Ah.. kamu
masih saja berkelit jika nama ‘Muhammad’ kuingatkan. Kamu bilang ia manusia
setengah malaikat. Padahal kitab sucimu sendiri yang bilang dia manusia biasa.
Ia pemimpin. Namanya membuat gentar segala makhluk dari timur hingga barat, selatan
hingga utara. Dan, adalah dia manusia sepertimu. Makan, minum, tidur dan
bangun.
Oh, begitu
ya.. Dia seorang nabi dan rasul? Oh, dia manusia yang ma’shum, terjamin suci dari salah dan dosa? Baiklah.. baiklah. Simpan
dulu alibimu itu.
Pernahkah kamu
dengar manusia biasa lainnya. Bukan nabi, rasul, apalagi setengah malaikat.
Dan, bukan cuma satu. Banyak.
Duduklah.
Biar kuceritakan mereka.
Seorang anak
manusia. Tubuhnya kurus, punggungnya agak bungkuk. Berdiri tegak mungkin pelik
baginya. Tapi, di tangannya agama bernama Islam selamat dari transisi yang
kritis. Jauh sebelum menjadi pelanjut misi kenabian, ia sudah berhati berlian.
Ia perahkan susu kambing untuk para janda veteran perang. Ia buatkan roti
gandum untuk para yatim yang ditinggalkan.
Lalu, dia
menjadi khalifah. Saat kesibukan telah berlipat bertambah. Para janda dan yatim
itu meratap karena tak kan ada lagi laki-laki asing pemerah susu dan pembuat
roti gandum bagi mereka. Hingga suatu hari, seorang gadis yatim bersorak pada
ibunya, “Ibu, pemerah susu itu datang!”
Ya!
Kedudukannya memang telah sejajar raja Romawi dan Persia. Tapi, laki-laki kurus
dan bungkuk ini tetap datang. Memerahkan susu dan membuatkan roti gandum untuk
mereka.
Ah, baik
sekali kamu. Terima kasih airnya. Aku minum dulu..
Namanya Abu
Bakar. Nama yang tak asing untukmu.
Betul, aku
bilang manusia seperti ini banyak. Maka, simaklah satu lagi.
Pemuda berpostur
besar dan kokoh. Ia terkenal sebagai pegulat tangguh di negerinya. Tak ada yang
berani meski sekedar menatap matanya. Dia amat benci Islam. Dialah salah satu
alasan Muhammad dan para sahabat rahasiakan ibadah mereka.
Tapi, angin
sejarah berubah, kawan. Laki-laki ini ber-Islam. Bahkan dia jadi alasan bagi
Muhammad dan para sahabat lakukan ibadah dan dakwah secara terbuka. Hebat
bukan? Bahkan, dia menjadi khalifah setelah Abu Bakar.
Ah, jika kamu
tak bisa tebak siapa orangnya, keterlaluan!
Empat puluh
empat negeri ia taklukan dalam sembilan tahun. Dari Tripoli di barat sampai
Persia di timur. Dari Yaman di selatan sampai Armenia di utara. Lihat, begitu
besar namanya.
Bukan
berarti dia cinta perang. Setiap zaman selalu punya bahasanya sendiri.
Lihatlah
ini. Siang itu, dia harus berceramah di depan sahabat-sahabatnya. Tapi, dia tak
juga datang. Tak lama, nampak ia berjalan cepat tergopoh. Ia meminta maaf
karena terlambat.
Tahukah
kamu, ada tak kurang dua puluh tambalan di bajunya. Dan, tahukah kamu apa pasal
ia terlambat? Baju dalamnya belum kering benar. Di rumah, ia harus tunggu sejenak
hingga bajunya tak terlalu basah.
Pemimpin
besar yang memanggul sekarung gandum untuk rakyatnya yang lapar. Pemimpin yang
turun tangan menggali parit di kotanya, Madinah. Pemimpin penakluk Yarusalem
yang menjamin hidup kaum kami, Nashrani di sana. Gereja tak pasukannya koyak. Tak
ada salib yang pasukannya rusak. Pemimpin yang bergantian dengan pelayannya
mengendarai kuda. Pemimpin yang ketika
diberi makanan lezat oleh bawahannya, dia kembalikan seraya berpesan, “Jangan engkau kenyang sebelum rakyatmu
kenyang!”
Namanya Umar.
Sekarang kamu
cibir hancur negeri ini. Katamu pemimpin adil alergi korupsi adalah mimpi.
Kamu tengoklah
lagi, mereka yag kuceritakan tadi itu manusia. Kamu cubit kulitnya, mereka
sakit. Kamu robek dagingnya, darahnya merah. Mereka bukan nabi, malaikat
apalagi separuh dewa.
Tahukah kamu,
mereka hidup di masa ketika banyak tetangganya mengubur anak-anak perempuan
tersebab malu. Mereka tumbuh di masa ketika tetangga mereka membuat tuhan dari
pahatan batu.
Tidakkah kamu
lihat, masih banyak manusia-manusia biasa berhati mulia di negeri kita.
Tetaplah miliki mimpi, kawan. Meski baru sebatas mimpi. Lebarkan lebih lama
matamu. Di balik gelap ada cakrawala. Lihatlah, semburat fajar akan menimang
gulita.
Gambar dari sini. |
Bandung, 15 November 2013 | Rashid Satari
* Tulisan ini bisa dilihat juga di sini : http://inspirasi.co/forum/post/133/dari_biasa
Terima kasih.
ReplyDeleteAduhai mimpi...
ReplyDelete