Apa kata Amerika bila Osama menikah? Mungkin negara adidaya itu akan segera mengirimkan sniper-nya untuk “meramaikan” pesta pernikahan tersebut. Tapi, syukurlah hal itu tak terjadi, karena memang pengantin kali ini bukanlah orang nomor wahid dalam deretan buronan Amerika itu. Dia hanya Osama, mahasiswa tingkat tiga fakultas Dakwah Islamiyyah Universitas Al Azhar Kairo.
Kafrusyaikh. Sebuah kota kecil, kurang lebih 200 km dari Kairo, sebelah timur Alexandria. Sungguh suatu keberuntungan bagi saya dapat mengenal kota tersebut. Seorang teman di kampus berasal dari sana, Osama namanya. Kafrusyaikh tidaklah seeksotis tetangganya, Alexandria, dan tidak pula sebesar saudara tuanya, Kairo. Dikelilingi pesawahan dan perkebunan subur menghijau sejauh mata memandang. Gemericik sungai irigasi mengiringi perjalanan sepanjang jalan beraspal menuju desa Ishaqah, kampung halaman Osama.
Kota ini memang sangat layak di sebut kawasan agraris. Setelah dua kali mengunjunginya, kesan yang hadir adalah serasa berpijak di kampung halaman sendiri. Anak-anak yang asyik berkecipak dengan air sungai sembari memandikan kerbaunya. Ini pemandangan yang mengasyikan di sore hari. Ibu-ibu dan para bapak yang berangkat ke ladang, berkendara pedati keladai atau bertelanjang kaki, menjadi sarapan mata setiap pagi hari. Ah.. saya kira yang seperti ini hanya saya lihat di Garut saja, kampung halaman saya. Saya tidak pernah menyangka di negeri padang pasir pun akan saya jumpai.
Keramahan penduduknya yang menjadikan saya ketagihan untuk kembali berkunjung ke tempat ini. Bagi masyarakat Ishaqah, adalah sebuah kehormatan ketika bisa menjamu tamu yang datang dari jauh. Apalagi tamu dari bangsa yang berbeda. Begitulah yang terjadi dengan keluarga Osama. Sambutan hangat, jamuan memuaskan, serta penerimaan layaknya keluarga sendiri adalah kesan kunjungan pertama saya di desa tersebut.
Pada kali kedua kunjungan ke sana, adalah dalam rangka menghadiri undangan Osama. Osama bermaksud berbagi kebahagiaan dalam resepsi akad nikah dengan seorang gadis pujaannya. Adapun khitbah, telah dilakukan ketika Osama duduk di bangku kuliah tingkat dua.
Osama, tidak seperti perawakannya yang tinggi besar, usianya baru genap 20 tahun ketika itu. Sedangkan calon istrinya adalah gadis sekampungnya, gadis manis bernama Nourah kelahiran 1986. Keduanya memang masih belia. Bagi mereka, pernikahan adalah babak hidup yang tak ada alasan untuk ditunda-tunda apabila keduanya memang sudah siap dalam setiap aspek.
Dalam adat kebiasaan masyarakatnya, pesta pernikahan biasa diadakan malam hari, tak terkecuali pesta akad nikah Osama ini. Hari itu, selepas shalat Dhuhur, Osama dan calon mempelai wanita berangkat menuju pusat kota Kafrusyaikh untuk membeli seperangkat perhiasan yang akan dijadikan mas kawin.
Kedua calon pengantin diiringi oleh keluarganya masing-masing, menggunakan kendaraan-kendaraan seukuran minibus sehingga perjalanan menuju pusat kota Kafrusyaikh kala itu hampir mirip arak-arakan kampanye partai politik di negeri kita, Indonesia. Bunyi klakson kendaraan bersahutan. Rengrengan keluarga inipun menjadi pusat perhatian ratusan pasang mata di sepanjang jalan.
Saat tiba di kawasan perbelanjaan di pusat kota, calon mempelai wanita dipersilahkan memilih mas kawin yang diinginkannya. Pencarian perhiasan pun memakan waktu yang cukup lama. Maklum, pasangan mempelai juga keluarganya berharap sekali bisa menemukan perhiasan yang benar-benar bisa melambangkan kebahagiaan mereka.
Perhiasan yang dimaksudpun didapatkan. Sepasang cincin, kalung, gelang dan giwang, diboyong kembali ke desanya. Tak disangka, perjalanan pulang ternyata jauh lebih semarak ketimbang pemberangkatan siang tadi. Lengkingan suara kaum hawa yang dikenal dengan istilah Zarghati* mewarnai iring-iringan kendaraan.
Upacara akad nikah langsung dilaksanakan ba’da shalat Ashar berjama’ah di masjid setempat. Upacara ini dihadiri oleh Osama yang didampingi keluarganya, juga wali dari mempelai wanita dan tak ketinggalan masyarakat setempat yang didominasi oleh kaum pria. Proses ijab qabul berlangsung singkat, sederhana dan bersahaja. Prosesi akad nikah selesai sebelum tibanya waktu Maghrib. Suasana haru menaungi masjid sore itu.
Sepulang dari masjid, kami langsung diajak Osama ke rumahnya untuk menghadiri jamuan makan. Ternyata, berbagai makanan hingga kue-kue dan manisan sudah dipersiapkan di sana. Meskipun rumah Osama memang belum rempung benar, dindingnya masih plester kasar tanpa cat, lantainya pun belum terpasang, namun tidak mengurangi kemeriahan.
Rupanya iring-iringan kedua belah pihak keluarga mempelai terulang kembali ba’da Maghrib. Ramainya tidak kalah dengan iring-iringan waktu siang. Hanya saja kali ini bertujuan mendandani pengantin wanita di sebuah Bridal Salon di tengah kota. Pemolesan pengantin inipun menghabiskan waktu yang tak singkat.
Tepat waktu Isya tiba, pengantin wanita dengan segala tata riasnya siap diboyong kembali ke lokasi resepsi. Rombongan inipun kembali pulang. Riuh suara dan lengkingan suara wanita lambang kegembiraan terdengar semakin ramai, dibalas dengan tepukan tangan bersahutan di sepanjang jalan.
Malam itu adalah resepsi akad nikah. Sebelum nantinya menyusul satu resepsi lagi; resepsi terakhir pernikahan atau Osama istilahkan dengan Haflah Dukhul. Sang suami baru bisa berada satu kamar dengan isterinya setelah seremoni yang terakhir ini, kendati keabsahannya sebagai seorang suami telah terlegalisasi secara syar’i sejak ijab qabul diucapkan. Khusus untuk Osama, tenggang waktu antara resepsi akad nikah ke resepsi dukhul ini adalah lima bulan. Ini adalah produk adat bukan bagian dari syariat. Dalam tenggang waktu tersebut, Osama belum diperbolehkan untuk duduk satu ranjang dengan isterinya, kecuali telah melewati resepsi terakhir tersebut.
Resepsi akad nikah berlokasi tepat di depan rumah Osama. Sebuah panggung pengantin sederhana dengan aneka pernak pernik yang menghiasinya telah dipersiapkan. Lampu-lampu warna warni menghiasi jalanan desa dari ujung ke ujung. Hentakan musik dari tabuhan rebana khas Mesir turut meramaikan suasana malam itu.
Menurut Osama, pernikahannya harus melalui tiga resepsi yang dipisahkan oleh waktu yang cukup renggang, diantaranya khitbah, akad nikah dan resepsi Dukhul. Mungkin, bisa jadi ini menjadi salah satu sebab sangat mahalnya biaya pernikahan di sini, selain ketentuan bahwa mempelai pria harus terlebih dahulu memiliki rumah beserta isinya.
Selama jeda waktu menuju resepsi terakhir nanti, mempelai pria yaitu Osama terus mempersiapkan rumah dan segala isinya untuk berumahtangga nanti. Karena resepsi terakhir baru bisa dilaksanakan bila rumah dan isinya selesai dipersiapkan. Rumah mempelai laki-laki ini berlokasi di tingkat atas kediaman orang tuanya.
Setelah resepsi terakhir nanti, mempelai istri langsung diboyong ke rumah baru yang sedang dipersiapkan tersebut. Nah.. di sinilah akhirnya sepasang pengantin baru ini memadu rindu.
Kafrusyaikh, Ishaqah dan Osama, adalah pengalaman yang sangat langka dan berharga. Untuk resepsi terakhir nanti, semoga saya bisa ke sana lagi. Berminat ikut? Hehe..[]
Kafrusyaikh. Sebuah kota kecil, kurang lebih 200 km dari Kairo, sebelah timur Alexandria. Sungguh suatu keberuntungan bagi saya dapat mengenal kota tersebut. Seorang teman di kampus berasal dari sana, Osama namanya. Kafrusyaikh tidaklah seeksotis tetangganya, Alexandria, dan tidak pula sebesar saudara tuanya, Kairo. Dikelilingi pesawahan dan perkebunan subur menghijau sejauh mata memandang. Gemericik sungai irigasi mengiringi perjalanan sepanjang jalan beraspal menuju desa Ishaqah, kampung halaman Osama.
Kota ini memang sangat layak di sebut kawasan agraris. Setelah dua kali mengunjunginya, kesan yang hadir adalah serasa berpijak di kampung halaman sendiri. Anak-anak yang asyik berkecipak dengan air sungai sembari memandikan kerbaunya. Ini pemandangan yang mengasyikan di sore hari. Ibu-ibu dan para bapak yang berangkat ke ladang, berkendara pedati keladai atau bertelanjang kaki, menjadi sarapan mata setiap pagi hari. Ah.. saya kira yang seperti ini hanya saya lihat di Garut saja, kampung halaman saya. Saya tidak pernah menyangka di negeri padang pasir pun akan saya jumpai.
Osama dan istrinya. |
Pada kali kedua kunjungan ke sana, adalah dalam rangka menghadiri undangan Osama. Osama bermaksud berbagi kebahagiaan dalam resepsi akad nikah dengan seorang gadis pujaannya. Adapun khitbah, telah dilakukan ketika Osama duduk di bangku kuliah tingkat dua.
Osama, tidak seperti perawakannya yang tinggi besar, usianya baru genap 20 tahun ketika itu. Sedangkan calon istrinya adalah gadis sekampungnya, gadis manis bernama Nourah kelahiran 1986. Keduanya memang masih belia. Bagi mereka, pernikahan adalah babak hidup yang tak ada alasan untuk ditunda-tunda apabila keduanya memang sudah siap dalam setiap aspek.
Dalam adat kebiasaan masyarakatnya, pesta pernikahan biasa diadakan malam hari, tak terkecuali pesta akad nikah Osama ini. Hari itu, selepas shalat Dhuhur, Osama dan calon mempelai wanita berangkat menuju pusat kota Kafrusyaikh untuk membeli seperangkat perhiasan yang akan dijadikan mas kawin.
Kedua calon pengantin diiringi oleh keluarganya masing-masing, menggunakan kendaraan-kendaraan seukuran minibus sehingga perjalanan menuju pusat kota Kafrusyaikh kala itu hampir mirip arak-arakan kampanye partai politik di negeri kita, Indonesia. Bunyi klakson kendaraan bersahutan. Rengrengan keluarga inipun menjadi pusat perhatian ratusan pasang mata di sepanjang jalan.
Saat tiba di kawasan perbelanjaan di pusat kota, calon mempelai wanita dipersilahkan memilih mas kawin yang diinginkannya. Pencarian perhiasan pun memakan waktu yang cukup lama. Maklum, pasangan mempelai juga keluarganya berharap sekali bisa menemukan perhiasan yang benar-benar bisa melambangkan kebahagiaan mereka.
Perhiasan yang dimaksudpun didapatkan. Sepasang cincin, kalung, gelang dan giwang, diboyong kembali ke desanya. Tak disangka, perjalanan pulang ternyata jauh lebih semarak ketimbang pemberangkatan siang tadi. Lengkingan suara kaum hawa yang dikenal dengan istilah Zarghati* mewarnai iring-iringan kendaraan.
Upacara akad nikah langsung dilaksanakan ba’da shalat Ashar berjama’ah di masjid setempat. Upacara ini dihadiri oleh Osama yang didampingi keluarganya, juga wali dari mempelai wanita dan tak ketinggalan masyarakat setempat yang didominasi oleh kaum pria. Proses ijab qabul berlangsung singkat, sederhana dan bersahaja. Prosesi akad nikah selesai sebelum tibanya waktu Maghrib. Suasana haru menaungi masjid sore itu.
Suasana akad nikah. Perhatikan jempo mereka. Saat akad diucapkan, jempol calon mempelai pria dan wali dari mempelai wanita, berdiri. Setelah dinyatakan, jempol mereka terpaut erat. |
Sepulang dari masjid, kami langsung diajak Osama ke rumahnya untuk menghadiri jamuan makan. Ternyata, berbagai makanan hingga kue-kue dan manisan sudah dipersiapkan di sana. Meskipun rumah Osama memang belum rempung benar, dindingnya masih plester kasar tanpa cat, lantainya pun belum terpasang, namun tidak mengurangi kemeriahan.
Rupanya iring-iringan kedua belah pihak keluarga mempelai terulang kembali ba’da Maghrib. Ramainya tidak kalah dengan iring-iringan waktu siang. Hanya saja kali ini bertujuan mendandani pengantin wanita di sebuah Bridal Salon di tengah kota. Pemolesan pengantin inipun menghabiskan waktu yang tak singkat.
Tepat waktu Isya tiba, pengantin wanita dengan segala tata riasnya siap diboyong kembali ke lokasi resepsi. Rombongan inipun kembali pulang. Riuh suara dan lengkingan suara wanita lambang kegembiraan terdengar semakin ramai, dibalas dengan tepukan tangan bersahutan di sepanjang jalan.
Malam itu adalah resepsi akad nikah. Sebelum nantinya menyusul satu resepsi lagi; resepsi terakhir pernikahan atau Osama istilahkan dengan Haflah Dukhul. Sang suami baru bisa berada satu kamar dengan isterinya setelah seremoni yang terakhir ini, kendati keabsahannya sebagai seorang suami telah terlegalisasi secara syar’i sejak ijab qabul diucapkan. Khusus untuk Osama, tenggang waktu antara resepsi akad nikah ke resepsi dukhul ini adalah lima bulan. Ini adalah produk adat bukan bagian dari syariat. Dalam tenggang waktu tersebut, Osama belum diperbolehkan untuk duduk satu ranjang dengan isterinya, kecuali telah melewati resepsi terakhir tersebut.
Resepsi akad nikah berlokasi tepat di depan rumah Osama. Sebuah panggung pengantin sederhana dengan aneka pernak pernik yang menghiasinya telah dipersiapkan. Lampu-lampu warna warni menghiasi jalanan desa dari ujung ke ujung. Hentakan musik dari tabuhan rebana khas Mesir turut meramaikan suasana malam itu.
Menurut Osama, pernikahannya harus melalui tiga resepsi yang dipisahkan oleh waktu yang cukup renggang, diantaranya khitbah, akad nikah dan resepsi Dukhul. Mungkin, bisa jadi ini menjadi salah satu sebab sangat mahalnya biaya pernikahan di sini, selain ketentuan bahwa mempelai pria harus terlebih dahulu memiliki rumah beserta isinya.
Selama jeda waktu menuju resepsi terakhir nanti, mempelai pria yaitu Osama terus mempersiapkan rumah dan segala isinya untuk berumahtangga nanti. Karena resepsi terakhir baru bisa dilaksanakan bila rumah dan isinya selesai dipersiapkan. Rumah mempelai laki-laki ini berlokasi di tingkat atas kediaman orang tuanya.
Setelah resepsi terakhir nanti, mempelai istri langsung diboyong ke rumah baru yang sedang dipersiapkan tersebut. Nah.. di sinilah akhirnya sepasang pengantin baru ini memadu rindu.
Kafrusyaikh, Ishaqah dan Osama, adalah pengalaman yang sangat langka dan berharga. Untuk resepsi terakhir nanti, semoga saya bisa ke sana lagi. Berminat ikut? Hehe..[]
*) Lengkingan ini adalah bagian dari adat yang biasa dilakukan untuk mengekspresikan kebahagiaan. Dilakukan dengan cara mengarahkan lidah ke rongga mulut bagian atas atau di belakang deretan gigi atas sembari mengeluarkan suara melengking.
Masih banyak cerita lainnya. Nantikan #egyptology di awal Februari.
Salam Hangat,
Rashid Satari
0 komentar:
Post a Comment
Silakan tulis kesan anda di sini. :)