Jadilah harga EGP. 50 saya sepakati dengan sang sopir untuk mengantar pulang pergi dan menunggu beberapa saat di tempat tujuan.

Dengan perasaan ketar-ketir saya duduk di taksi yang menelusuri jalan aspal di pinggiran sungai Nil. Rute jalan itu mengular dan agak menanjak.

“Berapa menit kita sampai ke kuil Philae?” Tanya saya penuh khawatir kepada Husein sang sopir.

“Hawalay khomasta’asyar dai’ah. Kira-kira lima belas menitan.”, jawab Husein. Husen sang sopir taksi yang seorang Nubian tulen. 

Sepanjang perjalanan saya mencoba menyulam komunikasi dengannya. Namun, dialek Nubian-nya sangat kental mendominasi bahasa Arab ‘Ammiyyah-nya. Sehingga, sebagai orang yang pertama kali mendengarnya, saya sulit sekali memahaminya. Saya hanya bisa menangkapnya sepenggal-sepenggal saja, sehingga saya berkali-kali memintanya mengulang ucapannya.

Maklum, saya banyak sekali bertanya kepadanya karena khawatir telat sampai lokasi tujuan. Karena, jika merujuk pada buku panduan terbitan The National Gheographic, tertulis di sana bahwa kuil ini sebenarnya tutup pada pukul 16.00. Saya nekat tetap berangkat setelah melihat tahun terbit buku itu adalah 2002. Saya harap-harap cemas, mudah-mudahan saja ada kebijakan baru tahun ini yang menambah waktu buka kuil ini.

Tak lama, taksi yang kami tumpangi sampai di gerbang pertama kuil Philae.

“Intu ruh fein? Kalian mau pergi kemana?” Seorang polisi berseragam hitam-hitam dengan senapan pendek di punggungnya mendekat sembari bertanya.

“Kami akan pergi ke kuil Philae. Orang ini adalah mahasiswa Al Azhar dari Kairo yang ingin berkunjung”. Husen menjelaskan.

Saya memperlihatkan karneh (kartu mahasiswa) Universitas Al Azhar Kairo kepada polisi tersebut. Polisi itu mengangguk-angguk.

Namun, kekhawatiran saya ternyata berusia pendek. Polisi itu menjelaskan bahwa jam kunjungan sudah ditutup pukul 16.00 tadi. Ia menyarankan saya untuk berkunjung esok pagi. Seketika itu juga saya lemas karena esok hari sudah ada agenda lain.

Taksi pun mundur teratur. Kemudian menepi. Namun, bukan orang Nubian jika Husen tidak bermurah hati. Ia lantas menawarkan kepada saya untuk mengantar berkeliling mendekati kuil Philae. Ia tahu sudut di mana Philai bisa terlihat indah saat senja. Philae di senja hari, memang itu yang saya kejar.

Taksi pun berputar arah. Gesit mengejar matahari menguning yang nampak sedang turun perlahan menuju garis cakrawala. Taksi menyusuri jalan aspal kecil di atas bukit berbatu. Sampailah kami di sebuah perkampungan kecil tepat di tepian bendungan Aswan.

“Mari ikuti saya!” Husen bergegas melepas sabuk pengaman dan turun dari taksi. Saya mengikutinya tergesa.

Jalan setapak menurun kami susuri. Rumah-rumah sederhana berbentuk persegi di kanan kiri seolah mengucapkan, ”Selamat datang di negeri kami”. Pasir dan kerikil-kerikil mengantarkan kami ke tepian bendungan Nil yang hampir serupa dermaga. Memang ada dermaga kecil di sana. Sangat indah! Dari arah atas, mata saya tertuju pada kapal-kapal kecil, perahu-perahu kayu, felluca dan sampan yang berderet rapi. Dari kejauhan, seorang pria nampak tengah sibuk menurunkan jangkar.

“Lihatlah itu!” sembari terus berjalan, Husen menunjukan telunjuknya ke arah selatan. Mata saya mengikuti arah itu. Menakjubkan! Kuil Philae nampak berada di tengah pulau berbatu dengan di kelilingi sudut-sudut hijau yang sepertinya itu adalah kumpulan pohon kurma dan Akasia. Pulau itu bertetanggaan dengan pulau-pulau batu lainnya yang lebih besar. Salah satunya adalah yang sedang saya pijak ini. Saya berdiri di tepian bendungan.

Dalam pandangan mata saya, pulau dan kuil itu satu arah dengan deretan perahu yang tertambat, dikelilingi air Nil yang sangat tenang. Di sebelah timur, tembok yang sekaligus berfungsi sebagai jembatan bendungan, nampak berdiri kokoh menahan air yang mengalir dari selatan menuju utara Mesir.

“Indah sekali. Apa nama tempat ini, Husen?” Mata saya masih tertambat pada pulau dan kuil di kejauhan itu. Husen tak sempat menjawab saat sebuah suara datang dari arah belakang kami,

“Batalyon! Tempat ini bernama Batalyon.”

Seketika itu juga saya dan Husen membalikkan badan mencari sumber suara. Tidak jauh dari tempat kami berdiri, seorang pria tua tengah duduk di teras rumahnya yang sederhana. Ia bersurban putih yang hampir kelabu. Baju gamis biru pucat menyelubungi tubuh rentanya yang agak tambun. Rambut berubannya menyembul dari balik sorbannya. Sebelah matanya nampak sudah tak bisa lagi melihat dengan normal. Ia tersenyum bersahabat kepada kami.

“Batalyon? Mengapa namanya seperti sekelompok tentara?!” Saya menghampirinya sambil bertanya dengan suara sedikit keras karena khawatir ia tak mampu mendengar dengan jelas. Husen mengikuti saya.

“Assalamu’alaikum!” Saya mengulurkan tangan.

“Wa’alaikumsalam warrahmatullah, fadlal! Silakan!” Pria tua itu menjabat erat. Telapak tangannya kasar dan padat. Saya duga dahulunya ia adalah pekerja keras.

“Dari dahulu namanya sudah Batalyon. Saya juga kurang begitu tahu mengapa namanya seperti itu. Mungkin dahulu di sini tempat tentara”. Ujar pria yang belakangan saya ketahui namanya adalah Daktur.

Putra Daktur yang bernama Hasan datang dari dalam rumah, menghampiri kami bertiga yang duduk di teras menghadap ke arah dermaga. Ia membawakan baki kecil dengan tiga gelas lemon dingin segar di dalamnya.

“Sejak kecil saya tinggal di sini. Rumah ini adalah rumah saya dan keluarga anak-anak saya.” Daktur memperkenalkan keluarganya yang ternyata tengah memperhatikan gerak-gerik kami dari dalam rumah. 

Hasan pun memperkenalkan istrinya yang saya lupa namanya, dan Muhammad anaknya yang masih berusia dua tahun. Nama anak itu semakin memperkuat hipotesa saya bahwa kebanyakan laki-laki di Mesir bernama Muhammad.

Saat melihat ke arah cakrawala, saya terkesiap karena ingat belum shalat Ashar dan Dhuhur. Di jalan tadi saya berencana untuk menjama’ qasharnya di tempat ini.

“Bolehkah saya ikut shalat di rumah anda?” tanya saya kepada Daktur.

“O ya, silakan-silakan. Maaf rumah saya berantakan!” Ujarnya.

Hasan menunjukkan tempat wudlu di dalam rumahnya. Benar-benar rumah yang unik dan sangat khas. Tidak begitu besar namun melambangkan suasana kekeluargaan yang hangat. Saat berjalan ke dalam, Muhammad kecil yang nampaknya belum lama bisa berjalan itu berlari-lari kecil mengikuti saya. Rambut pendeknya sedikit pirang dan ikal. Bulu matanya lentik menghiasai matanya yang bulat, hidungnya mancung. Di depan pintu kamar mandi saya membungkukkan badan dan mencubit lesung pipitnya. Lucu dan menggemaskan.

“Nampaknya perahu anda banyak sekali.” Ucap saya kepada Daktur. Saya duduk kembali di sampingnya di teras rumah setelah selesai shalat.

“Saya hanya punya beberapa saja. Semua dikelola anak saya, Hasan. Kami menyewakannya untuk transportasi turis asing menuju kuil Philae. Sebagian yang lain kami pakai untuk menangkap ikan.” Tutur Daktur sembari mempersilakan saya untuk menikmati lemon segar yang dari tadi menanti.

“Anda menangkap ikan untuk dijual?” susul saya.

“Kami menjualnya ke Aswan. Sayang sekali hari ini kami tidak punya stok ikan untuk dihidangkan.” Daktur menatap saya sambil tersenyum.

“Oh.. tidak apa-apa, lemon segar ini sudah lebih dari cukup.” Pungkas saya sambil membalas senyumnya.

Saya ingin sekali mengajaknya berpose di depan kamera yang saya bawa. Tapi, keraguan menyelimuti saya setelah tadi ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini ada seorang laki-laki pribumi yang marah ketika hendak saya jepret.

“Bapak, apakah di sini berfoto tidak diperbolehkan?” tanya saya sembari menjaga nada pertanyaan, khawatir pertanyaan saya ini menimbulkan ketidakenakkan baginya.

“Oh tidak! Silakan saja kalau mau berfoto”, sambutnya.

Saya menceritakan pengalaman dimarahi oleh seorang laki-laki pribumi tadi kepadanya. Daktur bercerita bahwa masyarakat di Batalyon memang agak trauma dengan kamera. Dahulu pernah ada turis Eropa yang mengambil foto-foto di Batalyon dan memuat foto-foto itu dalam sebuah majalah dengan narasi yang tidak mengenakkan hati mereka sebagai penduduk pribumi.

Di teras rumah Daktur. Berpose bersamanya dan istrinya.

“Anda seorang muslim. Saya juga muslim. Kita bersaudara. Saya tidak boleh berprasangka buruk pada anda, Nak. Silakan kalau mau mengambil foto”. Ucapannya amat menenangkan saya. Beberapa momen berhasil diabadikan.

Siluet senja, deretan perahu, felucca dan sampan. Juga, The Philae Tample yang bermandikan cahaya matahari senja dan sorotan lampu. Dan tentu saja yang tak kalah penting bagi saya adalah, berpose bersama keluarga Daktur.

Kami pun berpamitan setelah saling bertukar nomor ponsel dan menuntaskan regukkan terakhir dari segelas lemon segar di beranda rumahnya. Saat itu, langit di cakrawala merah merona.[]



Masih banyak cerita lainnya. Nantikan #egyptology di awal Februari.

Salam hangat, 
Rashid Satari

[#Egyptology] Sebuah Prolog



Apa yang ada dalam pikiran Anda ketika mendengar “Biologi”, “Fisiologi”, “Antropologi” dan gi.. gi.. lainnya? Mungkin pikiran Anda akan refleks membayangkan hal-hal ilmiah nan rumit. Lalu, sekarang apa yang terlintas di pikiran anda saat mendengar “Egyptology”?

Ilmu tentang ke-Mesir-an kah? Mungkin tentang politiknya, tentang industri pariwisatanya, tentang komoditasnya. Bisa jadi itu. Tapi di sini, bukan.

Ini adalah judul buku saya. Tepatnya, buku pertama saya yang ditulis secara bersendiri. Berisi tentang pengalaman perjalanan saya di sana. Pengalaman berinteraksi dengan masyarakatnya yang sangat unik. Ada yang bertanya, apakah ini buku traveling? Apakah ini buku backpacker?

Bukan keduanya. Menurut seorang teman yang ahli perbukuan, ini tergolong genre memoar traveling. Genre buku yang masih jarang di Indonesia. Buat yang pernah baca The Geography of Bliss, bisa membayangkan seperti itulah kurang lebih Egyptology.

Saya bertemu dengan orang-orang baru di sana. Kebiasaan-kebiasaan, adat dan budaya baru di sana. Setidaknya baru menurut saya. Dari utara hingga selatan, dari barat hingga timur, Mesir sangat bahkan terlalu kaya. Pantas saja negeri ini disebut ibunya peradaban dunia (Umm Ad Dunya).

Saya ingin mengajak Anda mengakrabi Mesir bukan dengan cara yang biasa. Bukan dengan cara yang biasa dilakukan buku-buku atau pemandu wisata. Saya tidak mengajak Anda melihat bagaimana bentuk Piramida. Saya mengajak Anda mengakrabi hal yang jauh lebih sederhana dari itu semua. Hal sederhana namun seringkali luput dari jepretan kamera pelancong pada umumnya.

Banyak orang yang pernah ke Mesir, dengan berbagai urusan. Namun, saya yakin setiap orang akan punya kesan dan ceritanya sendiri-sendiri. Seperti kerumunan orang di satu taman, mereka tak kan punya cerita yang sama.

Maka tentang Mesir, inilah cerita saya. Saya amat menikmati senti demi senti jalanan di sana, butiran demi butiran pasir yang memenuhi daratannya, tiupan demi tiupan angin yang menyelimuti udaranya. Semoga Anda juga menikmatinya. Lebih jauh.. semoga Anda berkesempatan mengunjunginya.

Selamat membaca.  

Bandung, 13 Januari 2012
Salam hangat,

Rashid Satari


NB : Egyptology sedang menunggu detik-detik kelahirannya. Sembari menunggu, saya akan ceritakan beberapa cuplikan isinya di sini. Dan, jika tak ada aral melintang, ia akan lahir akhir bulan ini. InsyaAllah. Mohon doanya ya.. :)





Saturday, January 12, 2013

[Mulang ka Garut 5] Dua Gadis Kecil

Dua gadis kecil. Usia yang satu sekitar 9 tahunan, dan yang satunya lagi mungkin setahun lebih muda darinya. Paras mereka mirip. Mungkin mereka kakak beradik. 

Rambut mereka yang pirang terbakar matahari, agak basah oleh hujan. Sandal karetnya yang lusuh, kotor oleh tanah basah. Nampak cipratan tanah yang mulai mengering pada tumit dan betisnya. Masih terlihat hujan dari balik kaca jendela. 

Kondektur bis nampaknya sudah mengenal mereka. Kedua gadis kecil itu menumpang bis ini tanpa biaya. 

Dengan malu-malu, gadis yang paling kecil duduk di jok sebelah saya yang memang kosong. Saya sunggingkan senyum. Saya pindahkan ransel ke pangkuan saya, lalu mempersilahkannya duduk. Gadis yang lebih besar berdiri disampingnya. Si gadis kecil nampak mengantuk dan tertidur di samping saya. Kepalanya tersandar ke pundak saya, rambutnya yang basah menempel di lengan baju saya. 

Mau kemana sebenarnya mereka? 

Tiba-tiba, dua orang penumpang di jok depan saya berdiri dan hendak turun dari bis. Melihat jok yang kosong, gadis yang lebih besar pelan-pelan menghampirinya lalu duduk di sana. 

Gadis itu menemukan sebutir permen jahe di atas jok itu. Ia memungutnya dan membukanya. Lalu, ia menggigitnya. Saya kira ia langsung memakannya. Ternyata tidak. 

Gadis itu menggigitnya, membagi permen kecil itu jadi dua. Lalu, dia mendekati gadis kecil yang tidur bersandar di tangan saya. Ia membangunkannya. 

Si kecil pun terbangun. Gadis yang lebih besar menyodorkan potongan permen itu padanya. Si kecil meraihnya. Memasukkannya pada mulut mungilnya. Lalu, pelan-pelan kelopak matanya mulai kembali terpejam. 

Bahkan mereka pun berbagi! Ya, mereka berbagi sebutir permen yang mungkin tak kan sempat sampai ke lambung mereka. 

Melihat mereka berdua, ada gerimis di hati saya. Sementara, hujan di luar menyisakan basah pada dedaunan. 

Terima kasih gadis-gadis kecil. Siang ini kalian memberi pelajaran berarti. Memberi. Berbagi. 


Gambar diambil dari sini.


04 November 2011,
Rashid Satari 

#perjalanan Garut - Bandung


[Mulang ka Garut 4] Tulus

Pagi tadi, setiba di lokasi sebuah training, saya melihat beberapa siswa SLB (Sekolah Luar Biasa) sedang berkumpul tak jauh dari tempat parkir motor. Mereka nampak mengenakan kaus olahraga warna merah marun, dengan tas masing-masing di punggungnya. 

Setelah turun dari motor, tiba-tiba salah satu dari mereka datang menghampiri saya. Anak laki-laki. Usianya mungkin 10 tahunan. 

Anak itu mendekati saya. Dia mengulurkan tangan kanannya kepada saya. Oh, dia mengajak saya bersalaman. Saya pun menyambutnya. Tangan kami saling terpaut. Hey, dia menyentuhkan punggung tangan saya ke keningnya. Ada senyum di wajahnya. 

Lalu, saya bertanya padanya, "Mau kemana?" 

Dia menjawab dengan kalimat yang tidak saya mengerti. Namun, tangannya mengisyaratkan gerakan berenang. "Oh.. Mau renang ya?!" Ucap saya padanya. Dia tersenyum lebar. Nampak deretan giginya yang jarang. Sungguh ramah, padahal baru kali itu kami berjumpa. 

Tak lama, dia pun berlalu sambil melambaikan tangannya pada saya. Dengan sumringah, dia berlari menuju teman-temannya yang mulai meninggalkan tempat itu. 

Saya terpaku menatap punggungnya yang makin menjauh dari saya. Saya tak bisa berkata-kata. Hanya takjub yang terasa. 


Gambar diambil dari sini.

Ada yang tak sempat saya ucapkan padanya, "Terima kasih adik kecil. Sepagi ini kamu sudah mengajarkan saya arti ketulusan. Kamu anak spesial. Ya, kamu anak luar biasa!" 

Saat dia makin menjauh dan tak terlihat lagi, saya masih berdiri mematung. Speechless. 


Garut, Jumat - 07 Oktober 2011 - 07.48 WIB,
Rashid Satari


Thursday, January 10, 2013

[Mulang ka Garut 3] Kakek Sembunyi dari Pencuri

Sudah 14 tahun yang lalu kakek meninggalkan kami. Namun, ternyata sekian lama saya bercengkrama dengannya, masih banyak hal yang belum saya ketahui tentangnya. 

Kemarin, senin 28 Juni 2010, saya bersama paman, bibi, ibu, nenek dan sepupu, melakukan perjalanan menuju Tasikmalaya. Sepanjang perjalanan kami saling menceritakan tentang kakek. Saat giliran nenek bercerita, ia menyebutkan tiga hal yang sangat terkenang di hatinya. 

Kenangan pertama, saat perjalanan Ciamis - Garut. Ketika itu kakek bersama salah satu anaknya yang berarti paman saya. Mereka pulang dari Ciamis menuju Garut. Saat di terminal bis Ciamis mereka sempat mampir di sebuah kedai untuk memenuhi rasa lapar. 

Sesampai di Garut, kakek teringat pada satu buah pisang raja yang dimakannya namun lupa dihitung saat membayar. Satu malam kakek tidak bisa tidur, hingga keesokanharinya ia memaksa paman untuk mengantarkannya kembali ke terminal bis Ciamis guna membayar sebuah pisang yang telah dimakannya.

Padahal bila menuruti hawa nafsu bisa saja kakek tidak kembali ke sana hanya untuk membayar sebuah pisang yang harganya tidak seberapa. Apalagi ongkos bis Garut-Ciamis saja sudah jauh lebih mahal dari sebuah pisang.

Dalam cerita nenek yang lain dikisahkan bahwa suatu hari kakek memeriksa kebun seorang diri. Sesampainya di kebun tiba-tiba kakek bersembunyi di balik pepohonan dan semak. Rupanya kakek melihat seseorang sedang mencuri batang pohon bambu miliknya. 

Ketika itu kakek pulang kembali ke rumah dan menceritakan hal itu pada nenek. Tentu saja nenek heran dan bertanya mengapa kakek malah sembunyi saat melihat seseorang mencuri di kebunnya. Mestinya 'kan pencuri yang sembunyi dari pemilik kebun. 

Kakek hanya menjawab, "Kasihan orang itu, bila ketahuan oleh kakek tentu dia akan merasa sangat malu."

Itu baru dua cerita unik tentang kakek. Masih ada satu lagi. Suatu hari kakek kedatangan seorang tetangganya yang bermaksud meminjam uang. Sayangnya, saat itu kakek sedang tidak memiliki uang sama sekali. Begitupun nenek, tak menyimpan lagi uang simpanan. 

Nenek sempat bingung sekaligus kesal saat kakek menyuruhnya untuk meminjam pada tetangga yang lain demi membantu dia yang datang untuk meminjam uang. Namun, akhirnya nenek menuruti juga hingga si peminjam pun bisa bernafas lega karena keperluannya terpenuhi sudah. 

Kakek kami memang telah tiada hampir 14 tahun yang lalu. Namun, saya masih banyak belajar 
darinya hingga hari ini. Pelajaran tentang kehalusan hati, amanah dan kejujuran serta kasih 
sayang pada sesama.[] 


Emah & Aki Haji

30 Juni 2010,
Rashid Satari

~Mengenang kakek kami, H. Ahmad Basyar~

[Mulang ka Garut 2] Saat 'Indonesia' Masuk Desa

"Holleee.. naek mobil lagi..!" 

Seorang balita bersorak pada ibunya saat baru saja naik di dalam angkot berwarna coklat jurusan Cipanas-Alun-Alun. Saya yang sudah lebih dulu duduk di sana asyik mengikuti kejadian sore itu.

Dari paras muka dan penampilannya saya langsung bisa menebak bahwa mereka adalah penduduk di sekitar sini. Tidak jauh dari Garut kota. Apalagi mendengar logat atau dialek bicaranya, sangat kentara sekali bahwa mereka orang Garut asli. 

Angkot mulai berjalan pelan. Sang sopir sembari terus berteriak-teriak memanggil orang yang lewat barangkali mau naik angkotnya. 

"Mama.. mama.. nanti maen lagi ke toko Jokja ya..!" 

Sang mama nampak tersenyum mengiyakan, "Iya..iyya..".

Kejadian ini bagi saya sangat menarik. Bukan karena si anak yang sedang lucu-lucunya. Bukan pula karena mamanya yang masih terlihat muda dan cantik. Melainkan karena bahasa yang dipakai oleh mereka untuk berkomunikasi.

Beberapa kali saya menyaksikan beragam orang di kota kecil ini baik anak-anak, remaja maupun dewasa yang berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Beberapa kali pula saya merasa ingin tertawa karena dialek mereka yang masih sangat kentara dengan warna sundanya. Apalagi di banyak daerah di kabupaten Garut, terdapat beragam irama dan lagu dalam berbahasa lisan. 

Seperti anak di dalam angkot tadi misalnya. Betapa bahasa Idonesia sudah sedemikian memasyarakat, tak lagi hanya milik penduduk ibu kota. Juga tak lagi hanya berada di area-area pendidikan dan pemerintahan saja. Di dalam angkot pun, dan untuk balita pun bahasa Indonesia seakan sudah menjadi atribut wajib warga negara. 

Sayangnya, dari beberapa pengalaman yang sangat kasuistis, penerimaan bahasa Indonesia tidak seirama dengan penghayatan terhadap 'bahasa indung' yaitu bahasa Sunda. Sebagai sampel adalah anak-anak kecil yang sempat saya temui tak lagi mampu membedakan mana bahasa untuk teman sepadan dengan untuk orang tua. Mereka spontanitas berbicara kasar atau menggunakan bahasa Sunda Loma (pergaulan) terhadap orang yang lebih tua baik itu kakaknya, orang tuanya, pamannya atau neneknya. Anak-anak ini hampir bahkan tidak lagi mengenal jati dirinya sendiri. 

Gambar diambil dari sini. 


Padahal saya masih ingat pada sebuah sumber yang menyebutkan bahwa di negeri kita ini sudah sekian ratus bahasa daerah punah. Hal itu disebabkan berbagai hal salah satunya adalah efek globalisasi. Dan menurut saya juga karena efek nasionalisasi, yang salah kaprah. 

Saya sebut salah kaprah karena bagaimanapun nasionalisasi bukan berarti menyeragamkan segalanya seperti anak-anak SD yang harus berputih merah tanpa terkecuali. Seperti juga globalisasi yang bukan berarti 'membaratkan' ujung utara hingga selatan, timur hingga barat. 

Kegelisahan saya ini semakin bertambah saat menyaksikan munculnya berbagai macam lembaga pendidikan yang dengan bangga mempromosikan berbagai macam program yang sarat dengan berbagai macam program bahasa asing. Sementara dalam waktu yang sama tak ada sama sekali muatan lokal yang mendidikkan kekayaan budaya lokal, salah satunya adalah bahasa. 

Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa bagaimanapun sakralnya bahasa nasional, ia tak lebih sebagai sebuah produk yang lahir dari bersatunya kepentingan politik kolektif beberapa pemilik kebudayaan di gugusan kepulauan nusantara. Bahasa Indonesia lahir karena latarbelakang politik seiring dengan berdirinya republik ini. Berbeda dengan bahasa Sunda atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang jelas-jelas lahir dari keluhuran budaya masyarakat. 

Negara, akan dengan mudah runtuh. Bisa karena separatisme, disintegrasi, mosi tak percaya terhadap pusat atau lain sebagainya. Namun, seperti kebudayaan Indian yang punah seiring wafatnya penutur bahasa Eyak yang dipakai sebuah suku di Alaska Selatan, kekayaan budaya seperti bahasa Sunda akan tetap ada hingga penutur terakhirnya tiada.

"Kiri!" 

Saya spontan sedikit berteriak guna memberi tanda pada sopir ketika angkot sampai di tempat tujuan saya. Hmm.. mengapa saya tidak katakan "Kenca!" ("Kiri" dalam bahasa Sunda) saja ya?!:D []


23 Juni 2010
Rashid Satari,