Saturday, April 04, 2009

Saat Mahasiswa Berpolitik*

Oleh : Rashid SatariMahasiswa Universitas Al Azhar Cairo jurusan Da’wah dan Kebudayaan Islam
Sejarah telah mendefinisikan mahasiswa. Tak hanya sebagai insan akademis yang beraktifitas di dalam kampus, melainkan juga pro aktif merespon dinamika kehidupan sosial dan politik masyarakat. Inisiatif Sumpah Pemuda Oktober 1928 yang kemudian berbuah proklamasi 1945. Atau gerakan '66 yang berbuah revolusi dari orde lama ke orde baru. Serta yang terakhir adalah aksi angkatan 1998 yang mengubah wajah sejarah Indonesia dengan gelora reformasi. Mahasiswa tak hanya identik dengan kampus dan buku, tapi juga dengan kritisme dalam pikiran dan tindakan.

Mahasiswa dan politik praktis merupakan terma yang seringkali dipandang sebagai dua entitas yang saling berbenturan. Wajar, mahasiswa adalah masyarakat terdidik yang dibiasakan untuk berpikir dan bertindak atas nama tanggungjawab ilmiah dan kepentingan kemanusiaan yang universal. Sedangkan politik praktis adalah terma yang sangat berkait kelindan dengan perebutan kekuasaan, gesekan antar golongan bahkan kepentingan-kepentingan pragmatis.

Mari kembali sejenak menengok sejarah. Karena kebijakan Demokrasi Terpimpin-nya di sekitar tahun 1960-an, revolusi meletus di bawah lokomatif mahasiswa. Dan, Soekarno pun ‘tumbang’. Namun, idealisme mahasiswa kala itu kemudian terbuai dalam hubungan mesra dengan kekuasaan Soeharto yang diyakini sebagai pembawa perubahan. Kenyataan berbicara lain. Soeharto tak ubahnya tiran baru yang dengan kekuatannya mengendalikan republik dengan tangan besi. Hal itu nampak pada kasus Papera Papua di 1969 dan fusi partai-partai politik pada 1975.

Untungnya, tak semua mahasiswa tenggelam dalam kemesraan bersama orde baru. Arif Budiman (Soe Hok Jin), kakak kandung Soe Hok Gie, adalah tipologi mahasiswa kritis yang kemudian lantang kembali meneriakkan ketidaksetujuannya dengan kebijakan kontraproduktif pemerintah. Di 1971, ia menggalang kekuatan moral mahasiswa bersama masyarakat dalam bentuk gerakan Golongan Putih (Golput) pertama pada Pemilu di tahun itu sebagai sikap protes pada pemerintah.

Rentang sejarah juga kembali mengungkapkan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan dan pengawal dinamika kehidupan bangsa. Bagi sebuah kekuasaan tiran, mahasiswa adalah ‘musuh’ yang sangat disegani. Kebijakaan Orba melalui aturan Mendiknas Daoed Joesoef tentang NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) di tahun 1980-an memandulkan gerakan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa untuk terjebak pada sekat-sekat spesialisasi keilmuan dan gagap budaya berorganisasi dan perpolitikan ‘mikro’di dalam kampus. Sehingga dengan sendirinya, mahasiswa termarjinal dari rasa peka terhadap proses pembangunan. NKK/BKK hampir membius mahasiswa menjadi robot yang hanya dicetak untuk pintar, namun tidak mengerti permasalahan sosial politik.

Daya kritis, keberanian, keberpihakan pada kebenaran dan kepentingan rakyat banyak adalah identitas dari mahasiswa. Oleh karenanya, dalam dinamika politik, mahasiswa memiliki prioritas untuk bersikap sebagai outsider atau pihak yang berdiri di luar sistem stuktural. Hal ini penting mengingat peran strategis mahasiswa sebagai pihak yang selalu berbicara atas nama kepentingan bersama, bukan atas nama ‘bendera politik’ tertentu, dan menengahi antar elemen-elemen bangsa yang terfaksionalisasi.

 Tidak berpolitik praktis bukan berarti buta politik. Mahasiswa diharapkan menjadi garda depan dalam gerakan politik nilai (value political movement) ketimbang gerakan politik kekuasaan (power political movement). Karena, politik kekuasaan atau politik praktis adalah kawasan di mana praktik gesekan antar golongan dengan alasan kepentingan yang pada titik tertentu semakin irrasional.

Ini tidak lantas diartikan bahwa mahasiswa terpolarisasi dari politik. Karena sebagai pribadi, setiap mahasiswa memiliki hak menyalurkan partisipasi politik. Bagaimanapun, mahasiswa telah lebih dulu memiliki kewajiban pertamanya sebagai insan akademis. Di luar itu, kepekaan wawasan dan daya kritis terhadap dinamika bangsa dan perkembangan politik telah menjadi kenyataan sejarah bagi mahasiswa. Dan, menjadi kemestian.

Adalah prematur bila mahasiswa serta merta memasuki kawasan politik praktis sebelum terlebih dahulu menghayati peran utamanya tersebut. Maka, politik mahasiswa adalah kritisme objektif, strategi pembelaan terhadap kepentingan dan pencerdasan masyarakat, perlawanan terhadap kebodohan, tirani dan dominasi. Politik mahasiswa adalah saat mahasiswa berbicara demi kebaikan ‘kita’, bukan ‘kami’, ‘mereka’, ‘saya’ atau ‘anda’. Wallahu a’lam bishawab.
 
*) Pada rubrik Opini Buletin Akademika di Cairo edisi Maret 2009 




0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)