Friday, April 10, 2009

Anomali Pendidikan Politik

Oleh : Rashid Satari
Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo

Dalam UU Pemilu No. 2 tahun 2008 tentang partai politik (parpol) disebutkan berbagai fungsi dan kewajiban parpol. Satu diantaranya adalah kewajiban parpol berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan politik bagi masyarakat.

Pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara [Bab I Pasal 1 ayat 4]. Hal ini menjadi penting mengingat vitalnya wawasan dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi dan pemilu di tanah air.

Fungsi parpol sebagai mesin dan kekuatan politik hingga saat ini sudah sangat kentara terlihat. Terutama di saat-saat menjelang pemilu seperti sekarang ini. Sayangnya, hal tersebut cenderung tidak diimbangi dengan implementasi fungsi 'pendidikan politik' secara proporsional kepada masyarakat.

Bagi masyarakat, pendidikan politik merupakan hal yang sangat strategis dibandingkan dengan aktifitas politik. Dan, aktifitas politik semestinya berpijak pada kesadaran dan wawasan yang cukup tentang perpolitikan. Sehingga, khususnya masyarakat bawah sebagai pihak yang terlibat langsung dalam proses demokrasi negeri ini tak hanya menjadi objek yang hanya ‘diatasnamakan' tanpa dicerdaskan.

Realita Politik di
GrassrootIroni. Kata itu mungkin cukup untuk menggambarkan kondisi masyarakat kita saat ini di tengah pesta demokrasi. Di saat bencana alam terjadi di berbagai tempat, masyarakat kita masih harus dibingungkan dengan proses politik yang tidak edukatif.

Kalaulah kampanye politik dikategorikan oleh parpol-parpol sebagai salah satu media pendidikan politik, maka jauh panggang dari api. Kampanye-kampanye parpol yang lebih mengeksplorasi goyangan artis dan janji-janji manis sama sekali kontradiktif dengan semangat pendidikan politik. Parahnya lagi, bencana alam seperti Situ Gintung misalnya selalu menjadi sasaran empuk untuk dijadikan arena kampanye. Kemanusiaan telah tergadai dengan kepentingan politik. Setiap parpol berkompetisi di hadapan para korban agar nampak sebagai yang paling berempati. Sementara, hal tragedi Lapindo di Porong dan Sidoarjo yang sudah memasuki tahun ketiga sama sekali sepi dari uluran tangan khususnya dari parpol. Mungkin karena yang terakhir ini momennya tidak pas dengan kepentingan politik.

Inilah yang hampir selalu terjadi setiap lima tahunan pesta demokrasi negeri kita. Berpuluh triliun APBN terkuras. Bermilyar-milyar rupiah terhambur begitu saja untuk biaya cetak bendera, kaos, spanduk, pamflet, panggung gembira hingga kampanye di jalan raya. Beribu menit yang semestinya produktif bagi masyarakat juga terbuang begitu saja karena disita oleh parade-parade politik. Bisa diprediksikan, pasca pemilu semua itu tak lebih hanya menyisakan kelelahan dan sampah di sana-sini sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya.

Disadari atau tidak oleh masyarakat, kelelahan masif tengah melanda mereka. Bila secara apologetik hal ini diklaim sebagai konsekwensi berdemokrasi, maka betapa mahal harga yang harus dibayar masyarakat. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah harus 'kalah' ditelan oleh hingar bingar panggung kampanye, kepolosan pikiran anak-anak harus terkontaminasi tarian-tarian erotis, masyarakat berekonomi lemah harus terbeli dengan dua puluh ribu rupiah saja.

Kondisi-kondisi di atas bukanlah pendidikan politik. Semua hal itu tak lebih hanya pembodohan terhadap masyarakat kita sendiri. Secara langsung merupakan pembodohan terhadap masa depan bangsa ini. Tak heran, politik selalu saja terstigma sebagai aspek yang sangat kotor dalam kehidukan berbangsa dan bernegara kita. Alih-alih besarnya anggaran KPU untuk suksesi Pemilu, apatisme akan terus potensial terjadi bila ritual politik seperti di atas tak mengalami perubahan. Walhasil, pemilu mungkin tetap bergulir namun minim totalitas dan miskin kualitas.

Dalam konteks pemilu kali ini, kita bisa memetakan masyarakat di luar kalangan elitis parpol. Secara sederhana, pemetaan itu tertuju pada dua bagian masyarakat. Pertama, mereka yang mengikuti perkembangan dan kedua mereka yang tidak mengikuti perkembangan (floating mass). Massa inilah yang kemudian diperebutkan oleh parpol-parpol peserta Pemilu. Partisipasi dan kepedulian masyarakat tersebut tak akan terlalu berbeda kadarnya bila parpol-parpol tak bisa menampilkan diri secara elegan. Ujungnya hanya memunculkan peluang hasil pemilu yang tak substantif bagi perjalanan bangsa ini lima tahun ke depan.

Peran Pendidikan Parpol

Lantas bagaimana semestinya parpol mengejawantahkan kewajibannya dalam pendidikan politik bagi masyarakat? Tentu saja, banyak cara bisa dilakukan. Aktifitas parpol apapun bentuknya, baik di saat-saat Pemilu ataupun bukan, bisa menjadi efektif memberikan wawasan politik pada masyarakat.

Kampanye politik yang mengutamakan aksi empatik dan bermoral adalah salah satu sampelnya. Demikian juga dengan membuang jauh-jauh politik uang. Hingga menggelar aksi-aksi turun ke lapangan, mengadakan penyuluhan di desa-desa, memberikan penyuluhan yang sehat di sekolah-sekolah mengingat banyaknya kuantitas pemilih pemula. Dan, semua itu tentu tak hanya bisa dilakukan saat menjelang Pemilu saja sehingga memicu pretensi negatif tentang motivasi kepentingan pragmatis di baliknya.

Merujuk pada undang-undang tentang parpol, terdapat tiga orientasi pendidikan politik. Pertama, meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan ketiga, meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Diperlukan pendidikan politik yang memberikan kesadaran tentang urgensitas pemilu bagi bangsa ini. Karena, tak semua masyarakat kita mengerti akan pentingnya parpol, kampanye, pemungutan suara, money politic dan lain sebagainya. Berbagai kasus yang menjerat rakyat kecil dalam skenario politik uang di beberapa daerah adalah bukti betapa gagapnya masyarakat kita ketika berinteraksi dengan politik praktis. Dalam skala minimal, pendidikan politik penting untuk masyarakat dalam mengenal dan menyalurkan aspirasi politiknya.

Dengan pendidikan politik diharapkan lahir masyarakat yang senantiasa optimis, peduli dan kritis terhadap laju pembangunan. Karena, masih banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan kejahatan pemerintahan karena didorong oleh minimnya keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pengawasan. Dari pendidikan politik diharapkan mampu mendongkrak optimisme masyarakat di tengah fluktuasi pembangunan yang tentu tak selamanya berjalan mulus. Karena seperti pernah disinggung Eep Saefullah Fatah, selamat atau tidaknya proses demokratisasi itu tergantung para pelaku utamanya. Dan, para pelaku utama itu bukan hanya elit parpol dan pemerintah saja melainkan juga masyarakat di akar rumput.

Pasca pemilu 2004, Indonesia boleh bangga dengan gelar negara terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India dalam hal pelaksanaan demokrasi. Sanjungan tersebut semestinya tak lantas menjadikan kita sebagai bangsa yang lupa diri, terbuai dengan apresiasi bangsa lain lantas lupa dengan kerapuhan akut yang terjadi di dalam.

Aktifitas politik yang semakin demokratis baik di tingkat daerah/lokal hingga pusat/nasional sejatinya seiring sejalan dengan kualitas kesadaran masyarakat terhadap bangsanya. Maka, pendidikan politik yang bersih dan objektif adalah keniscayaan. Wallahua’lam bishawab.  


Comments
1 Comments

1 komentar:

  1. Makasih wat tulisannya, bikin aku terkesiap sejenak hehe

    ReplyDelete

Silakan tulis kesan anda di sini. :)