Monday, December 08, 2008

Mengaji Thanta

Oleh : Rashid Satari

Tiga hari dua malam di Thantha. Ibu kota propinsi Gharbiyyah ini berjarak kurang lebih 120 km dari Kairo. Kota ini berada diantara Kairo dan Alexandria serta bertetanggaan dengan kota Kafrusyaikh. Thantha merupakan satu dari beberapa kota yang berada di kawasan Delta, yaitu daerah yang terletak di antara dua aliran sungai Nil.


Suatu sore di hari Selasa, 17 Januari 2006 M bertepatan dengan 17 Dzulhidjah 1426 H, saya bersama seorang kawan bernama Irfan memulai perjalanan menuju Thantha. Kami mulai perjalanan ini dari terminal Ramsis Kairo dengan menggunakan el-Tramco jurusan Ramsis - Gomlah. Pukul 15.05 waktu setempat, tramco mulai melaju. Dengan ongkos Le. 5,50 per orang, kami menikmati perjalanan selama kurang lebih satu jam dua puluh menitan. Sekitar pukul 16.30, kami sudah memasuki kota Thantha, hingga akhirnya kami turun di sebuah mahattah(stasiun) sebelum Gomlah, bernama mahattah Ma'rad. Dengan menggunakan taxi, kami menyambung perjalanan menuju apartemen di mana Irfan tinggal.

Dalam waktu 15 menit saya sudah sampai di sebuah flat berstyle tua. Dari warna catnya memang terlihat seperti bangunan baru, namun dari model arsitekturnya yang bergaya prancis, flat ini lebih serupa bangunan lama. Berbeda dengan keumuman flat-flat di Kairo, flat yang berada di lantai dasar apartemen ini memiliki ketinggian dinding yang relatif lebih tinggi, kira-kira empat meter jarak antara lantai dan langit-langitnya.

Thantha, 18 Januari 2006.
Karena harus menunggu Irfan mengikuti ujian mata kuliah terakhir semester ini, acara jalan-jalan yang saya rencanakan sebelumnya baru bisa dilakukan selepas maghrib.

Setelah menyusuri jalanan yang agak gelap diantara apartemen-apartemen tua, saya bersama Irfan memasuki kawasan yang dikenal dengan nama Maidan Sa'ah. Maidan Sa'ah adalah sebuah persimpangan jalan yang di tengahnya terdapat taman kecil berumput di mana sabuah tugu berdiri tegak. Itulah alasan mengapa persimpangan ini dinamakan Maidan Sa'ah, karena terdapat tugu dengan sebuah jam besar di bagian atasnya. Maidan Sa'ah juga merupakan titik pertemuan atau muara dari lima jalan beraspal. Pesona lain yang saya nikmati di kawasan ini juga adalah gedung-gedung tua yang tinggi mengelilingi persimpangan jalan ini. Jarum jam di tengah persimpangan malam itu menunjukan pukul 18.40 waktu setempat.


Dengan berjalan kaki, kami melanjutkan petualangan malam itu. Ternyata Maidan Sa'ah di kelilingi kawasan pasar yang ramai. Melewati kawasan ini, saya jadi teringat Pasar Baru Bandung yang memiliki suasana dan keramaian serupa. Di sini saya sempatkan mampir di sebuah maktabah (toko perlengkapan alat tulis), membeli sepasang batu baterai untuk Olympus Digital Camera yang saya bawa.


Berjalan ke utara, kami memasuki jalan Badawi. Jalan yang agak sedikit menanjak ini masih dikelilingi juga oleh bangunan-bangunan tua nan tinggi yang lantai dasar dan trotoarnya dipadati oleh deretan toko-toko. Menurut Irfan yang menjadi guide saya malam itu, toko-toko di jalan Badawi ini relatif lebih mahal dalam menawarkan dagangannya. Selanjutnya saya menjadi mengerti akan hal itu karena ternyata di ujung jalan ini terdapat sebuah masjid ternama; masjid Badawi. "Badawi" diambil dari nama seorang maha guru di kota ini bernama syaikh Muhammad Badawi, di mana makamnya terdapat di dalam masjid ini. Banyak masyarakat lokal maupun dari luar yang berziarah ke masjid dan makam ini sehingga kawasan ini ramai tak ubahnya seperti tempat pariwisata saja. Saya tak melewatkan kesempatan tersebut, beberapa jepretan kamera saya lakukan di halaman masjid ini. Beranjak dari masjid Badawi, kami melanjutkan ke arah timur menuju sebuah stasiun Qitar (kereta antar propinsi) kemudian berputar kembali menuju Maidan Sa'ah.


Penasaran dengan makanan yang diceritakan Irfan sepanjang jalan tadi, kami melintas ke sebelah barat Maidan Sa'ah. Deretan toko masih terus menjadi pemandangan kami. Kami sempat mampir di sebuah toko penjual coctail buah. Beberapa menit kami di sana, berbincang dengan 'ammu si penjual coctail yang dengan pedenya meminta sekali jepretan kamera dari kami. Ternyata coctail di sini agak sedikit lebih murah. Satu gelas coctail di sini bisa kami nikmati dengan harga Le. 1, 25, sedangkan di Kairo berkisar antara Le.2,00 hingga Le. 3,00. Jalan-jalan kami lanjutkan hingga tak lama akhirnya kami sampai di kedai yang tadi sempat diceritakan Irfan.


Qibdah bi Syurbah dilengkapi dengan Ruz Muammar adalah sasaran kami di kedai itu. Qibdah bi Syurbah terdiri dari roti 'isy hangat yang diisi goreng hati sapi, sedangkan Syurbah adalah kuah yang diambil dari kaldu kepala sapi. Adapun Ruz Muammar adalah nasi dicampur susu dan zubnah (keju), dikemas dalam mangkuk berukuran sedang kemudian dioven. Qibdah, Syurbah dan Ruz Muammar disajikan secara terpisah. Tiga sajian ini dilengkapi dengan Syalatah, yaitu lalab yang terdiri dari irisan tomat, lemon, daun kasybaroh, disiram dengan sedikit cuka. Satu porsi Qibdah bi Syurbah dijual dengan harga Le. 4,00 sedangkan Ruz Muammar Le.2,00. Adapun Syalathah, sesuai keumuman di kedai- kedai atau restoran-restoran lainnya, diberikan secara cuma-cuma. Kesan saya setelah mencicipinya adalah "ingin nambah".

Perjalanan malam kami lanjutkan. Sambil pulang, kami menelusuri sebuah jalan ke arah selatan yang ternyata bermuara di Maidan Sa'ah juga. Di ujung jalan ini terdapat toko es krim yang lumayan besar bernama Abdul Razak Ice Cream. Hmm.. melihat visualisasinya, lidah saya jadi tergoda juga. Kami memesan dua corong Chocolate Ice Cream yang berharga Le. 2,50 setiap satunya. Harga yang lumayan murah untuk ukuran toko sebesar ini saya pikir. Sayangnya seperti banyak orang bilang bahwa "harga memang tak berbohong", lidah kami tak merasa dimanjakan dengan rasanya.

Kami merasa cukup puas setelah hampir tiga jam setengah kami berjalan-jalan. Pukul 21.45 kami sudah sampai lagi di Maidan Sa'ah. Beberapa foto kami ambil di sini, kemudian kami pun berbalik pulang. Hari sudah larut dan semakin dingin saja malam itu.

Keesokan harinya, Kamis 19 Januari 2006, selepas salat Dhuhur kami melakukan perjalanan pulang ke Kairo. Perjalanan ini kami lakukan dengan menggunakan qitar darajah tsaniah (kereta lintas propinsi kelas II) dari mahattah Thantha. Tiket qitar seharga Le. 5,00 bisa kami dapatkan dengan Le.3,00 karena alasan status kami sebagai pelajar. Bila lancar, qitar akan memakan perjalanan selama satu jam setengah untuk sampai di mahattah Ramsis Kairo. Sebelum mencapai Kairo, qitar ini harus melewati beberapa mahattah untuk berhenti sejenak di sana sebelum melanjutkan perjalanan. Mahattah-mahattah itu antara lain Birkit Saba, Quesina, Banha, Tukh Station, Qahaa dan Shubra el-Kheima. Durasi waktu qitar ketika berhenti di setiap mahattah tersebut sekitar lima sampai sepuluh menit, namun ini bisa lebih singkat lagi bila nampak jarang penumpang yang ada di sana.

Qitar beranjak pelan selepas mahattah Shubra el-Kheima, karena jarak antara mahattah ini dengan mahattah akhir di Ramsis yang tidak terlalu jauh. Kira-kira pukul 15.00, kami sudah menginjakan kaki kembali di Ramsis Kairo.
Tiga hari dua malam bukanlah waktu yang cukup untuk mengungkap semua khazanah kota tua Thantha. Namun tiga hari dua malam bagi saya adalah waktu yang cukup untuk berkenalan dengan Thantha. Kunjungan pertama begitu menggoda. Kunjungan kedua, tunggu saja tanggal mainnya.


Bawabat II Nasr City Kairo, 22 Januari 2006

Ketika Osama Menikah*

[ seuntai oleh-oleh petualangan]

Oleh : Rashid Satari



Apa kata Amerika bila Osama menikah? Mungkin negara adidaya itu akan segera mengirimkan super sniper crew-nya untuk “meramaikan” pesta pernikahan tersebut. Tapi syukurlah hal itu tak terjadi, karena memang pengantin kali ini bukanlah orang nomor wahid dalam deretan buronan Amerika itu. Dia hanya Osama, mahasiswa tingkat tiga fakultas Dakwah Islamiyyah Universitas Al-Azhar Kairo.


* *


Kafrusyaikh. Sebuah kota kecil, kurang lebih 100 km dari Kairo arah Alexandria. Keberuntungan bagi penulis dapat mengenal kota tersebut. Seorang teman di kampus berasal dari sana, Osama namanya. Kafrusyaikh tidaklah seeksotis tetangganya, Alexandria, dan tidak pula sepongah saudara tuanya, Kairo. Dikelilingi pesawahan dan perkebunan subur menghijau sejauh mata memandang. Gemericik sungai irigasi mengiringi perjalanan sepanjang jalan beraspal menuju desa Ishaqah, rumah Osama. Kota ini memang sangat layak di sebut kawasan agraris. Setelah dua kali mengunjunginya, kesan yang hadir adalah serasa berpijak di kampung halaman sendiri. Anak-anak yang asyik berkecipak dengan air sungai, memandikan kerbaunya menjadi pemandangan klasik tersendiri setiap sore hari. Ibu-ibu dan para bapak yang berangkat ke sawah, berkendara pedati keladai atau bertelanjang kaki, menjadi sarapan mata setiap pagi hari.

Keramahan penduduknya yang menjadikan penulis ketagihan untuk kembali berkunjung ke tempat ini. Bagi masyarakat Ishaqah, adalah sebuah kebanggaan ketika bisa menjamu tamu jauh. Begitulah yang terjadi dengan keluarga Osama. Sambutan hangat, jamuan memuaskan, serta penerimaan layaknya keluarga sendiri adalah kesan kunjungan pertama penulis di desa tersebut.


**


Pada kali kedua kunjungan ke sana, adalah dalam rangka menghadiri undangan Osama. Osama bermaksud berbagi kebahagiaan dalam resepsi akad nikah dengan seorang gadis pujaannya. Adapun khitbah, telah dilakukan ketika Osama duduk di kuliah tingkat dua. Osama tidak seperti perawakannya yang tinggi besar. Usianya baru genap 20 tahun ketika itu. Sedangkan calon istrinya adalah gadis sekampungnya, dara manis bernama Nurah kelahiran 1986. Keduanya memang masih belia. Bagi mereka, pernikahan adalah babak hidup yang tak beralasan untuk tidak disegerakan, tentunya dengan segala perbekalan yang telah dipersiapkan.

Dalam adat kebiasaan masyarakatnya, pesta pernikahan biasa diadakan malam hari, tak terkecuali pesta akad nikah Osama ini. Hari itu, selepas shalat Dhuhur, Osama dan calon mempelai wanita berangkat menuju pusat kota Kafrusyaikh untuk membeli seperangkat perhiasan yang akan dijadikan mas kawin. Mereka diiringi oleh keluarga masing-masing, sehingga perjalanan menuju keramaian kota kala itu hampir mirip arak-arakan kampanye partai di negeri kita. Kontan, rengrengan keluarga ini menjadi pusat perhatian ratusan pasang mata di sepanjang jalan.

Tiba di kawasan perbelanjaan, calon mempelai wanita berhak memilih mas kawin yang diinginkannya. Searching perhiasanpun memakan waktu yang cukup lama. Maklum, pasangan mempelai juga keluarganya berharap sekali bisa menemukan perhiasan yang bisa melambangkan kebahagiaan mereka. Perhiasan yang dimaksudpun didapatkan; sepasang cincin, kalung, gelang dan giwang, diboyong kembali ke desanya. Tak disangka, perjalanan pulang ternyata jauh lebih semarak ketimbang pemberangkatan siang tadi. Lengkingan suara kaum hawa yang dikenal dengan istilah Zarghati mewarnai iring-iringan kendaraan.


Upacara akad nikah langsung dilaksanakan ba’da shalat Ashar berjama’ah di masjid setempat. Upacara ini dihadiri oleh Osama didampingi keluarganya, wali dari mempelai wanita dan tak ketinggalan masyarakat setempat yang didominasi oleh kaum pria. Proses ijab qabul berlangsung singkat sampai hampir tibanya waktu Maghrib. Suasana haru menaungi masjid sore itu.

Rupanya iring-iringan kedua belah pihak keluarga mempelai terulang kembali ba’da Maghrib. Ramainya tidak kalah dengan iring-iringan waktu siang. Hanya saja kali ini bertujuan mendandani pengantin wanita di sebuah wedding salon di tengah kota. Rupanya pemolesan pengantin inipun menghabiskan waktu yang tak singkat. Pengantin wanita dengan segala tata riasnya siap diboyong kembali ke lokasi resepsi tepat waktu Isya tiba. Rombongan inipun kembali pulang. Riuh suara dan lengkingan suara wanita lambang kegembiraan terdengar semakin ramai, dibalas dengan tepukan tangan bersahutan sepanjang jalan.

**

Malam itu adalah resepsi akad nikah. Sebelum nantinya menyusul satu resepsi lagi; resepsi terakhir pernikahan atau biasa diistilahkan dengan pesta dukhul. Sang suami baru boleh menunaikan “kewajiban” pertamanya setelah seremoni yang terakhir ini, kendati keabsahannya sebagai seorang suami telah terlegalisasi secara syar’i. Khusus untuk Osama, tenggang waktu antara resepsi akad nikah ke resepsi dukhul ini adalah lima bulan. Ini adalah produk adat bukan bagian dari syariat. Artinya, dalam tengang waktu tersebut Osama belum diperbolehkan untuk “duduk” satu ranjang dengan mempelai wanita, kecuali telah melewati resepsi terakhir tersebut.

Resepsi akad nikah ini berlokasi di depan rumah mempelai pria. Sebuah panggung pengantin sederhana dengan aneka pernak pernik yang menghiasinya telah dipersiapkan. Lampu-lampu warna warni menghiasi jalanan desa dari ujung ke ujung. Hentakan musik khas ala Mesir turut meramaikan suasana malam itu.


Untuk informasi, pernikahan di sini harus melalui tiga resepsi yang dipisahkan oleh waktu yang cukup renggang, diantaranya khitbah, akad nikah dan resepsi dukhul. Oleh karena itu, bisa jadi ini menjadi salah satu sebab sangat mahalnya biaya pernikahan di sini. Secara pribadi, penulis sangat menyayangkan realita yang terakhir ini.


Selama jeda waktu menjelang resepsi terakhir, mempelai pria yaitu Osama terus mempersiapkan rumah dan segala isinya untuk berumahtangga nanti. Karena resepsi terakhir baru bisa dilaksanakan bila rumah dan isinya selesai dipersiapkan. Rumah mempelai laki-laki ini berlokasi di tingkat atas kediaman orang tuanya. Setelah resepsi terakhir nanti, mempelai istri langsung diboyong ke rumah baru yang sedang dipersiapkan tersebut. Nah..di sinilah akhirnya sepasang pengantin baru ini memadu rindu.


**


Kafrusyaikh, Ishaqah danOsama, adalah pengalaman yang terlalu mahal untuk dilewatkan begitu saja. Dan untuk resepsi terakhir nanti, semoga penulis bisa ke sana lagi. Berminat ikut(?).


*) Dimuat dalam buletin Informatika milik ICMI orsat Cairo, 2006


Happy Birthday Reformasi

[sebuah kado air mata iba ; refleksi 7’th anniversary]

Oleh : Rashid Satari*

Berdetak menit menjadi jam, hari berganti minggu, bulan menjelma tahun dan tahun pun bertemu windu. Indonesia, sebuah negara-bangsa yang semakin hari semakin memperlihatkan eksistensinya secara nasional maupun internasional. Belum lama ini Indonesia terlibat dalam penandatanganan solidaritas kepedulian Al Aqsa-Palestina. Sedikit banyak sebuah manuver ini membuat mata dunia kembali melirik kita sebagai sebuah bangsa yang mempunyai martabat dan pendirian. Belum lagi prestasi Indonesia sebelum itu, yakni kesuksesan menggelar Pemilu Presiden secara langsung. Sebagai negara yang mengklaim diri “tanah kelahiran” Demokrasi, Amerika boleh iri dengan prestasi tersebut. Sekali lagi, mata dunia tak hanya sekali melirik Indonesia.

Sebelum itu semua, Merah putih memang pernah tercoreng-moreng dengan luka-luka. Luka Priok, luka Timor, luka Poso, luka Aceh, luka Semanggi, luka Trisakti, luka 27 Juli dan luka-luka lain sebagainya, baik yang terobati ataupun yang sampai kini terpeti es-kan mengering dan membeku karena terlupakan -mungkin-. Itu belum di tambah dengan luka harga diri – sebuah luka lama - ketika Indonesia terpuruk dalam katagori negara tak berdaya dan meroket rangking-nya sebagai bangsa terkorup di dunia.

Kemudian hal lain lagi, Reformasi datang sebagai sebuah babak pendewasaan bangsa. Reformasi telah beberapa tahun lalu dicetuskan. Wujud dari kekecewaan yang sempat terkekang. Mei enam tahun silam, genderang Reformasi bergema di seantero Ibu kota yang vibrasinya turut pula sampai ke desa-desa. Imbasnya, perubahan radikal maupun perlahan terjadi di sana sini, terus bergulir bergiliran hampir serempak. Di berbagai sendi kahidupan mulai dari politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Dari politik tingkat tinggi hingga politik kelas teri.

Enam tahun sudah Reformasi merayakan kemenangannya. Usia yang cukup sebenarnya untuk masa perbaikan bangsa ini karena bukankah Reformasi adalah tonggak awal dari cita-cita rehabilitasi Indonesia(?). Enam tahun sudah Reformasi merayakan kemenangannya. Dari sanalah harapan rakyat bermula. Syair indah tentang kesejahteraan pasca tumbangnya pohon Orde baru, lagu syahdu mendayu tentang kemerdekaan Hak Asasi turut menjadi bumbu. Jelas, bangsa ini telah lama amat rindu dengan itu semua. Dan Reformasi adalah pintunya.

Kemudian Reformasi pun berlalu. Seiring membasinya lagu dan syair semu dahulu. Reformasi menjadi bisu. Ditelan hegemoni perkembangan kebijakan-kebijakan politik baru. Para pahlawan sejati telah berganti dengan pahlawan-pahlawan baru. Begitupun para ksatria, para jenderal dan para pion pun “berganti baju” sampai-sampai “bergerak” kaku. Karena katanya kini adalah era baru(?). Dan aduh..! dasar bangsa kita, Reformasi yang diperjuangkan bertaruhkan darah dan air mata pun tega diperkosa juga. Dinodai dengan budaya korupsi yang semakin membumi. Ba’da reformasi, korupsi seperti terlegitimasi. Menjadi prasyarat para politisi dan birokrat dari pusat hingga daerah. Dari pejabat-pejabat teras hingga raja-raja kerdil di level grass root. Reformasi mereduksi.(!)

Sedangkan rakyat..

Harapan tinggal harapan ketika realita yang berbicara. Sungguh menyedihkan ketika belum genap seratus hari rampung pasca pelantikan eksekutif baru, tarif primer keseharian mereka harus naik kembali. Gas elpiji yang sejatinya telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat harus dinaikan harganya alih-alih menutupi kerugian yang saat ini dialami. Padahal sebenarnya di tempat lain sumur-sumur gas baru banyak digali. Yang jelas masyarakat hanya tahu bahwa mereka tak bisa lagi beli baju baru karena jangankan untuk itu, bahkan untuk beli “Tahu” pun mesti itung-itungan dulu. Karena memang sebenarnya sejak dulu masyarakat tak pernah berwenang menentukan masa depan dan nasib hidupnya sendiri ke mana mereka mau.

Lalu -sekali lagi- di Mei 2005 Reformasi akan genap berulang tahun lagi.

Ada yang patut disyukuri dari Reformasi. Karena dari sana ternyata masyarakat kita secara terpaksa telah banyak belajar dan membaca. Masyarakat Indonesia sekarang bukan lagi masyarakat Indonesia zaman dulu yang hanya tahu diam dengan cukup makan saja. Setelah menyaksikan dan merasakan luka-luka bangsa sendiri, dengan sendirinya masyarakat tertuntut untuk membuka mata setelah sekian lama tertidur buta. Kini masyarakat kita tak mudah lagi dibohongi, karena janji-janji sakti dari para pendekar politik yang dulu pernah didendangkan tak pernah terbukti.

Terbuktilah sudah bahwa memang akselerasi kesadaran masyakarat kita terhadap kondisi bangsanya sangatlah lamban. Mengapa? karena - warisan orde baru - terlalu lama masyarakat dibodohi. Pendidikannya direndahkan. Sejarah kehidupannya digelapkan. Sehingga masyarakat sulit untuk belajar bahkan untuk sekedar tahu jati dirinya sendiri.

Dan, kemudian jelaslah pula apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat kita. Masyarakat Indonesia butuh kader-kader/anak bangsa yang benar-benar mempedulikan Pendidikan-nya. Bukan tayangan-tayangan mistis, bukan goyangan-goyangan erotis, bukan lomba-lomba jadi artis, bukan kebohongan kuis-kuis, dan bukan janji-janji politis-simbolis-formalistis. Tapi masyarakat butuh hak pendidikannya yang - seharusnya – gratis!

Terakhir, demi kesejahteraan bangsa, semoga kau tak cepat basi lalu kemudian mati. Selamat ulang tahun Reformasi!


Cairo, Awal Mei 2005


*) Mahasiswa S1 Ushuluddin “ Universitas Kehidupan” Al-Azhar Kairo. Sekretaris Umum PII Mesir 2004-2006

Ahsannas


Oleh : Rashid Satari

Siang hari di mahattah (stasiun/terminal) Darâsah Kairo, sepulang ujian dari kampus Universitas Al - Azhar. Setelah menunggu hampir satu jam lamanya, bis bernomor 24 J datang juga. Bis ini sudah penuh rupanya, sehingga saya hanya mendapat jatah berdiri di tengah sesaknya penumpang. Seperti biasanya.

Terbayang sudah kepenatan yang akan saya rasakan. Setelah berjemur sekian lama di bawah terik matahari, saya harus berdiri di tengah sesak penumpang dan panasnya udara Kairo siang itu, kemungkinan besar hingga sampai stasiun terakhir nanti di kawasan Nasr City.

"Anda orang Malaysia?" seorang pria Mesir bertanya pada saya dengan logatnya yang khas. "Lâ.. Andunisia (bukan.. Indonesia)" jawab saya. "Ahsannâs! (manusia paling baik)", sahutnya menyusul jawaban yang saya berikan.

Orang Indonesia memang sering digelari sebagai Ahsannâs (manusia terbaik) oleh masyarakat Mesir. Konon, gelar ini ada sejak 1956-an, ketika Soekarno menjalin hubungan baik dengan Mesir yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Naseer. Gelar itu memasyarakat hingga kini.

Saya tersenyum bangga mendengar sanjungan pria itu. Sementara, di tengah sesaknya penumpang, uang recehan sebesar LE. 0,50 diestafetkan dari tangan ke tangan oleh para penumpang, dari depan sampai belakang bis tempat di mana kondektur bis duduk. Ada seorang ibu yang naik lewat pintu depan rupanya. Tak lama kemudian, sang kondektur memberikan karcis bis yang juga sampai kepada si ibu dengan cara estafet pula. Sebuah pemandangan yang tak pernah saya lihat di negerinya Ahsannâs, Indonesia.

Saya kemudian mengarahkan mata kembali pada pria tadi dan berkata, "Tidak, kalian (orang Mesir) justru lebih baik". Dia tetap bersikukuh, "Lâ, Andunisia ahsannâs! (Tidak, orang Indonesia-lah yang terbaik)". Pria itu tersenyum simpul. Sambil tersenyum, saya memilih diam.

Mata saya kembali tertuju pada Ibu tadi. Seorang pria separuh baya yang duduk di dekatnya spontan berdiri memberikan kursinya pada sang Ibu. Wanita berpostur tambun itu mencoba menolak, namun tidak bisa mengelak. Karena rupanya hal seperti itu, menghormati wanita tua ataupun muda, sudah menjadi budaya mereka. Lagi, sebuah pemandangan yang sangat langka di Indonesia.

Awalnya, saya memang merasa tersanjung dengan pujian pria tadi. Namun, perasaan itu kemudian berubah menjadi rasa malu. Dua peristiwa yang dialami si Ibu tadi menjadi renungan singkat saya waktu itu.

Indonesia, sebagai bagian dari bangsa timur yang terkenal sebagai bangsa berperangai baik dengan ketinggian akhlaq-nya, tengah ditimbang-timbang. Seharusnya, peristiwa yang dialami si ibu tadi lebih banyak kita saksikan di Indonesia. Bukan di Mesir, bagian dari daratan Arab-Afrika yang justru dikenal dengan budaya padang pasirnya yang keras.

Saya terus menerawang pada bayangan-bayangan kelam seputar tragedi kekerasan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, semakin hari kekerasan semakin identik dengan kita, masyarakat Indonesia. Berbagai liputan pemberitaan yang merekam beragam kekerasan datang hampir setiap jam. Sehingga wajar bila semakin hari, kecamasan akan tindak kejahatan semakin menghantui masyarakat kita. Hasil survey Litbang Media Group terhadap 477 responden di enam kota besar di Indonesia pada akhir 2006 lalu, menunjukan bahwa 61% cemas akan pemerasan, 63% akan perampokan, 69% terhadap pencopetan dan 72% terhadap pencurian.

Rasa malu itu kian bertambah bila teringat kembali tragedi pembunuhan sadis yang dilakukan seorang warga Indonesia terhadap sebuah keluarga Malaysia di Kairo tahun 2004 silam. Anehnya, peristiwa seperti itu tak membuat kita kehilangan gelar sebagai Ahsannâs di hadapan masyarakat Mesir.

Mereka bukan tidak tahu dengan peristiwa kelam Mei 1998 di Jakarta. Pun mereka tahu lebih jauh tentang tragedi Poso di 2003. Layanan TV kabel, internet yang mudah dan murah, memberikan mereka informasi yang detail tentang bagaimana sebagian masyarakat kita kala itu saling menyerang, memanah dan memenggal di pelosok Maluku sana.

Separuh perjalanan telah dilalui bis. Laki-laki yang berdiri di samping saya tadi menyapa kembali, "Semoga selamat di perjalanan. Anda...!" walau kalimatnya tidak diteruskan, tapi saya bisa mengerti karena dia berbicara sambil menyunggingkan senyum dan mengacungkan jempol tangannya. "Indonesia Ahsannâs" terus terngiang di benak saya, namun saya belum bisa kembali tersenyum bangga mengingatnya.

Pers; Antara Otoritas dan Distorsi Opini*


(Secarik refleksi atas fenomena Jyllands Posten dan Playboy)
Oleh : Rashid Satari*

"Satu ujung pena lebih kutakuti daripada seribu bayonet" (Napoleon Bonaparte)

Khusus untuk Indonesia, kran liberalisasi jurnalistik belum lama dibuka. Reformasi 1998 menjadi gerbang utama multi kebebasan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Amien Rais dalam sebuah antologi berjudul "Reformasi Dalam Stagnasi" mengatakan bahwa dari enam agenda reformasi, salah satunya berbunyi tentang kebebasan warga negara (dalam hal pers, bicara, ekspresi, religi dan lain sebagainya). Artinya harus diakui bahwa atmosfer bangsa kita pada pra-reformasi memang memandulkan sebagian segmentasi potensi anak bangsa. Hegemoni Orde Baru telah menginvestasikan “bom waktu” yang akhirnya meledak pada titik kulminasi tertinggi dengan kemasan reformasi.

Untung tak dapat diraih, reformasi pun mengalami stagnasi. Menurut Amien Rais, juga dalam antologi yang sama, stagnasi ini terjadi karena penyakit mental yang masih menggerogoti bangsa kita. Penyakit mental tersebut diantaranya adalah mental attitude bangsa. Mental Attitude ini berdampak pada terciptanya budaya Public Dishonesty (ketidakjujuran publik) dan Publiclies (kebohongan publik). Akhirnya bisa kita lihat bersama, kran kebebasan berekspresi yang dibuka ternyata malah mereduksi, mengalami ambivalensi dan absurditas arti. Kebebasan diartikulasikan sebagai era kebebasan yang membabi buta.


Pers atau dunia jurnalistik sejatinya adalah media informasi yang berposisi sebagai abdi publik. Menyajikan hidangan informasi yang objektif dan transparan merupakan lambang tanggung jawab moral pers terhadap publik. Mengutip Jalaluddin Rakhmat, The American Society of Newspaper Editors tahun 1923 meresmikan kode etik Jurnalistik yang kemudian terkenal sebagai Canons of Journalism. Kode etik itu diantaranya adalah (1) Tanggungjawab (2) Kebebasan Pers; kebebasan pers harus selalu dijaga sebagai hak vital manusia dan pers bebas membicarakan apa saja yang tidak dilarang hukum atau perundang-undangan. (3) Independensi; pers harus membebaskan diri dari segala kewajiban kecuali kepada kepentingan umum. (4) Ketulusan; kesetiaan kepada kebenaran, dan akurasi (sincerity, truthfulness, and accuracy). (5) Kejujuran dalam menyampaikan informasi (impartiality). (6) Berlaku adil (fair play); pers harus memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan penjelasan bandingan dari apa yang disampaikan. (7) Kesopanan (decency); pers harus menyampaikan informasi, betapa pun terperincinya, sesuai dengan standar moral dan kesusilaan masyarakat.

Selanjutnya, idealisme pers melalui kode etiknya ini harus tersandung oleh realita aktual yang menunjukan bahwa kebebasan bersuara melalui media pers telah menjadi hak milik setiap lapisan komunitas dan individu mana saja dari masyarakat kita, mulai dari kalangan akademisi hingga politisi. Akhirnya tak jarang penerbitan pers kental dengan unsur subyektifitas kelompok yang melatarbelakanginya.


Atas nama kebabasan pers, subyektifitas dalam penerbitan sebuah media menjadi hal yang tak bisa dipungkiri. Dalam Pemilu Indonesia 1999 saja misalnya, setiap partai politik diberi kewenangan lebar untuk menerbitkan media, apapun bentuknya, sebagai wasilah kampanye mereka. Dari sini bisa kita lihat, perang opini menjadi fungsi lain yang diperankan pers. Atas dasar fenomena seperti inilah akhirnya keberadaan dan peran pers dipertanyakan kembali.


Awal 2006 Denmark mengejutkan dunia dengan Jyllands Posten-nya. Indonesia pun tak ingin ketinggalan, melakukan manuver baru di tahun yang baru dengan rencana penerbitan PlayBoy versi dalam negeri. Apa yang terjadi diantara keduanya tak lebih sebagai puncak gunung es saja. Bila kita tilik lebih jauh, dua belas karikatur baginda Nabi Saw. di Jyllands Posten sebenarnya telah terbit sejak September tahun lalu. Begitu pula dengan fenomena Playboy, majalah atau media-media dengan menu hidangan serupa telah banyak menjamur di Indonesia jauh sebelumnya.

Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia pers sudah jauh dari idealisme dan kode etiknya sebagai transformator kebenaran faktual dan kontekstual yang mengedepankan nilai-nilai universal. Hal ini diasumsikan terjadi karena euforia jurnalistik yang terjadi secara global sehingga merangsang dunia pers untuk semakin berani mengekspresikan kemerdekaannya. Walaupun, sejatinya, kebebasan ini banyak dilatarbelakangi keberpihakan, tetapi keberpihakan itu harus dilimpahkan kepada kemashlahatan publik dan konsensus universal.


Ambiguisitas pers memberikan dampak yang cukup berarti pada berbagai sisi kehidupan kita. Dari Jyllands Posten misalnya, tidak hanya hubungan diplomatik antarbangsa saja yang rusak, krisis perekonomian dan patologi sosial turut menjadi ancaman. Demonstrasi radikal terjadi seperti di Libanon, Suriah dan Indonesia; ribuan karyawan perusahaan Denmark di beberapa negara mayoritas muslim harus mengalami PHK Ini akan berdampak langsung kepada stabilitas sosial ekonomi negara bersangkutan. Begitupun Playboy yang mempertaruhkan perhatian, tenaga bahkan nilai-nilai moralitas bangsa kita. Keduanya belum ditambah lagi dengan sebuah kemungkinan lain yang tak kalah mengerikan, ketika toleransi mencapai titik jenuhnya sehingga memancing petaka global berlatarbelakang akidah dan ideologi.


Perkembangan dunia dan euforia jurnalistik telah mengantarkan pers pada perannya yang paradoks. Atmosfer kebebasan telah menghembuskan nuansa tidak sehat diantara pers dan konsumennya. Di sisi lain para pakar komunikasi kontemporer berpendapat bahwa informasi tak bisa lagi dianggap sebagai alat semata bagi sebuah kekuasaan. Sebab, informasi itu sendiri adalah kekuasaan. Di sini, pers adalah penguasa informasi dan opini sepenuhnya.


Tulisan ini tidak bermaksud menggugat kemerdekaan pers, karena kemerdekaan bagi pers adalah nafas hidup. Semoga pers menemukan kembali jati dirinya sebagai abdi publik yang independen dan bertanggungjawab; penyampai berita dan penebar makna. Wallahu 'alam bishawab.


*) Dalam buletin Al Furqan milik Pwk. PP. Persis Mesir

Wednesday, December 03, 2008

Tiang Agama


Oleh : Rashid Satari

Runtuh. Itulah yang akan terjadi pada bangunan yang berdiri tanpa tiang. Seperti itu pula yang akan terjadi pada bangunan Islam apabila berdiri tanpa shalat. Rasulullah SAW bersabda, “Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama” (HR. Baihaqi).

Berdirinya Islam di muka bumi tidak hanya diindikasikan dengan keberadaan agama bernama Islam. Akan tetapi juga ditunjukan dengan terimplementasikannya nilai-nilai Islam dalam aktifiats keseharian manusia. Bila salah satunya saja tidak ada maka Islam pada hakikatnya berada diambang keruntuhan.

Allah SWT berfirman, ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Quran dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Ankabut[29]:45).

Ayat Al Quran di atas menunjukan bahwa pelaksanaan ibadah shalat memiliki efek positif pada tingkah laku pelaksananya. Secara langsung, seseorang yang melaksanakan shalat dengan baik akan senantiasa terkontrol dan terjaga perilakunya serta terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan Islam.

Hal tersebut terjadi karena ibadah shalat mendorong pelaksananya untuk senantiasa ingat pada Allah SWT. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaahaa[20]:14). Di sinilah terdapat hikmah agung yaitu ketika shalat wajib disyariatkan lima kali dalam satu hari. Artinya, bila seseorang melaksanakan shalat dengan baik maka kehidupannya sepanjang hari akan selalu ada dalam koridor Islam.

Shalat adalah tiang agama Islam. Betapa pentingnya shalat sehingga Rasulullah SAW bersabda, ”Amal yang pertama kali akan dihisab untuk seseorang hamba nanti pada hari kiamat ialah shalat, maka apabila shalatnya baik (lengkap), maka baiklah seluruh amalnya yang lain, dan jika shalatnya itu rusak (kurang lengkap) maka rusaklah segala amalan yang lain” (HR. Thabrani). Wallahu a’lambishawab.