Friday, April 10, 2009

Anomali Pendidikan Politik

Oleh : Rashid Satari
Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo

Dalam UU Pemilu No. 2 tahun 2008 tentang partai politik (parpol) disebutkan berbagai fungsi dan kewajiban parpol. Satu diantaranya adalah kewajiban parpol berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan politik bagi masyarakat.

Pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara [Bab I Pasal 1 ayat 4]. Hal ini menjadi penting mengingat vitalnya wawasan dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi dan pemilu di tanah air.

Fungsi parpol sebagai mesin dan kekuatan politik hingga saat ini sudah sangat kentara terlihat. Terutama di saat-saat menjelang pemilu seperti sekarang ini. Sayangnya, hal tersebut cenderung tidak diimbangi dengan implementasi fungsi 'pendidikan politik' secara proporsional kepada masyarakat.

Bagi masyarakat, pendidikan politik merupakan hal yang sangat strategis dibandingkan dengan aktifitas politik. Dan, aktifitas politik semestinya berpijak pada kesadaran dan wawasan yang cukup tentang perpolitikan. Sehingga, khususnya masyarakat bawah sebagai pihak yang terlibat langsung dalam proses demokrasi negeri ini tak hanya menjadi objek yang hanya ‘diatasnamakan' tanpa dicerdaskan.

Realita Politik di
GrassrootIroni. Kata itu mungkin cukup untuk menggambarkan kondisi masyarakat kita saat ini di tengah pesta demokrasi. Di saat bencana alam terjadi di berbagai tempat, masyarakat kita masih harus dibingungkan dengan proses politik yang tidak edukatif.

Kalaulah kampanye politik dikategorikan oleh parpol-parpol sebagai salah satu media pendidikan politik, maka jauh panggang dari api. Kampanye-kampanye parpol yang lebih mengeksplorasi goyangan artis dan janji-janji manis sama sekali kontradiktif dengan semangat pendidikan politik. Parahnya lagi, bencana alam seperti Situ Gintung misalnya selalu menjadi sasaran empuk untuk dijadikan arena kampanye. Kemanusiaan telah tergadai dengan kepentingan politik. Setiap parpol berkompetisi di hadapan para korban agar nampak sebagai yang paling berempati. Sementara, hal tragedi Lapindo di Porong dan Sidoarjo yang sudah memasuki tahun ketiga sama sekali sepi dari uluran tangan khususnya dari parpol. Mungkin karena yang terakhir ini momennya tidak pas dengan kepentingan politik.

Inilah yang hampir selalu terjadi setiap lima tahunan pesta demokrasi negeri kita. Berpuluh triliun APBN terkuras. Bermilyar-milyar rupiah terhambur begitu saja untuk biaya cetak bendera, kaos, spanduk, pamflet, panggung gembira hingga kampanye di jalan raya. Beribu menit yang semestinya produktif bagi masyarakat juga terbuang begitu saja karena disita oleh parade-parade politik. Bisa diprediksikan, pasca pemilu semua itu tak lebih hanya menyisakan kelelahan dan sampah di sana-sini sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya.

Disadari atau tidak oleh masyarakat, kelelahan masif tengah melanda mereka. Bila secara apologetik hal ini diklaim sebagai konsekwensi berdemokrasi, maka betapa mahal harga yang harus dibayar masyarakat. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah harus 'kalah' ditelan oleh hingar bingar panggung kampanye, kepolosan pikiran anak-anak harus terkontaminasi tarian-tarian erotis, masyarakat berekonomi lemah harus terbeli dengan dua puluh ribu rupiah saja.

Kondisi-kondisi di atas bukanlah pendidikan politik. Semua hal itu tak lebih hanya pembodohan terhadap masyarakat kita sendiri. Secara langsung merupakan pembodohan terhadap masa depan bangsa ini. Tak heran, politik selalu saja terstigma sebagai aspek yang sangat kotor dalam kehidukan berbangsa dan bernegara kita. Alih-alih besarnya anggaran KPU untuk suksesi Pemilu, apatisme akan terus potensial terjadi bila ritual politik seperti di atas tak mengalami perubahan. Walhasil, pemilu mungkin tetap bergulir namun minim totalitas dan miskin kualitas.

Dalam konteks pemilu kali ini, kita bisa memetakan masyarakat di luar kalangan elitis parpol. Secara sederhana, pemetaan itu tertuju pada dua bagian masyarakat. Pertama, mereka yang mengikuti perkembangan dan kedua mereka yang tidak mengikuti perkembangan (floating mass). Massa inilah yang kemudian diperebutkan oleh parpol-parpol peserta Pemilu. Partisipasi dan kepedulian masyarakat tersebut tak akan terlalu berbeda kadarnya bila parpol-parpol tak bisa menampilkan diri secara elegan. Ujungnya hanya memunculkan peluang hasil pemilu yang tak substantif bagi perjalanan bangsa ini lima tahun ke depan.

Peran Pendidikan Parpol

Lantas bagaimana semestinya parpol mengejawantahkan kewajibannya dalam pendidikan politik bagi masyarakat? Tentu saja, banyak cara bisa dilakukan. Aktifitas parpol apapun bentuknya, baik di saat-saat Pemilu ataupun bukan, bisa menjadi efektif memberikan wawasan politik pada masyarakat.

Kampanye politik yang mengutamakan aksi empatik dan bermoral adalah salah satu sampelnya. Demikian juga dengan membuang jauh-jauh politik uang. Hingga menggelar aksi-aksi turun ke lapangan, mengadakan penyuluhan di desa-desa, memberikan penyuluhan yang sehat di sekolah-sekolah mengingat banyaknya kuantitas pemilih pemula. Dan, semua itu tentu tak hanya bisa dilakukan saat menjelang Pemilu saja sehingga memicu pretensi negatif tentang motivasi kepentingan pragmatis di baliknya.

Merujuk pada undang-undang tentang parpol, terdapat tiga orientasi pendidikan politik. Pertama, meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan ketiga, meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Diperlukan pendidikan politik yang memberikan kesadaran tentang urgensitas pemilu bagi bangsa ini. Karena, tak semua masyarakat kita mengerti akan pentingnya parpol, kampanye, pemungutan suara, money politic dan lain sebagainya. Berbagai kasus yang menjerat rakyat kecil dalam skenario politik uang di beberapa daerah adalah bukti betapa gagapnya masyarakat kita ketika berinteraksi dengan politik praktis. Dalam skala minimal, pendidikan politik penting untuk masyarakat dalam mengenal dan menyalurkan aspirasi politiknya.

Dengan pendidikan politik diharapkan lahir masyarakat yang senantiasa optimis, peduli dan kritis terhadap laju pembangunan. Karena, masih banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan kejahatan pemerintahan karena didorong oleh minimnya keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pengawasan. Dari pendidikan politik diharapkan mampu mendongkrak optimisme masyarakat di tengah fluktuasi pembangunan yang tentu tak selamanya berjalan mulus. Karena seperti pernah disinggung Eep Saefullah Fatah, selamat atau tidaknya proses demokratisasi itu tergantung para pelaku utamanya. Dan, para pelaku utama itu bukan hanya elit parpol dan pemerintah saja melainkan juga masyarakat di akar rumput.

Pasca pemilu 2004, Indonesia boleh bangga dengan gelar negara terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India dalam hal pelaksanaan demokrasi. Sanjungan tersebut semestinya tak lantas menjadikan kita sebagai bangsa yang lupa diri, terbuai dengan apresiasi bangsa lain lantas lupa dengan kerapuhan akut yang terjadi di dalam.

Aktifitas politik yang semakin demokratis baik di tingkat daerah/lokal hingga pusat/nasional sejatinya seiring sejalan dengan kualitas kesadaran masyarakat terhadap bangsanya. Maka, pendidikan politik yang bersih dan objektif adalah keniscayaan. Wallahua’lam bishawab.  


Saturday, April 04, 2009

Potret ‘Gramatika’ Indonesia*

Oleh : Rashid SatariMahasiswa Uniersitas Al Azhar Cairo Jurusan Da'wah dan Kebudayaan Islam
Seperti kekayaan hayatinya, Indonesia adalah bangsa yang kaya raya dengan ragam budaya dan tentu saja bahasanya. Tak kurang dari 200 bahasa dan dialek daerah diidentifikasi tersebar di berbagai pelosok nusantara (Esser:1951). Catatan lain didokumentasikan Lembaga Bahasa Nasional yang mencatat 418 bahasa daerah (1972). Lebih menarik lagi The Summer Institute of Linguistic yang mempublikasikan hasil penelitiannya pada kesimpulan jumlah bahasa daerah yang mencapai 742 bahasa di nusantara [2006].

Seiring perkembangan zaman, ratusan bahasa tersebut mengalami akulturasi dan asimilasi dengan bahasa lain/asing. Bahkan dalam beberapa kasus, bahasa daerah bergesekan juga dengan bahasa nasional.

Bagi Indonesia, kekayaan bahasa ini adalah anugrah. Keberagaman bahasa sebagai perantara komunikasi, menjadi parameter kekayaan ragam warisan budaya nusantara. Sehingga tak berlebihan bila para pakar antropolinguistik berpandangan, kematian bahasa-bahasa di Indonesia akan berimbas pada kepunahan budaya.

Hal serupa terjadi juga di berbagai belahan lain di dunia. Seperti kebudayaan Indian yang punah seiring dengan wafatnya penutur terakhir bahasa Eyak yang dipakai sebuah suku di kawasan Alaska selatan. Koichiro Matsuura, Direktur UNESCO menegaskan bahwa kepunahan bahasa menyebabkan hilangnya warisan budaya khususnya warisan tradisi dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya seperti sajak-sajak hingga lolucon-lolucon [Republika:2009].

Kembali ke tanah air, menurut Pusat Bahasa Depdiknas terdapat sembilan bahasa yang punah di Papua dan 32 lainnya terancam punah. Sampel lain, di Maluku terdapat satu bahasa yang telah punah. Tragisnya, di kawasan lain bahasa asing justru semakin akrab dengan masyarakat seperti eksistensi bahasa Jepang di tengah-tengah komunitas anak-anak sekolah di daerah Karawang.

Pengikisan bahasa daerah oleh bahasa asing kerap terjadi di negara-negara berkembang. Hal ini disinyalir terjadi karena euforia kemajuan teknologi dan informasi di mana secara alami negara-negara maju dipandang sebagai kiblat peradaban. Sehingga, apa yang menjadi pola hidup, gaya berkomunikasi dan lain sebagainya dijadikan standarisasi kemajuan.
Apalagi kenyataan menunjukan bahwa bahasa-bahasa negara maju seperti bahasa yang dipergunakan di Amerika, Eropa, dan beberapa negara di Asia seperti Jepang saat ini menjadi standar kualifikasi bagi karir pekerjaan.

Walhasil, penduduk di kawasan negara berkembang merasa lebih berharga bila memiliki kecakapan berbahasa Inggris, Perancis, Jepang atau Jerman misalnya. Pada titik yang lebih ekstrim lagi, penggunaan bahasa daerah di pandang sebagai simbol ketertinggalan atau primitifisme.

Tekanan yang terjadi terhadap bahasa daerah di Indonesia tak cukup sampai sana. Para pemerhati bahasa dan budaya nusantara menilai bahwa keberadaan bahasa Indonesia memiliki andil besar dalam kepunahan bahasa daerah. Masyarakat di kawasan perkotaan cenderung memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan daripada bahasa lokal. Meskipun dalam banyak kasus, penggunaan bahasa Indonesia tersebut jauh dari kaidah-kaidah yang benar.

Terdapat tarik menarik antara idealisme menegakan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, dengan bahasa daerah sebagai instrumen identitas kebangsaan serta perkembangan era globalisasi.

Depdiknas memandang RUU Kebahasaan tahun 2007 mendesak adanya. Hal ini setelah mempertimbangkan derasnya arus globalisasi yang menggerus nasib bahasa nasional dan tentu saja bahasa-bahasa lokal. Dominasi bahasa asing sebagai bagian penting dari globalisasi telah meninggalkan bopeng-bopeng pada kualitas warga negara dalam berbahasa Indonesia. Penyerapan bahasa sudah membahayakan batas toleransi berbahasa. Maka, aturan main kebahasaan dirasa mendesak untuk diberlakukan. Konsekwensinya adalah kewajiban penggunaan bahasa Indonesia di berbagai intansi, lembaga pemerintahan, lapangan pekerjaan. Bahkan tenaga ahli asing diharuskan menguasai bahasa Indonesia bila ingin bekerja di negeri ini.

Namun, rupanya RUU yang dimaksudkan sebagai penerjemahan dari UUD pasal 36 dan ini juga menyimpan resiko. Bahasa daerah semakin tak memperoleh tempat di tengah masyarakat kita. Padahal bahasa Indonesia sendiri adalah akumulasi dari penghayatan pemuda-pemudi kita terhadap kekayaan budaya lokal dan penghayatan terhadap arti penting kebersatuan. Hal ini termanifestasikan pada momen 28 Oktober 1928.

Pada saat yang sama, Prof. Dr. Arief Rahman mencatat satu dari 50 bahasa di Kalimantan tak lagi digunakan. Di Sumatera, dua dari 13 bahasa mengalagi kritis dan satu punah. Di Sulawesi satu dari 110 bahasa telah punah dan 36 lainnya dalam kondisi kritis. Di Timor, Flores dan Sumba 50 bahasa masih bertahan dan 8 diantaranya terancam. Adapun di Jawa, hasil penelitian STISI Bandung di Bogor menunjukan bahwa sejak 1991 bahasa asli hampir sudah tidak bisa ditemukan [Najmudin Ansorullah:2007].

Wajar bila pemerintah berkepentingan untuk membangun sistem imunitas bagi kekayaan bahasa Indonesia. Namun, tentu saja penyusunan aturan main berbahasa ini sejatinya tak hanya melawan serangan bahasa luar. Melainkan juga menjadi payung hukum bagi kekayaan bahasa nasional sekaligus juga bahasa daerah.

Jepang mungkin satu di antara bangsa yang sangat langka. Ia mampu menyerap kemajuan peradaban Eropa tanpa mengorbankan bahasanya. Terbukti, bahasa Jepang dengan hurup Kanji-nya kini menjadi salah satu alat komunikasi kontemporer.

Bahasa adalah cermin jati diri dan kekayaan budaya. Dan, perubahan dalam sebuah masyarakat adalah keniscayaan. Evolusi bahasa dan budaya tentu tak bisa terhindarkan. Apalagi dikaitkan dengan konteks dunia saat ini yang hampir tanpa sekat. Maka, keluhuran budaya yang di miliki Indonesia akan selalu berbanding lurus dengan penghayatan masyarakat terhadap bahasanya. Karena, transformasi budaya berlangsung melalui perantara kebahasaan.

Bagi bahasa Indonesia, proteksi dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari perlindungan hukum hingga implementasi pendidikan kebahasaan di sekolah-sekolah. Sedangkan bagi bahasa daerah, proteksi nampak dilakukan dengan memaksimalkan otoritas pemda melalui Otda. Kebijakan pengajaran bahasa daerah dilakukan melalui kebijakan muatan lokal yang masing-masing daerah tentu berbeda satu sama lain. Baru-baru ini kebijakan Depdiknas terhadap lingkungan sekolah di Jabar kawasan priangan dengan kawasan lingkar ibu kota (Bogor, Depok dan sekitarnya) mengalami penyesuaian kembali. Bahasa Sunda tidak serta merta dijadikan muatan lokal di daerah Bogor dan Depok misalnya, karena kedua kota ini secara kultur lebih dekat pada kultur Betawi.

Bahasa Indonesia sendiri terbangun dari proses penyerapan bahasa yang berlangsung lama. Berawal dari bahasa Melayu Riau yang menjadi lingua franca sejak abad 13 silam. Selain itu, terdapat ribuan sampel serapan bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa luar. Dalam catatan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada tahun 1996, serapan dari bahasa Belanda sebanyak 3.280 kata, Inggris 1.610 kata, Arab 1.495 kata, Sanskerta - Jawa Kuno 677 kata, Cina 290 kata, Portugis 131 kata, Tamil 83 kata, Parsi 63 kata dan Hindi 7 kata. Catatan ini tentu akan terus bertambah seiring perkembangan masyarakat dan teknologi informasi-komunikasi.

Perlindungan terhadap bahasa Indonesia juga bahasa dearah tentu bukan berarti sikap apriori terhadap perkembangan bahasa asing. Perlu kebijakan yang berimbang untuk itu. Karena bahasa adalah penopang budaya dan jati diri bangsa. Wallahua’lam.
*) Pada rubrik Bahasa, Buletin MAKAR milik Rumah Budaya ‘Akar’ Cairo, edisi April 2009.

Saat Mahasiswa Berpolitik*

Oleh : Rashid SatariMahasiswa Universitas Al Azhar Cairo jurusan Da’wah dan Kebudayaan Islam
Sejarah telah mendefinisikan mahasiswa. Tak hanya sebagai insan akademis yang beraktifitas di dalam kampus, melainkan juga pro aktif merespon dinamika kehidupan sosial dan politik masyarakat. Inisiatif Sumpah Pemuda Oktober 1928 yang kemudian berbuah proklamasi 1945. Atau gerakan '66 yang berbuah revolusi dari orde lama ke orde baru. Serta yang terakhir adalah aksi angkatan 1998 yang mengubah wajah sejarah Indonesia dengan gelora reformasi. Mahasiswa tak hanya identik dengan kampus dan buku, tapi juga dengan kritisme dalam pikiran dan tindakan.

Mahasiswa dan politik praktis merupakan terma yang seringkali dipandang sebagai dua entitas yang saling berbenturan. Wajar, mahasiswa adalah masyarakat terdidik yang dibiasakan untuk berpikir dan bertindak atas nama tanggungjawab ilmiah dan kepentingan kemanusiaan yang universal. Sedangkan politik praktis adalah terma yang sangat berkait kelindan dengan perebutan kekuasaan, gesekan antar golongan bahkan kepentingan-kepentingan pragmatis.

Mari kembali sejenak menengok sejarah. Karena kebijakan Demokrasi Terpimpin-nya di sekitar tahun 1960-an, revolusi meletus di bawah lokomatif mahasiswa. Dan, Soekarno pun ‘tumbang’. Namun, idealisme mahasiswa kala itu kemudian terbuai dalam hubungan mesra dengan kekuasaan Soeharto yang diyakini sebagai pembawa perubahan. Kenyataan berbicara lain. Soeharto tak ubahnya tiran baru yang dengan kekuatannya mengendalikan republik dengan tangan besi. Hal itu nampak pada kasus Papera Papua di 1969 dan fusi partai-partai politik pada 1975.

Untungnya, tak semua mahasiswa tenggelam dalam kemesraan bersama orde baru. Arif Budiman (Soe Hok Jin), kakak kandung Soe Hok Gie, adalah tipologi mahasiswa kritis yang kemudian lantang kembali meneriakkan ketidaksetujuannya dengan kebijakan kontraproduktif pemerintah. Di 1971, ia menggalang kekuatan moral mahasiswa bersama masyarakat dalam bentuk gerakan Golongan Putih (Golput) pertama pada Pemilu di tahun itu sebagai sikap protes pada pemerintah.

Rentang sejarah juga kembali mengungkapkan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan dan pengawal dinamika kehidupan bangsa. Bagi sebuah kekuasaan tiran, mahasiswa adalah ‘musuh’ yang sangat disegani. Kebijakaan Orba melalui aturan Mendiknas Daoed Joesoef tentang NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) di tahun 1980-an memandulkan gerakan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa untuk terjebak pada sekat-sekat spesialisasi keilmuan dan gagap budaya berorganisasi dan perpolitikan ‘mikro’di dalam kampus. Sehingga dengan sendirinya, mahasiswa termarjinal dari rasa peka terhadap proses pembangunan. NKK/BKK hampir membius mahasiswa menjadi robot yang hanya dicetak untuk pintar, namun tidak mengerti permasalahan sosial politik.

Daya kritis, keberanian, keberpihakan pada kebenaran dan kepentingan rakyat banyak adalah identitas dari mahasiswa. Oleh karenanya, dalam dinamika politik, mahasiswa memiliki prioritas untuk bersikap sebagai outsider atau pihak yang berdiri di luar sistem stuktural. Hal ini penting mengingat peran strategis mahasiswa sebagai pihak yang selalu berbicara atas nama kepentingan bersama, bukan atas nama ‘bendera politik’ tertentu, dan menengahi antar elemen-elemen bangsa yang terfaksionalisasi.

 Tidak berpolitik praktis bukan berarti buta politik. Mahasiswa diharapkan menjadi garda depan dalam gerakan politik nilai (value political movement) ketimbang gerakan politik kekuasaan (power political movement). Karena, politik kekuasaan atau politik praktis adalah kawasan di mana praktik gesekan antar golongan dengan alasan kepentingan yang pada titik tertentu semakin irrasional.

Ini tidak lantas diartikan bahwa mahasiswa terpolarisasi dari politik. Karena sebagai pribadi, setiap mahasiswa memiliki hak menyalurkan partisipasi politik. Bagaimanapun, mahasiswa telah lebih dulu memiliki kewajiban pertamanya sebagai insan akademis. Di luar itu, kepekaan wawasan dan daya kritis terhadap dinamika bangsa dan perkembangan politik telah menjadi kenyataan sejarah bagi mahasiswa. Dan, menjadi kemestian.

Adalah prematur bila mahasiswa serta merta memasuki kawasan politik praktis sebelum terlebih dahulu menghayati peran utamanya tersebut. Maka, politik mahasiswa adalah kritisme objektif, strategi pembelaan terhadap kepentingan dan pencerdasan masyarakat, perlawanan terhadap kebodohan, tirani dan dominasi. Politik mahasiswa adalah saat mahasiswa berbicara demi kebaikan ‘kita’, bukan ‘kami’, ‘mereka’, ‘saya’ atau ‘anda’. Wallahu a’lam bishawab.
 
*) Pada rubrik Opini Buletin Akademika di Cairo edisi Maret 2009 




Islam Politik dan Bingkai Demokrasi*

Oleh : Rashid SatariMahasiswa Universitas Al Azhar Cairo Jurusan Da’wah dan Kebudayaan Islam
Adalah Moehamad Hatta, pada dekade 1966-1967 mendirikan PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia). Dilatarbelakangi idealisme universalitas Islam yang mencakup ranah sakral dan profan sekaligus, dari amal ibadah keagamaan, kerja sosial, kemanusiaan hingga politik ketatanegaraan. Di saat Soekarno hanyut kekuasaan dengan pembelaannya pada Nasakom hingga kebijakan pembubaran Masyumi dan PSI, Hatta dan PDII-nya berdiri diametral terhadap mainstream politik kala itu.

Konon, nilai-nilai demokrasi perlahan berekuivalen di tengah masyarakat muslim. Inilah yang nampak pada dinamika perpolitikan Indonesia. Kran demokrasi yang terbuka lebar menjanjikan liberalisasi dalam segala aspek kehidupan. Pemilu 1955 sebagai pesta demokrasi pertama republik ini terbilang sukses untuk ukuran negara baru. Antusiasme masyarakat nampak dari hadirnya beragam partai peserta pemilu. Mulai dari kalangan sipil agamis (Partai Masyumi dan NU), nasionalis (PNI), sosialis (PSI) hingga komunis (PKI). Geliat Islam politik telah terlihat sejak usia republik ini masih seumur jagung.

Meski keberagaman partai ini sempat dikebiri Demokrasi Terpimpin ala Orde Lama, namun kehadiran PDII seperti disinggung di awal telah menegaskan aspirasi umat Islam dalam berdemokrasi tak pernah padam. Apalagi bila kemudian kita pertemukan dengan momen reformasi 1998. Politik otoriter yang dipenetrasikan Orde Baru pun tak sanggup memendung arus grassroot. Alih-alih membangun jaring kekuasaan, apa yang dilakukan Orba hanya menanamkan bom waktu yang akhirnya meledak cepat.

Reformasi telah membongkar kran demokrasi yang tersendat dalam beberapa dekade. Pemilu 1999 disusul kemudian dengan Pemilu 2004 menjadi saksi pastisipasi umat Islam dalam berdemokrasi untuk membangun Indonesia. Akan tetapi muncul kemudian kegelisahan masif di tengah-tengah muslim tanah air saat disorientasi tercium dari arena perpolitikan tanah air. Parpol-parpol Islam tak lagi diyakini sebagai representasi 89% penduduk Indonesia. Bahkan, tak jarang partai Islam dicurigai justru tak lebih dari sekedar kendaraan yang mengeksploitasi konstituen muslim. Parpol Islam hanya dibedakan dalam nama dan bendera saja dari parpol jenis lainnya.

Kegelisahan tersebut wajar adanya. Para petinggi partai Islam seperti Yusril Ihza Mahendra dan Amin Rais misalnya selalu beralibi tentang heterogenitas parpol Islam sebagai parameter kesehatan berdemokrasi. Perbedaan bendera tak menjadi sekat ukhuwah dan perjuangan. Sejatinya, hal tersebut tak hanya sebatas platform belaka, terlebih bagi para politisi muslim. Namun, idealita tersebut nampak sebagai menara gading yang tak pernah sanggup digapai sejak dahulu. Sejak 1955 hingga 2004 kita dihadapkan pada realita yang ironis dan menyakitkan: parpol Islam tak pernah menang!

Apologi para politisi muslim dilanjutkan dengan pemaknaan yang terkesan dipaksakan atas gaung persatuan Islam yang sejak lama diteriakan tokoh-tokoh pergerakan Islam internasional. Pan Islamisme gagasan Al Afghani ditafsirkan dengan keberagaman parpol yang berpegang erat pada semangat ukhuwah Islamiyyah. Suatu pemaknaan yang dilegitimasi sebagai modernisasi dari pemaknaan klasik tentang kebersatuan umat Islam. Poin ini memperoleh tempatnya dalam Kongres Umat Islam (1998) yang mendeklarasikan bahwa pluralitas parpol Islam adalah sunnatullah. Menarik. Meminjam kalimat Hajriyanto Y. Thohari, “Sunatullah dahulu berarti satu, kini seribu”.

Teori tak selalu selaras dengan aplikasi. Imunitas NU terhadap godaan democracy syndrome justru melemah dan terbelah pada beragam parpol: PKB, PKU, PNU, Partai SUNI dan kini hadir PKNU. Masyumi yang gegap gempita secara gemilang sebagai simbol pemersatu gerakan reformis Islam kemudian tercabik menjadi PBB, Masyumi, Masyumi Baru, PUI, Partai Keadilan (kini PKS), dan lain sebagainya. Muhammadiyah pun tak lolos dari kubangan euforia demokrasi, muncul PMB yang konon sebagai wujud aspirasi yang tak terapresiasi di PAN. Partai-nya H.O.S Tjokroaminoto, PSII yang tersohor sebagai partai mini dengan value maxi, harus rela terhempas menjadi dua. Kebesaran Masyumi, ketokohan H.O.S Tjokroaminoto dan wawasan ke-Islaman para tokoh gerakan reformis Islam kontemporer tak mampu menghindarkan umat dari faksionalisme.

Tak berbeda dengan rangkaian pemilu yang lalu, di pemilu 2009 parpol-parpol Islam baik itu para pemain lama maupun wajah-wajah baru, kembali akan diuji konsistensinya. Konsistensi ini terkait pertanggungjawabannya atas asas Islam yang disandang, atas pembelaan pada konstituen Muslim yang direpresentasikan, maupun atas kepentingan bangsa yang diperjuangkan. Konsistensi ini akan sangat dan selalu bergesekan keras bahkan terpolarisasi dengan lalu lintas politik praktis yang masih tidak sehat. Dari politik uang, black campaign, kampanye negatif hingga pragmatisme yang paling kompromistis dan legal : koalisi lintas batas. Pada titik ini slogan “tak ada kawan atau lawan yang abadi” masih sangat relevan.

Ada yang baru bergema di jelang pemilu 2009. Anis Matta berpendapat bahwa era politik aliran telah kadaluarsa. Testimoninya ini tak sekedar kata, melainkan tampak secara transparan pada manuver-manuver politik yang dilakukan partainya. PKS kini dan sejak dari beberapa waktu ke belakang menjadi lebih inklusif. Konon, dengan dalih kreatifitas berkampanye dan strategi pemenangan Pemilu, partai ini “berani” berstatemen bahwa dalam kacamata politik praktis saat ini, isu syariat Islam sudah “tak laku” lagi.

Perubahan paradigma berpolitik tak hanya mengemuka di antara parpol-parpol Islam. Parpol-parpol nasionalis hingga sekuler pun terjangkit gejala yang sama. Tengok misalnya wacana “penghijauan” yang hangat di tubuh Golkar. Atau, seperti PDI yang “mendekat” pada masyarakat muslim dengan organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia-nya. Secara historis ini tidaklah asing, bukankah saat mendirikan PDII Hatta adalah seorang nasionalis?

Dalam bingkai demokrasi, semua mungkin saja terjadi. Kecenderungan parpol-parpol untuk lebih membuka diri dan berkonsiliasi dengan pihak luar adalah indikasi yang patut diapresiasi. Karena hal itu mempermudah peluang dinamika demokratisasi yang lebih baik dalam rangka gerak pembangunan bangsa Indonesia. Barangkali ini langkah awal dari interpretasi atas politik substantif di mana nilai Islam adalah panglima dan bendera adalah aksesori. Karena, bila inklusifisme parpol Islam hanya didorong pragmatisme buta, maka seperti apa yang mendiang Cak Nur bilang, “Islam yes, partai Islam No!” akan literal adanya. Wallahu alam bishawab.
   
*) Pada Buletin Afkar PCI-NU Mesir edisi Maret 2009