Friday, November 15, 2013

Dari Biasa

Ah.. kamu masih saja berkelit jika nama ‘Muhammad’ kuingatkan. Kamu bilang ia manusia setengah malaikat. Padahal kitab sucimu sendiri yang bilang dia manusia biasa. Ia pemimpin. Namanya membuat gentar segala makhluk dari timur hingga barat, selatan hingga utara. Dan, adalah dia manusia sepertimu. Makan, minum, tidur dan bangun.

Oh, begitu ya.. Dia seorang nabi dan rasul? Oh, dia manusia yang ma’shum, terjamin suci dari salah dan dosa? Baiklah.. baiklah. Simpan dulu alibimu itu.  

Pernahkah kamu dengar manusia biasa lainnya. Bukan nabi, rasul, apalagi setengah malaikat. Dan, bukan cuma satu. Banyak.

Duduklah. Biar kuceritakan mereka.

Seorang anak manusia. Tubuhnya kurus, punggungnya agak bungkuk. Berdiri tegak mungkin pelik baginya. Tapi, di tangannya agama bernama Islam selamat dari transisi yang kritis. Jauh sebelum menjadi pelanjut misi kenabian, ia sudah berhati berlian. Ia perahkan susu kambing untuk para janda veteran perang. Ia buatkan roti gandum untuk para yatim yang ditinggalkan.

Lalu, dia menjadi khalifah. Saat kesibukan telah berlipat bertambah. Para janda dan yatim itu meratap karena tak kan ada lagi laki-laki asing pemerah susu dan pembuat roti gandum bagi mereka. Hingga suatu hari, seorang gadis yatim bersorak pada ibunya, “Ibu, pemerah susu itu datang!”

Ya! Kedudukannya memang telah sejajar raja Romawi dan Persia. Tapi, laki-laki kurus dan bungkuk ini tetap datang. Memerahkan susu dan membuatkan roti gandum untuk mereka.

Ah, baik sekali kamu. Terima kasih airnya. Aku minum dulu..

Namanya Abu Bakar. Nama yang tak asing untukmu.

Betul, aku bilang manusia seperti ini banyak. Maka, simaklah satu lagi.

Pemuda berpostur besar dan kokoh. Ia terkenal sebagai pegulat tangguh di negerinya. Tak ada yang berani meski sekedar menatap matanya. Dia amat benci Islam. Dialah salah satu alasan Muhammad dan para sahabat rahasiakan ibadah mereka.

Tapi, angin sejarah berubah, kawan. Laki-laki ini ber-Islam. Bahkan dia jadi alasan bagi Muhammad dan para sahabat lakukan ibadah dan dakwah secara terbuka. Hebat bukan? Bahkan, dia menjadi khalifah setelah Abu Bakar.

Ah, jika kamu tak bisa tebak siapa orangnya, keterlaluan!

Empat puluh empat negeri ia taklukan dalam sembilan tahun. Dari Tripoli di barat sampai Persia di timur. Dari Yaman di selatan sampai Armenia di utara. Lihat, begitu besar namanya.

Bukan berarti dia cinta perang. Setiap zaman selalu punya bahasanya sendiri.

Lihatlah ini. Siang itu, dia harus berceramah di depan sahabat-sahabatnya. Tapi, dia tak juga datang. Tak lama, nampak ia berjalan cepat tergopoh. Ia meminta maaf karena terlambat.

Tahukah kamu, ada tak kurang dua puluh tambalan di bajunya. Dan, tahukah kamu apa pasal ia terlambat? Baju dalamnya belum kering benar. Di rumah, ia harus tunggu sejenak hingga bajunya tak terlalu basah.

Pemimpin besar yang memanggul sekarung gandum untuk rakyatnya yang lapar. Pemimpin yang turun tangan menggali parit di kotanya, Madinah. Pemimpin penakluk Yarusalem yang menjamin hidup kaum kami, Nashrani di sana. Gereja tak pasukannya koyak. Tak ada salib yang pasukannya rusak. Pemimpin yang bergantian dengan pelayannya mengendarai kuda.  Pemimpin yang ketika diberi makanan lezat oleh bawahannya, dia kembalikan seraya berpesan, “Jangan engkau kenyang sebelum rakyatmu kenyang!” 

Namanya Umar.

Sekarang kamu cibir hancur negeri ini. Katamu pemimpin adil alergi korupsi adalah mimpi.  
Kamu tengoklah lagi, mereka yag kuceritakan tadi itu manusia. Kamu cubit kulitnya, mereka sakit. Kamu robek dagingnya, darahnya merah. Mereka bukan nabi, malaikat apalagi separuh dewa.

Tahukah kamu, mereka hidup di masa ketika banyak tetangganya mengubur anak-anak perempuan tersebab malu. Mereka tumbuh di masa ketika tetangga mereka membuat tuhan dari pahatan batu.

Tidakkah kamu lihat, masih banyak manusia-manusia biasa berhati mulia di negeri kita. Tetaplah miliki mimpi, kawan. Meski baru sebatas mimpi. Lebarkan lebih lama matamu. Di balik gelap ada cakrawala. Lihatlah, semburat fajar akan menimang gulita.  

Gambar dari sini. 

Bandung, 15 November 2013 | Rashid Satari

* Tulisan ini bisa dilihat juga di sini : http://inspirasi.co/forum/post/133/dari_biasa