Satu tahun setengah saya bekerja di Bandung. Sebelumnya, sejak pulang dari Al Azhar, dua tahunan saya habiskan sebagai freelancer yang domisilinya nomaden. Hari ini di Garut, besok di Jakarta. Kadang singgah di Bekasi lalu Depok. Seringkali di Bandung, sebelum akhirnya kembali di Garut.
Sejak ‘menetap’ di Bandung, saya pulang ke Garut biasanya dua minggu atau sebulan sekali. Menyesuaikan dengan aktifitas. Seperti karyawan kebanyakan, saya juga pulang setiap akhir pekan. Sabtu dari Bandung, dan biasanya Senin pagi berangkat lagi dari Garut. Ritme yang amat mainstream.
Satu ketika di akhir pekan di Garut, ponakan kecil saya, Atta, bertanya, “Uwa, kapan pulang lagi ke Bandung?” Saya hanya tersenyum. Sebelumnya, mamanya yaitu adik saya, juga bertanya yang sama; kapan saya PULANG ke Bandung.
Saya tersenyum mendengar pertanyaan Atta karena pertanyaannya benar-benar memancing saya untuk tersenyum. Bagaimana tidak, bukankah Garut rumah saya. Iya.. Iya.. rumah orang tua saya deh. Maksud saya, bukankah justru Garut-lah tempat saya “pulang”. Bukan Bandung. Pertanyaan seharusnya adalah, “Kapan berangkat/pergi lagi ke Bandung?” Ini pernah saya bilang pada mamanya Atta. Meski tetap saja pertanyaan spontan yang keluar adalah “pulang ke Bandung”.
Namun, biarlah. Karena mungkin itu tidak terlalu prinsipil. Hanya saja percakapan di atas membuat saya teringat tentang dari dan mau kemanakah manusia. Saya. Anda. Kita. Apakah yang sebenarnya kita lakoni di dunia ini. Sebuah kisah mengenai perjalanan menuju pergi? Atau, kisah perjalanan menuju pulang?
“Sesungguhnya kami hanya milik Allah dan kepada Allah kami akan kembali.” (QS. Al Baqarah [2]: 156). Ini adalah kalimat istirja’ atau pernyataan akan kembali kepada-Nya. Ya, kita dari-Nya dan akan pulang kepada-Nya.
Setiap kali pulang ke Garut, saya selalu mengusahakan untuk membawa perbekalan. Minimal, membawa oleh-oleh buat ponakan, adik, bapak dan ibu. Namun, tidak demikian saat saya pergi ke Bandung. Biasanya malah rasa berat karena akan berhadapan lagi dengan rutinitas.
Seperti fenomena mudik lebaran, pulang memang selalu bermakna spesial. Pulang adalah menuju istirahat. Menuju tenang. Maka, yang kita bekal pun adalah adalah bingkisan optimisme, kebahagiaan.
Lantas, apa yang kita akan bekal menuju pulang kepada Allah? Ya, dunia adalah perjalanan menuju pulang. Bukan menuju pergi. Pulang ke Tujuan yang tak ada lagi tujuan selain dan setelah-Nya.
Bandung, 02 Juni 2013 | Rashid Satari
Sederhana tapi menyegarkan
ReplyDelete#tulisannya dan secangkir ashob manggo :D
Untuk mendapatkan kesegaran, kita memang tak perlu kemewahan. Segar itu didapati di sawah, ladang, desa. Bukan di tengah barisan beton bertulang.
DeleteHehee.. Senggol sini cendol, eh ashob manggo nya dong! :D
Selalu menikmati
ReplyDeleteTerima kasih Tuan Guru.
Delete*sodorin teh* :)
So touching ustad...:)
ReplyDeleteTerima kasih, Syaikh! :)
Deletedan dari seorang anak kecil, si dewasa dapat sebuah pemahaman...
ReplyDeleteAtta dan Uwa'nya, kolaborasi yang pas sehingga tulisan (reminder) ini tercipta
terimakasih ^^
Betul. Dengan sedikit saja memasang daya peka lebih sensitif menangkap hikmah, kejadian sesederhana apapun bisa dimaknai.
DeleteSama-sama. :)