Thursday, June 06, 2013

Lima Cobek Batu



Suatu ketika di masa kecil dulu..

Sejak siang hingga sore itu, hujan masih turun cukup deras. Air meluncur dari talang yang memanjang tepat di bawah genting. Menimpa dedaunan Pakis yang merimbun rendah di halaman rumah.

Tiba-tiba terdengar suara Bapak berteriak memanggil seseorang dari teras rumah. 

"Mang.. kemari!"

Saat saya mengikuti arah suara itu, nampak Bapak dan seorang lelaki paruh baya berbicara di teras. Lelaki itu nampak basah dan sedikit kumal. Ternyata, ia penjual cobek batu. Di Bandung, kami menyebutnya Coet.

Bapak memanggil ibu dan minta dibuatkan dua cangkir teh hangat. Lalu, Bapak terlihat duduk-duduk dengan lelaki itu di sepasang kursi rotan tua yang tersimpan di teras. Saling berbicara yang entah apa. Suara mereka kalah oleh suara air hujan yang beradu dengan kulit bumi.

Hujan pun reda. Lelaki itu bersalaman dengan Bapak. Pamit. Beberapa cobek yang tidak dia bawa, nampak bertumpuk di teras. Ibu bertanya pada Bapak. Bapak bercerita. Cobek itu dibelinya. Lima buah! Ibu protes, buat apa?! Karena di dapur masih ada dua cobek batu.

Bapak bilang, "Kasihan!" Itu saja. 

Zaman banyak berubah dengan cepat. Teknologi tak bisa dilawan. Tradisional hanya tinggal kenangan. Jika tidak dimuseumkan, paling jadi pajangan. Cobek batu melawan blender pabrikan, keteteran. Kalah digilas zaman.

Namun, masih saja ada orang-orang 'keras kepala' yang menjual cobek batu, gulungan bilik, kursi kayu atau Taraje (tangga bambu). Berjalan kaki dengan beban berat di pundaknya. Mengetuk dari rumah ke rumah. Mencari yang alergi pada produk plastik buatan pabrik. Hebatnya, mereka tidak kapok dan nampak lega saja jika ada yang membelinya meski menawar secara keterlaluan.

Lima cobek itu.. hampir saja jadi tumpukan batu di pojok paviliun. Sebelum Bapak menaikkan nilai tambahnya sebagai pot bonsai imitasi yang cantik.

"Kenapa waktu itu Bapak membeli semua cobek ini?" Tanya saya saat Bapak asyik memoles potongan akar pohon Teh tua untuk batang bonsai imitasinya. 

"Dari pagi belum ada yang beli. Mana hujan. Lagian, siapa lagi yang mau jaga kelestarian cobek batu kalau bukan kita sendiri. Satu lagi Nak, sambal itu jauh lebih enak kalau diuleg pake cobek batu!" 

Saya : "Lalu kenapa cobek ini Bapak jadikan pot bonsai?!"

Bapak : "...#$&*@...!" 

:)



Bandung, 05 Juni 2013 | Rashid Satari

- Gambar diambil dari sini.

   

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tulis kesan anda di sini. :)