Saat itu sedang musim dingin. Saya tengah bercengkrama dengan teman-teman satu flat saya selepas Maghrib. Salah satu dari teman saya itu adalah Aulia Ulhaq Marzuki. Usianya satu tahun di atas saya. Dia berasal dari Aceh. Kami saling kenal baik karena sama-sama aktifis organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) perwakilan Mesir. Saat itu rumah yang kami tinggali
adalah sekaligus menjadi sekretariat.
Sore itu, Aulia nampak sumringah karena akan menelfon keluarganya di Aceh yang sudah lama tak ia sapa. Ia masih menggenggam gagang telefon, nampaknya sedang menunggu nada sambung dan menunggu seseorang mengangkat telefonnya di seberang sana.
“Halloo.. Haloo..Assalamu’alaikuumm!” Aulia nampak gembira setelah mendengar suara.
Sore itu Aulia menelefon cukup lama. Saya mendengar langsung dia sedang berbicara dengan ayahnya, kemudian berbicara pada ibunya dan dilanjutkan dengan adik-adiknya. Banyak hal dia ceritakan, mulai dari kabarnya di Kairo hingga keinginannya untuk pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.
Aulia pun tak lupa menanyakan kabar anggota keluarganya, kemudian meminta doa untuk ujian semester ganjil di kampus yang akan digelar tak lama lagi. Aulia adalah teman satu angkatan juga satu kelas saya di kampus. Ujian semester ganjil akan dimulai kurang lebih satu bulanan lagi. Malam itu seisi rumah memang sudah mulai fokus ke persiapan ujian. Sudah menjadi pola bersama bahwa bila sudah memasuki waktu satu bulanan menjelang ujian, segala kegiatan hanya difokuskan untuk persiapan ujian.
Namun, suasana seketika berubah di keesokan harinya. 26 Desember 2004. Televisi-televisi di Kairo menyiarkan sebuah musibah besar yaitu gempa bumi berkekuatan sekitar 9 skala richter di Samudera Hindia. Musibah itu lebih menggemparkan karena dampak gelombang tsunami yang ditimbulkannya. Berita yang paling menggemparkan kami adalah saat mendengar bahwa gelombang Tsunami itu menyapu beberapa wilayah pesisir pantai dari Asia hingga Afrika, salah satunya adalah Aceh!
Warga negara Indonesia di Mesir seketika itu diselimuti tanda tanya. Terutama mereka yang berasal dari Aceh. Berbagai informasi dicari dan dikumpulkan sebisa mungkin. Maklum, pada hari itu informasi belum dapat diakses langsung dari Aceh. Apalagi oleh kami yang berada ribuan mil dari sana.
Saya menangkap kegelisahan di dalam diri Aulia. Hari itu juga dia mencoba untuk menelefon kembali kepada keluarganya di Aceh. Namun, hasilnya nihil. Sambungan telefon terputus ketika itu, bahkan hingga beberapa hari berikutnya. Duh, padahal baru saja malam hari sebelumnya dia ngobrol dengan keluarganya via telefon.
Kurang lebih lima hari kemudian, barulah informasi bisa kami peroleh. Meski belum ada angka pasti, namun kami mendengar bahwa Aceh luluh lantah. Tsunami itu diperkirakan menelan ratusan ribu korban jiwa dan hilang. Stasiun-stasiun televisi yang kami akses dari internet pun memperlihatkan bagaimana bencana itu terjadi. Sungguh mengerikan! Sontak duka mendalam pun menyelubungi kami.
Beberapa teman asal Aceh mulai memperoleh informasi tentang keluarganya. Banyak keluarga mereka yang selamat. Namun, tak sedikit juga yang tak tertolong. Khususnya keluarga dari teman-teman yang berasal dari Meulaboh, daerah pesisir yang paling besar dihantam tsunami.
“Ol, dah ada kabar dari Aceh?” Saya mencoba bertanya dengan hati-hati tentang kabar keluarganya.
“Habis sudah, Chid. Ayahku, mamaku, adikku, nenekku..” Ucapnya dengan mata yang memerah. Total ada 13 orang keluarga dekatnya yang menjadi korban. Selain yang ia sebutkan tadi, di antaranya masih ditambah kakak dari ibunya beserta kedua anaknya, juga pamannya sekeluarga (istrinya dan empat anak mereka). Tapi, sekalipun saya tidak melihat dia menangis karena musibah itu.
Saya menangkap kesedihannya yang sangat mendalam dari sinar matanya dan suaranya yang parau. Mendengar itu, saya tak kuasa lagi bertanya. Saya lebih memilih diam untuk menghormati sikapnya yang sangat tegar. Sejak saat itulah, kami menyibukkan diri dalam kepanitian yang dibentuk untuk menggalang gerakan sosial, meski harus mengorbankan persiapan ujian kami. Saat itu, kepedulian terhadap para korban jauh lebih besar daripada ujian. Setidaknya begitulah bagi saya, apalagi salah satu dari mereka adalah Aulia, teman satu flat bahkan satu kamar saya.
Suatu malam, saya lupa tanggal berapa saat itu, saya dan Aulia pulang dari Wisma Nusantara di kawasan Rab’ah, Nasr City, setelah menghadiri acara kepedulian terhadap korban tsunami Aceh. Kami menumpang sebuah bus yang sudah cukup penuh dengan penumpang, sehingga kami berdua pun berdiri. Posisi kami di bagian depan bis, tepat di samping sopir bis itu.
“Andunisi? Orang Indonesia?” Sang sopir bertanya ramah kepada kami. Aulia yang berdiri lebih dekat dengannya menjawab, “Aiwah! Ya!”
Sopir itu kemudian bertanya dengan penuh minat, “Bagaimana kabar Aceh? Aku melihat di televisi tentang berita tsunami. Hey, apakah kamu dari Aceh?” susulnya.
Aulia pun mengiyakan pertanyaannya itu. Mulailah perbincangan hangat di antara mereka. Sementara saya hanya menyimaknya saja dari jarak yang sangat dekat. Memang tak banyak yang sempat dibicarakan, namun dari cerita Aulia sopir itupun tahu bahwa Aulia adalah salah satu mahasiswa yang keluarga terdekatnya menjadi korban musibah itu. Sang sopir menyampaikan rasa belasungkawanya kepada Aulia.
“Bisakah kamu beritahu alamat rumahmu?” Tanya sang sopir. Saat itu kami tidak mengerti apa maksudnya meminta alamat kami. Bahkan kami sempat mengira ia hanya berbasa-basi saja.
Tapi rupanya tidak. Suatu siang, saat itu hari Jumat, kami baru saja sampai ke flat setelah menunaikan shalat Jumat di masjid As Salam yang letaknya dari flat kami hanya dipisahkan jalan yang cukup besar.
Sesampainya di flat, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara klakson yang cukup keras dari arah luar. Entah dari mobil siapa. Namun, suara klakson itu lumayan kencang dan tidak berhenti melainkan terus berulang-ulang. Sangat membuat kami terganggu. Kami pun berinisiatif melihat keluar jendela. Flat kami saat itu ada di lantai tiga gedung apartemen.
Betapa terkejutnya kami saat melihat dari jendela. Ternyata suara klakson itu berasal dari sebuah bis yang diparkir tepat di samping flat kami. Bis itu nampak kosong dari penumpang, hanya ada sang sopir seorang diri. Dia melambaikan tangannya kepada kami, nampaknya ia ingin agar kami menghampirinya. Lalu, Aulia turun dari flat menuju bis itu. Sementara saya hanya memperhatikannya dari jendela.
Tak lama kemudian, Aulia datang dengan senyum yang mengembang. Tangannya membawa banyak bungkusan.
“Apa itu, Ol?” tanya saya penasaran.
Bukannya menjawab, Aulia malah bertanya penuh semangat, “Chid, ente inget gak sopir bis yang waktu itu ngobrol ama kita waktu balik dari Wisma?”
“Hah? Jadi dia sopir bis yang waktu itu?” Sambut saya cukup kaget. Aulia mengangguk mantap sambil meletakkan bungkusan-bungkusan di atas karpet.
“Jadi waktu itu dia minta alamat kita itu karena dia pengen ngasih ini.” Aulia menjelaskan.
“Tadi tuh kenapa dia bunyiin klakson soalnya dia lupa kita di apartemen dan flat nomor berapa. Dia cuma inget kita tinggal di seberang masjid As Salam. Tadi dia jumatan di sana.” Aulia menambahkan.
“Jadi dia bunyiin klaksonnya itu biar kita nongol dari jendela ya?” tanya saya.
“Hu uh, padahal dia nggak tau rumah kita yang mana hahahaa..! Jadi dia mikir orang-orang pasti bakal nongol dari jendela karena kesel sama suara klakson bisnya!” ucap Aulia disusul dengan tawanya.
Di bungkusan-bungkusan itu ada buah-buahan, minyak Samnah, gula, dan makanan lainnya. Akhirnya kami mengerti, sopir itu sangat berempati pada Aulia yang kehilangan keluarganya karena musibah Tsunami.
Dan, di Jumat-Jumat berikutnya, sopir itu selalu datang dengan bisnya dan membunyikan klaksonnya. Hanya saja klaksonnya tidak lagi ia tekan berkali-kali. Ia hanya membunyikannya satu kali, dan kami pun langsung mengerti.[]
adalah sekaligus menjadi sekretariat.
Sore itu, Aulia nampak sumringah karena akan menelfon keluarganya di Aceh yang sudah lama tak ia sapa. Ia masih menggenggam gagang telefon, nampaknya sedang menunggu nada sambung dan menunggu seseorang mengangkat telefonnya di seberang sana.
“Halloo.. Haloo..Assalamu’alaikuumm!” Aulia nampak gembira setelah mendengar suara.
Sore itu Aulia menelefon cukup lama. Saya mendengar langsung dia sedang berbicara dengan ayahnya, kemudian berbicara pada ibunya dan dilanjutkan dengan adik-adiknya. Banyak hal dia ceritakan, mulai dari kabarnya di Kairo hingga keinginannya untuk pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.
Aulia pun tak lupa menanyakan kabar anggota keluarganya, kemudian meminta doa untuk ujian semester ganjil di kampus yang akan digelar tak lama lagi. Aulia adalah teman satu angkatan juga satu kelas saya di kampus. Ujian semester ganjil akan dimulai kurang lebih satu bulanan lagi. Malam itu seisi rumah memang sudah mulai fokus ke persiapan ujian. Sudah menjadi pola bersama bahwa bila sudah memasuki waktu satu bulanan menjelang ujian, segala kegiatan hanya difokuskan untuk persiapan ujian.
Namun, suasana seketika berubah di keesokan harinya. 26 Desember 2004. Televisi-televisi di Kairo menyiarkan sebuah musibah besar yaitu gempa bumi berkekuatan sekitar 9 skala richter di Samudera Hindia. Musibah itu lebih menggemparkan karena dampak gelombang tsunami yang ditimbulkannya. Berita yang paling menggemparkan kami adalah saat mendengar bahwa gelombang Tsunami itu menyapu beberapa wilayah pesisir pantai dari Asia hingga Afrika, salah satunya adalah Aceh!
Warga negara Indonesia di Mesir seketika itu diselimuti tanda tanya. Terutama mereka yang berasal dari Aceh. Berbagai informasi dicari dan dikumpulkan sebisa mungkin. Maklum, pada hari itu informasi belum dapat diakses langsung dari Aceh. Apalagi oleh kami yang berada ribuan mil dari sana.
Saya menangkap kegelisahan di dalam diri Aulia. Hari itu juga dia mencoba untuk menelefon kembali kepada keluarganya di Aceh. Namun, hasilnya nihil. Sambungan telefon terputus ketika itu, bahkan hingga beberapa hari berikutnya. Duh, padahal baru saja malam hari sebelumnya dia ngobrol dengan keluarganya via telefon.
Kurang lebih lima hari kemudian, barulah informasi bisa kami peroleh. Meski belum ada angka pasti, namun kami mendengar bahwa Aceh luluh lantah. Tsunami itu diperkirakan menelan ratusan ribu korban jiwa dan hilang. Stasiun-stasiun televisi yang kami akses dari internet pun memperlihatkan bagaimana bencana itu terjadi. Sungguh mengerikan! Sontak duka mendalam pun menyelubungi kami.
Beberapa teman asal Aceh mulai memperoleh informasi tentang keluarganya. Banyak keluarga mereka yang selamat. Namun, tak sedikit juga yang tak tertolong. Khususnya keluarga dari teman-teman yang berasal dari Meulaboh, daerah pesisir yang paling besar dihantam tsunami.
“Ol, dah ada kabar dari Aceh?” Saya mencoba bertanya dengan hati-hati tentang kabar keluarganya.
“Habis sudah, Chid. Ayahku, mamaku, adikku, nenekku..” Ucapnya dengan mata yang memerah. Total ada 13 orang keluarga dekatnya yang menjadi korban. Selain yang ia sebutkan tadi, di antaranya masih ditambah kakak dari ibunya beserta kedua anaknya, juga pamannya sekeluarga (istrinya dan empat anak mereka). Tapi, sekalipun saya tidak melihat dia menangis karena musibah itu.
Saya menangkap kesedihannya yang sangat mendalam dari sinar matanya dan suaranya yang parau. Mendengar itu, saya tak kuasa lagi bertanya. Saya lebih memilih diam untuk menghormati sikapnya yang sangat tegar. Sejak saat itulah, kami menyibukkan diri dalam kepanitian yang dibentuk untuk menggalang gerakan sosial, meski harus mengorbankan persiapan ujian kami. Saat itu, kepedulian terhadap para korban jauh lebih besar daripada ujian. Setidaknya begitulah bagi saya, apalagi salah satu dari mereka adalah Aulia, teman satu flat bahkan satu kamar saya.
Suatu malam, saya lupa tanggal berapa saat itu, saya dan Aulia pulang dari Wisma Nusantara di kawasan Rab’ah, Nasr City, setelah menghadiri acara kepedulian terhadap korban tsunami Aceh. Kami menumpang sebuah bus yang sudah cukup penuh dengan penumpang, sehingga kami berdua pun berdiri. Posisi kami di bagian depan bis, tepat di samping sopir bis itu.
“Andunisi? Orang Indonesia?” Sang sopir bertanya ramah kepada kami. Aulia yang berdiri lebih dekat dengannya menjawab, “Aiwah! Ya!”
Sopir itu kemudian bertanya dengan penuh minat, “Bagaimana kabar Aceh? Aku melihat di televisi tentang berita tsunami. Hey, apakah kamu dari Aceh?” susulnya.
Aulia pun mengiyakan pertanyaannya itu. Mulailah perbincangan hangat di antara mereka. Sementara saya hanya menyimaknya saja dari jarak yang sangat dekat. Memang tak banyak yang sempat dibicarakan, namun dari cerita Aulia sopir itupun tahu bahwa Aulia adalah salah satu mahasiswa yang keluarga terdekatnya menjadi korban musibah itu. Sang sopir menyampaikan rasa belasungkawanya kepada Aulia.
“Bisakah kamu beritahu alamat rumahmu?” Tanya sang sopir. Saat itu kami tidak mengerti apa maksudnya meminta alamat kami. Bahkan kami sempat mengira ia hanya berbasa-basi saja.
Tapi rupanya tidak. Suatu siang, saat itu hari Jumat, kami baru saja sampai ke flat setelah menunaikan shalat Jumat di masjid As Salam yang letaknya dari flat kami hanya dipisahkan jalan yang cukup besar.
Sesampainya di flat, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara klakson yang cukup keras dari arah luar. Entah dari mobil siapa. Namun, suara klakson itu lumayan kencang dan tidak berhenti melainkan terus berulang-ulang. Sangat membuat kami terganggu. Kami pun berinisiatif melihat keluar jendela. Flat kami saat itu ada di lantai tiga gedung apartemen.
Betapa terkejutnya kami saat melihat dari jendela. Ternyata suara klakson itu berasal dari sebuah bis yang diparkir tepat di samping flat kami. Bis itu nampak kosong dari penumpang, hanya ada sang sopir seorang diri. Dia melambaikan tangannya kepada kami, nampaknya ia ingin agar kami menghampirinya. Lalu, Aulia turun dari flat menuju bis itu. Sementara saya hanya memperhatikannya dari jendela.
Gambar diambil dari sini. |
“Apa itu, Ol?” tanya saya penasaran.
Bukannya menjawab, Aulia malah bertanya penuh semangat, “Chid, ente inget gak sopir bis yang waktu itu ngobrol ama kita waktu balik dari Wisma?”
“Hah? Jadi dia sopir bis yang waktu itu?” Sambut saya cukup kaget. Aulia mengangguk mantap sambil meletakkan bungkusan-bungkusan di atas karpet.
“Jadi waktu itu dia minta alamat kita itu karena dia pengen ngasih ini.” Aulia menjelaskan.
“Tadi tuh kenapa dia bunyiin klakson soalnya dia lupa kita di apartemen dan flat nomor berapa. Dia cuma inget kita tinggal di seberang masjid As Salam. Tadi dia jumatan di sana.” Aulia menambahkan.
“Jadi dia bunyiin klaksonnya itu biar kita nongol dari jendela ya?” tanya saya.
“Hu uh, padahal dia nggak tau rumah kita yang mana hahahaa..! Jadi dia mikir orang-orang pasti bakal nongol dari jendela karena kesel sama suara klakson bisnya!” ucap Aulia disusul dengan tawanya.
Di bungkusan-bungkusan itu ada buah-buahan, minyak Samnah, gula, dan makanan lainnya. Akhirnya kami mengerti, sopir itu sangat berempati pada Aulia yang kehilangan keluarganya karena musibah Tsunami.
Dan, di Jumat-Jumat berikutnya, sopir itu selalu datang dengan bisnya dan membunyikan klaksonnya. Hanya saja klaksonnya tidak lagi ia tekan berkali-kali. Ia hanya membunyikannya satu kali, dan kami pun langsung mengerti.[]
Masih banyak cerita lainnya. Nantikan #egyptology di awal Februari.
Salam Hangat,
Rashid Satari
jahhh kesasar deh disini. terjebak. :)). Tapi kesasar dan terjebak yang menyenangkan. Dengerin cerita org dan pengalamannya emang asik. berasa baca cerpen. :9
ReplyDeleteTerima kasih telah berkunjung, Selaksajiwa. Hehe.. Kalo kita kesasar di jalan, kita malah bisa menemukan jati diri kita sendiri saat berusaha menemukan jalan pulang. :D
ReplyDeleteMudah-mudahan tulisannya manfaat ya. :)
kg rashid tau ga ini siapa? :p. haha selaksajiwa itu nama blogspot rena bbrp tahun lalu. haha. aneh yah namanya? :))
ReplyDeletelitle princess bgt donk, "jangan takut tersesat krn tersesat itu baik". ihihiik..uhuk uhuk..*jiaahh :D
Halah. Ya iya lah tau. :P
ReplyDeleteupsss jahh ga seru ah udah ketauan. hihihi..pdahal tdnya mw sembunyi2. hahahah..
ReplyDeletebtw klo mw komen dsini ribet jg yah, musti login dlu ke akun gugel. kynya ada bnyk tmen kg rashid yg mw komen tp ga jd apa ya?soalnya pas ud ngetik..tetiba masuk ke login..klo yg ga punya akun gugel brarti g bs ikut ngomen yah kang?
Bisa ko. Kolom komentar ini disetting terbuka. Bisa pake Anonymous atau tulis name secara langsung. Ada di kolom "comment as" di bawah.
ReplyDelete