Hai.. Sudah lama tak menyapamu.
Iya kamu. –Dengan dialek Dodit. Tau Dodit kan?—
Sore itu, saya
menumpang sebuah mikrolet menuju Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penumpang tak
terlalu penuh. Kalau tak salah ingat ada lima orang saja. Di depan sana, ada
satu penumpang disamping pak kusir. Eh, pak sopir.
Saya duduk di pojok, di jok yang
paling panjang. Kira-kira setengah meter di sebelah saya, duduklah seorang
wanita muda dengan rambut sebahu. Hitam kemerahan karena cat rambut. Dari gayanya
sih sepertinya dia kerja kantoran.
Deskripsi lebih detail tentang
wanita muda itu begini.. Umurnya mungkin tigapuluhan, atau kurang. Kain masker putih
yang biasa dijual di apoket-apotek, menutupi mulutnya. Bajunya warna merah
dengan lengan pendek. Serasi dengan roknya yang juga merah, dan juga pendek.
#eh. Ya, roknya memang pendek. Okelah, sebut saja mini. Tapi, dia memakai selendang
agak transparan. Tersangkut di leher belakang, menjuntai hingga menutup rok dan
sebagian kakinya.
Sebenarnya saya tidak bermaksud
memperhatikannya lho. Tapi, gerak-geriknya membuat saya agak heran sehingga
sesekali memperhatikannya. Dia duduk seperti tak tenang. Gesturnya seperti
tegang. Dan, nampaknya yang mikir begitu bukan saya saja. Seorang ibu yang duduk
di depan saya juga beberapa kali memperhatikannya.
Mikrolet berjalan terus. Sempat
terjebak macet di depan pasar Kramat Jati. Sore menuju Maghrib. Pasar Kramat
Jati mulai dimeriahkan oleh penjual ikan segar. Bau amis mulai mampir ke dalam
mikrolet.
Di kota semegah Jakarta, memang
bukan hal aneh sih wanita muda dengan pakaian minim. Atau ketat. Atau apalah
yang sejenisnya. Mungkin bagi sebagian orang itu menjadi bagian dari dunia modern
ya. Meski kalau di daerah penampilan seperti itu dipandang tabu, lain
ceritanya di kota metropolitan. Tapi, tidak sore itu, di dalam mikrolet itu.
Si ibu di depan saya masih saja
lirik-lirik memperhatikannya. Wanita muda itu seperti tak menyadarinya. Mungkin
karena posisi duduknya juga agak nyerong ke arah depan. Ya, wanita itu memang
terlihat duduk tak nyaman. Beberapa kali ia membetulkan selendangnya, agar
menutup rok pendek dan kakinya.
Sampai di satu tempat, wanita
muda itu seperti bersiap-siap untuk menyetop mikrolet. Ia betulkan posisi tas kecil
di pangkuannya. Lalu, waaw! Saya melihat.. Saya melihat.. sebuah buku kecil yang ada di genggaman
tangan kanannya.
Coba tebak apa judul buku tipis
itu. Ah, ini bukan acara kuis tebak-tebakan. Baiklah akan saya kasih tau. Judul
buku di genggaman tangannya adalah, “Wahai Ukhti, Kenapa Engkau Tidak
Berjilbab?” Dulu, di sebuah pameran buku, saya pernah melihat buku kecil
ini. Waktu itu harganya cuma 6.000 rupiah saja. Sang ibu di depan saya juga
melihat buku kecil yang ia genggam.
Seketika itu pikiran saya
seperti terlempar pada sebuah labirin berliku. Sempat saya berpikir apakah saya
sedang menyaksikan sebuah anomali? Tapi saya yakin bukan. Ternyata di bawah
remang cahaya lampu mikrolet yang ketar-ketir melawan hari yang makin gelap,
ada pergulatan batin seorang wanita muda. Pergulatan antara aurat yang masih
terumbar - terlebih ada laki-laki asing duduk tak jauh darinya-, dengan pikiran
yang terpaut pada isi buku di tangannya.
Maka, muncullah
kepingan-kepingan puzzle di pikiran saya. Kepingan-kepingan yang saling
bertemu menyatu membentuk asumsi kesimpulan. Wanita muda itu belum selesai memamah
halaman demi halaman, paragraf demi paragraf dari buku tipis itu. Ia sedang
mencari pelipur kerinduan akan rasa tenang untuk hatinya yang sembab. Ia
ingin penuhi dahaganya hatinya untuk kembali pada kodrat seorang wanita :
berjilbab!
Duhai senja yang tak pernah
berlama-lama. Apalah arti perjalanan menjengkelkan tersebab kemacetan. Jika di
dalamnya terdapat anak manusia yang sedang dalam perjalanan terjal menuju iman.
Apalah arti teriknya ibu kota, jika di dalamnya terdapat anak-anak manusia yang
jatuh bangun menuju Rabb-nya.
Wanita muda itu turun di tempat
yang tak pernah saya ingat. Usai membayar ongkos, ia hilang di balik tirai senja yang semakin gelap pada sebuah gerbang jalan. Berjalanlah terus wanita muda. Menjemput cahaya.
Gambar dari sini. |
Garut. 070215 | Rashid Satari