Saturday, April 04, 2009

Potret ‘Gramatika’ Indonesia*

Oleh : Rashid SatariMahasiswa Uniersitas Al Azhar Cairo Jurusan Da'wah dan Kebudayaan Islam
Seperti kekayaan hayatinya, Indonesia adalah bangsa yang kaya raya dengan ragam budaya dan tentu saja bahasanya. Tak kurang dari 200 bahasa dan dialek daerah diidentifikasi tersebar di berbagai pelosok nusantara (Esser:1951). Catatan lain didokumentasikan Lembaga Bahasa Nasional yang mencatat 418 bahasa daerah (1972). Lebih menarik lagi The Summer Institute of Linguistic yang mempublikasikan hasil penelitiannya pada kesimpulan jumlah bahasa daerah yang mencapai 742 bahasa di nusantara [2006].

Seiring perkembangan zaman, ratusan bahasa tersebut mengalami akulturasi dan asimilasi dengan bahasa lain/asing. Bahkan dalam beberapa kasus, bahasa daerah bergesekan juga dengan bahasa nasional.

Bagi Indonesia, kekayaan bahasa ini adalah anugrah. Keberagaman bahasa sebagai perantara komunikasi, menjadi parameter kekayaan ragam warisan budaya nusantara. Sehingga tak berlebihan bila para pakar antropolinguistik berpandangan, kematian bahasa-bahasa di Indonesia akan berimbas pada kepunahan budaya.

Hal serupa terjadi juga di berbagai belahan lain di dunia. Seperti kebudayaan Indian yang punah seiring dengan wafatnya penutur terakhir bahasa Eyak yang dipakai sebuah suku di kawasan Alaska selatan. Koichiro Matsuura, Direktur UNESCO menegaskan bahwa kepunahan bahasa menyebabkan hilangnya warisan budaya khususnya warisan tradisi dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya seperti sajak-sajak hingga lolucon-lolucon [Republika:2009].

Kembali ke tanah air, menurut Pusat Bahasa Depdiknas terdapat sembilan bahasa yang punah di Papua dan 32 lainnya terancam punah. Sampel lain, di Maluku terdapat satu bahasa yang telah punah. Tragisnya, di kawasan lain bahasa asing justru semakin akrab dengan masyarakat seperti eksistensi bahasa Jepang di tengah-tengah komunitas anak-anak sekolah di daerah Karawang.

Pengikisan bahasa daerah oleh bahasa asing kerap terjadi di negara-negara berkembang. Hal ini disinyalir terjadi karena euforia kemajuan teknologi dan informasi di mana secara alami negara-negara maju dipandang sebagai kiblat peradaban. Sehingga, apa yang menjadi pola hidup, gaya berkomunikasi dan lain sebagainya dijadikan standarisasi kemajuan.
Apalagi kenyataan menunjukan bahwa bahasa-bahasa negara maju seperti bahasa yang dipergunakan di Amerika, Eropa, dan beberapa negara di Asia seperti Jepang saat ini menjadi standar kualifikasi bagi karir pekerjaan.

Walhasil, penduduk di kawasan negara berkembang merasa lebih berharga bila memiliki kecakapan berbahasa Inggris, Perancis, Jepang atau Jerman misalnya. Pada titik yang lebih ekstrim lagi, penggunaan bahasa daerah di pandang sebagai simbol ketertinggalan atau primitifisme.

Tekanan yang terjadi terhadap bahasa daerah di Indonesia tak cukup sampai sana. Para pemerhati bahasa dan budaya nusantara menilai bahwa keberadaan bahasa Indonesia memiliki andil besar dalam kepunahan bahasa daerah. Masyarakat di kawasan perkotaan cenderung memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan daripada bahasa lokal. Meskipun dalam banyak kasus, penggunaan bahasa Indonesia tersebut jauh dari kaidah-kaidah yang benar.

Terdapat tarik menarik antara idealisme menegakan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, dengan bahasa daerah sebagai instrumen identitas kebangsaan serta perkembangan era globalisasi.

Depdiknas memandang RUU Kebahasaan tahun 2007 mendesak adanya. Hal ini setelah mempertimbangkan derasnya arus globalisasi yang menggerus nasib bahasa nasional dan tentu saja bahasa-bahasa lokal. Dominasi bahasa asing sebagai bagian penting dari globalisasi telah meninggalkan bopeng-bopeng pada kualitas warga negara dalam berbahasa Indonesia. Penyerapan bahasa sudah membahayakan batas toleransi berbahasa. Maka, aturan main kebahasaan dirasa mendesak untuk diberlakukan. Konsekwensinya adalah kewajiban penggunaan bahasa Indonesia di berbagai intansi, lembaga pemerintahan, lapangan pekerjaan. Bahkan tenaga ahli asing diharuskan menguasai bahasa Indonesia bila ingin bekerja di negeri ini.

Namun, rupanya RUU yang dimaksudkan sebagai penerjemahan dari UUD pasal 36 dan ini juga menyimpan resiko. Bahasa daerah semakin tak memperoleh tempat di tengah masyarakat kita. Padahal bahasa Indonesia sendiri adalah akumulasi dari penghayatan pemuda-pemudi kita terhadap kekayaan budaya lokal dan penghayatan terhadap arti penting kebersatuan. Hal ini termanifestasikan pada momen 28 Oktober 1928.

Pada saat yang sama, Prof. Dr. Arief Rahman mencatat satu dari 50 bahasa di Kalimantan tak lagi digunakan. Di Sumatera, dua dari 13 bahasa mengalagi kritis dan satu punah. Di Sulawesi satu dari 110 bahasa telah punah dan 36 lainnya dalam kondisi kritis. Di Timor, Flores dan Sumba 50 bahasa masih bertahan dan 8 diantaranya terancam. Adapun di Jawa, hasil penelitian STISI Bandung di Bogor menunjukan bahwa sejak 1991 bahasa asli hampir sudah tidak bisa ditemukan [Najmudin Ansorullah:2007].

Wajar bila pemerintah berkepentingan untuk membangun sistem imunitas bagi kekayaan bahasa Indonesia. Namun, tentu saja penyusunan aturan main berbahasa ini sejatinya tak hanya melawan serangan bahasa luar. Melainkan juga menjadi payung hukum bagi kekayaan bahasa nasional sekaligus juga bahasa daerah.

Jepang mungkin satu di antara bangsa yang sangat langka. Ia mampu menyerap kemajuan peradaban Eropa tanpa mengorbankan bahasanya. Terbukti, bahasa Jepang dengan hurup Kanji-nya kini menjadi salah satu alat komunikasi kontemporer.

Bahasa adalah cermin jati diri dan kekayaan budaya. Dan, perubahan dalam sebuah masyarakat adalah keniscayaan. Evolusi bahasa dan budaya tentu tak bisa terhindarkan. Apalagi dikaitkan dengan konteks dunia saat ini yang hampir tanpa sekat. Maka, keluhuran budaya yang di miliki Indonesia akan selalu berbanding lurus dengan penghayatan masyarakat terhadap bahasanya. Karena, transformasi budaya berlangsung melalui perantara kebahasaan.

Bagi bahasa Indonesia, proteksi dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari perlindungan hukum hingga implementasi pendidikan kebahasaan di sekolah-sekolah. Sedangkan bagi bahasa daerah, proteksi nampak dilakukan dengan memaksimalkan otoritas pemda melalui Otda. Kebijakan pengajaran bahasa daerah dilakukan melalui kebijakan muatan lokal yang masing-masing daerah tentu berbeda satu sama lain. Baru-baru ini kebijakan Depdiknas terhadap lingkungan sekolah di Jabar kawasan priangan dengan kawasan lingkar ibu kota (Bogor, Depok dan sekitarnya) mengalami penyesuaian kembali. Bahasa Sunda tidak serta merta dijadikan muatan lokal di daerah Bogor dan Depok misalnya, karena kedua kota ini secara kultur lebih dekat pada kultur Betawi.

Bahasa Indonesia sendiri terbangun dari proses penyerapan bahasa yang berlangsung lama. Berawal dari bahasa Melayu Riau yang menjadi lingua franca sejak abad 13 silam. Selain itu, terdapat ribuan sampel serapan bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa luar. Dalam catatan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada tahun 1996, serapan dari bahasa Belanda sebanyak 3.280 kata, Inggris 1.610 kata, Arab 1.495 kata, Sanskerta - Jawa Kuno 677 kata, Cina 290 kata, Portugis 131 kata, Tamil 83 kata, Parsi 63 kata dan Hindi 7 kata. Catatan ini tentu akan terus bertambah seiring perkembangan masyarakat dan teknologi informasi-komunikasi.

Perlindungan terhadap bahasa Indonesia juga bahasa dearah tentu bukan berarti sikap apriori terhadap perkembangan bahasa asing. Perlu kebijakan yang berimbang untuk itu. Karena bahasa adalah penopang budaya dan jati diri bangsa. Wallahua’lam.
*) Pada rubrik Bahasa, Buletin MAKAR milik Rumah Budaya ‘Akar’ Cairo, edisi April 2009.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)