Saturday, April 04, 2009

Islam Politik dan Bingkai Demokrasi*

Oleh : Rashid SatariMahasiswa Universitas Al Azhar Cairo Jurusan Da’wah dan Kebudayaan Islam
Adalah Moehamad Hatta, pada dekade 1966-1967 mendirikan PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia). Dilatarbelakangi idealisme universalitas Islam yang mencakup ranah sakral dan profan sekaligus, dari amal ibadah keagamaan, kerja sosial, kemanusiaan hingga politik ketatanegaraan. Di saat Soekarno hanyut kekuasaan dengan pembelaannya pada Nasakom hingga kebijakan pembubaran Masyumi dan PSI, Hatta dan PDII-nya berdiri diametral terhadap mainstream politik kala itu.

Konon, nilai-nilai demokrasi perlahan berekuivalen di tengah masyarakat muslim. Inilah yang nampak pada dinamika perpolitikan Indonesia. Kran demokrasi yang terbuka lebar menjanjikan liberalisasi dalam segala aspek kehidupan. Pemilu 1955 sebagai pesta demokrasi pertama republik ini terbilang sukses untuk ukuran negara baru. Antusiasme masyarakat nampak dari hadirnya beragam partai peserta pemilu. Mulai dari kalangan sipil agamis (Partai Masyumi dan NU), nasionalis (PNI), sosialis (PSI) hingga komunis (PKI). Geliat Islam politik telah terlihat sejak usia republik ini masih seumur jagung.

Meski keberagaman partai ini sempat dikebiri Demokrasi Terpimpin ala Orde Lama, namun kehadiran PDII seperti disinggung di awal telah menegaskan aspirasi umat Islam dalam berdemokrasi tak pernah padam. Apalagi bila kemudian kita pertemukan dengan momen reformasi 1998. Politik otoriter yang dipenetrasikan Orde Baru pun tak sanggup memendung arus grassroot. Alih-alih membangun jaring kekuasaan, apa yang dilakukan Orba hanya menanamkan bom waktu yang akhirnya meledak cepat.

Reformasi telah membongkar kran demokrasi yang tersendat dalam beberapa dekade. Pemilu 1999 disusul kemudian dengan Pemilu 2004 menjadi saksi pastisipasi umat Islam dalam berdemokrasi untuk membangun Indonesia. Akan tetapi muncul kemudian kegelisahan masif di tengah-tengah muslim tanah air saat disorientasi tercium dari arena perpolitikan tanah air. Parpol-parpol Islam tak lagi diyakini sebagai representasi 89% penduduk Indonesia. Bahkan, tak jarang partai Islam dicurigai justru tak lebih dari sekedar kendaraan yang mengeksploitasi konstituen muslim. Parpol Islam hanya dibedakan dalam nama dan bendera saja dari parpol jenis lainnya.

Kegelisahan tersebut wajar adanya. Para petinggi partai Islam seperti Yusril Ihza Mahendra dan Amin Rais misalnya selalu beralibi tentang heterogenitas parpol Islam sebagai parameter kesehatan berdemokrasi. Perbedaan bendera tak menjadi sekat ukhuwah dan perjuangan. Sejatinya, hal tersebut tak hanya sebatas platform belaka, terlebih bagi para politisi muslim. Namun, idealita tersebut nampak sebagai menara gading yang tak pernah sanggup digapai sejak dahulu. Sejak 1955 hingga 2004 kita dihadapkan pada realita yang ironis dan menyakitkan: parpol Islam tak pernah menang!

Apologi para politisi muslim dilanjutkan dengan pemaknaan yang terkesan dipaksakan atas gaung persatuan Islam yang sejak lama diteriakan tokoh-tokoh pergerakan Islam internasional. Pan Islamisme gagasan Al Afghani ditafsirkan dengan keberagaman parpol yang berpegang erat pada semangat ukhuwah Islamiyyah. Suatu pemaknaan yang dilegitimasi sebagai modernisasi dari pemaknaan klasik tentang kebersatuan umat Islam. Poin ini memperoleh tempatnya dalam Kongres Umat Islam (1998) yang mendeklarasikan bahwa pluralitas parpol Islam adalah sunnatullah. Menarik. Meminjam kalimat Hajriyanto Y. Thohari, “Sunatullah dahulu berarti satu, kini seribu”.

Teori tak selalu selaras dengan aplikasi. Imunitas NU terhadap godaan democracy syndrome justru melemah dan terbelah pada beragam parpol: PKB, PKU, PNU, Partai SUNI dan kini hadir PKNU. Masyumi yang gegap gempita secara gemilang sebagai simbol pemersatu gerakan reformis Islam kemudian tercabik menjadi PBB, Masyumi, Masyumi Baru, PUI, Partai Keadilan (kini PKS), dan lain sebagainya. Muhammadiyah pun tak lolos dari kubangan euforia demokrasi, muncul PMB yang konon sebagai wujud aspirasi yang tak terapresiasi di PAN. Partai-nya H.O.S Tjokroaminoto, PSII yang tersohor sebagai partai mini dengan value maxi, harus rela terhempas menjadi dua. Kebesaran Masyumi, ketokohan H.O.S Tjokroaminoto dan wawasan ke-Islaman para tokoh gerakan reformis Islam kontemporer tak mampu menghindarkan umat dari faksionalisme.

Tak berbeda dengan rangkaian pemilu yang lalu, di pemilu 2009 parpol-parpol Islam baik itu para pemain lama maupun wajah-wajah baru, kembali akan diuji konsistensinya. Konsistensi ini terkait pertanggungjawabannya atas asas Islam yang disandang, atas pembelaan pada konstituen Muslim yang direpresentasikan, maupun atas kepentingan bangsa yang diperjuangkan. Konsistensi ini akan sangat dan selalu bergesekan keras bahkan terpolarisasi dengan lalu lintas politik praktis yang masih tidak sehat. Dari politik uang, black campaign, kampanye negatif hingga pragmatisme yang paling kompromistis dan legal : koalisi lintas batas. Pada titik ini slogan “tak ada kawan atau lawan yang abadi” masih sangat relevan.

Ada yang baru bergema di jelang pemilu 2009. Anis Matta berpendapat bahwa era politik aliran telah kadaluarsa. Testimoninya ini tak sekedar kata, melainkan tampak secara transparan pada manuver-manuver politik yang dilakukan partainya. PKS kini dan sejak dari beberapa waktu ke belakang menjadi lebih inklusif. Konon, dengan dalih kreatifitas berkampanye dan strategi pemenangan Pemilu, partai ini “berani” berstatemen bahwa dalam kacamata politik praktis saat ini, isu syariat Islam sudah “tak laku” lagi.

Perubahan paradigma berpolitik tak hanya mengemuka di antara parpol-parpol Islam. Parpol-parpol nasionalis hingga sekuler pun terjangkit gejala yang sama. Tengok misalnya wacana “penghijauan” yang hangat di tubuh Golkar. Atau, seperti PDI yang “mendekat” pada masyarakat muslim dengan organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia-nya. Secara historis ini tidaklah asing, bukankah saat mendirikan PDII Hatta adalah seorang nasionalis?

Dalam bingkai demokrasi, semua mungkin saja terjadi. Kecenderungan parpol-parpol untuk lebih membuka diri dan berkonsiliasi dengan pihak luar adalah indikasi yang patut diapresiasi. Karena hal itu mempermudah peluang dinamika demokratisasi yang lebih baik dalam rangka gerak pembangunan bangsa Indonesia. Barangkali ini langkah awal dari interpretasi atas politik substantif di mana nilai Islam adalah panglima dan bendera adalah aksesori. Karena, bila inklusifisme parpol Islam hanya didorong pragmatisme buta, maka seperti apa yang mendiang Cak Nur bilang, “Islam yes, partai Islam No!” akan literal adanya. Wallahu alam bishawab.
   
*) Pada Buletin Afkar PCI-NU Mesir edisi Maret 2009 

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)